Oleh : Wasid Mansyur* Sebelumnya penulis mengulas pandangan Syaikh Nawawi al-Bantani kaitan tafsirannya terhadap hadith yang menjel...
Oleh :
Wasid Mansyur*
Sebelumnya penulis mengulas pandangan Syaikh Nawawi al-Bantani kaitan tafsirannya terhadap hadith yang menjelaskan dua kebahagiaan yang akan diperoleh oleh mereka yang melakukan puasa. Maka, kali ini akan dijelaskan mengenai hadith lain yang tidak kalah pentingnya sebab sering dipakai juga oleh pada da’i dalam rangka menyajak umat agar mampu mengelola bulan suci Ramadhan dengan sebaik-baiknya dengan tetap berpuasa, dan mengisi dengan amalan terbaik.
Hadith itu diriwayatkan oleh imam Baihaqi dari Abdullah ibn Abi Awfa, yang artinya sebagai berikut:
“Nabi Muhammad Saw berkata: Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Diamnya sama dengan bertasbih, Kebaikannya akan dilipatgandakan, Doanya akan dikabulkan, dan Dosanya akan diampuni.”
Sabda Nabi Muhammad ini menarik dalam rangka memantik agar umat Islam tidak meninggalkan puasa. Tapi, tidak jarang hadith ini sebagai bentuk pembenaran sepihak oleh mereka yang berpuasa, tapi aktivitas setiap hari dilakukan dengan tidur, kecuali melakukan sholat wajib. benarkah demikian?
Syakh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Tanqihul Qoul al-Hastisti Syarh Lubabul Hadith, memberikan penjelasan terkait dengan hadith ini sebagai berikut;
Pertama hadith di atas tergolong dengan hadith dhaif. Sekalipun dhaif, sebagaimana juga dijelaskan sebelumnya, kandungan hadith ini sangat penting dan bagian dari penjelasan tentang keutamaan beramal dalam memberikan resep agar pelaku puasa semakin giat atau tetap trengginas untuk tidak meninggalkan puasa, khususnya pada bulan suci Ramadhan.
Pastinya, penjelasan ini juga tidak bisa mengabaikan tipologi pelaku puasa, yang tidak hanya meninggalkan makan dan minum, tapi juga meninggalkan apapun yang membatalkan puasa, terlebih sebagai sarana untuk terus mengingat keagungan Allah SWT ketika larut dalam ibadah puasa, dan disertai amalan sunnah terbaik di bulan suci Ramadhan.
Kedua, benarkah tidurnya mereka yang berpuasa dianggap ibadah. Syaikh Nawawi menjelaskan, tidak semua tidurnya ibadah, tapi tidur yang menjadi media untuk semakin kuat beribadah. Dalam konteks ini, sekalipun ia ketika tidur tidak ingat apapun, terlebih tidak ingat Allah, maka tidur tetap bagian dari ibadah. Bukankah ada kaedah yang mengatakan lil-wasail hukm al-maqashid (semua sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya).
Maka sarana yang mulanya hanya boleh, tapi jika dibuat untuk tujuan yang baik, maka sarana itu akan berubah hukum mengikuti tujuannya, yakni tidurnya orang yang melaksanakan puasa. Lebih dari itu, dengan tidur, orang terbiasa juga bebas dari perilaku ghibah yang dapat membatalkan pahala puasa. Bukankah ghibah adalah penyakit yang tidak terasa menimpa semua orang, lebih-lebih jika ghibah di medsos yang sering tidak ada berujung sebab terus berantai menghabiskan waktu. Karenanya, tidur adalah ibadah.
Sementara itu, berkaitan dengan dosa yang diampuni sebagaimana disebutkan dalam hadith, menurut Syaikh Syaikh Nawawi hanya berkaitan dengan dosa-dosa kecil. Artinya, dosa-dosa sosial tetap saja pertaubatannya tidak cukup hanya dengan berpuasa, tapi harus ada permintaan maaf kepada orang yang disakiti. Namun, jangan remehkan dosa kecil sebab jika terus dilakukan, tetap saja akan menggerogoti pahala hingga mengalami defisit.
Karenanya, puasa adalah sarana menghapus dosa keci, apalagi didukung potensi lain bahwa diamnya adalah sama dengan bertasbih dan kebaikannya akan dilipatgandakan oleh Allah.
Itulah 2 hadith yang berkaitan dengan puasa, yang ditafsirkan cukup baik oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Tanqihul Qoul al-Hastisti Syarh Lubabul Hadith sehingga dapat dipahami dengan mudah. Pada intinya, 2 hadith ini memotivasi kita semua agar tidak meremehkan ibadah puasa. Jadikan puasa sebagai sarana untuk menghapus dosa-dosa yang kita lakukan sepanjang sebelas bulan sebelumnya, sekaligus jadikan bulan Ramadhan sebagai momentum peningkatan amal mengingat pahala kebaikan di bulan suci Ramadhan cukup besar, dilipatkan pada batas yang tidak bisa dihitung sesuai kehendak Allah SWT.
Catatan Akhir
Di Tengah Wabah Corona
Catatan akhir ini sengaja ditulis sebab termaktub dalam coretan akhir kitab Tanqihul Qoul al-Hastisti Syarh Lubabul Hadith, sekaligus dalam rangka memberikan resep bagi kita semua dalam menghadapi wabah pandemic Covid 19 atau Korona. Memang mulanya hanya mengupas soal hadith tentang wabah dari kitab aslinya Lubab al-Hadith, tapi tafsiran Syaikh Nawawi sangat panjang dan menjadi catatan penutup cukup baik dari karya ini.
Salah satu perkataan Syaikh Nawawi al-Bantani, ketika menghadapi wabah sebagai berikut:
فإذا نزل بأحد بلاء فترك الشكاية وصبر وانتظر الفرج فذلك من أفضل العبادات لأن الصبر فى البلاء انقياد لقضاء الله.
“Jika bala’/bencana turun kepada seseorang. Kemudian dia tidak mengeluh, bersabar dan sambil menanti jalan keluar, maka langkah ini adalah ibadah yang paling utama. Pasalnya, kesabaran dalam __menghadapi__ bencana adalah bentuk ketertundukan menghadapi Qada’ Allah"
Dari perkataan ini bisa dipahami bahwa sabar adalah kunci menghadapi musibah. Dalam konteks menghadapi wabah Korona, arogansi kita yang hanya mementingkan diri sendiri ---dan tidak mau bersabar--, tanpa memperhatikan penggunaan masker, hand sanitizer, atau anjuran social distance dan lain-lain menjadi jalan pemantik penyebaran covid 19 sulit terbendung.
Akhirnya, melalui resep Syaikh Nawawi al-Bantani, mari semua bersabar menghadapi Korona anggap saja ini bagian dari jalan hidup; dengan makna sabar yang luas. Mulai untuk menunda keluar rumah, kecuali dalam kondisi yang sangat membutuhkan. Jika memang harus keluar rumah, maka langkah selanjutnya memperhatikan anjuran protokol kesehatan serta keputusan pemerintah sambil tetap berdo’a semoga Allah memberikan jalan keluar dari musibah ini. Amin. (selesai)
*Alumni Lembaga Pesantren al-Khoziny Buduran Sidoarjo, Wakil Ketua PW LTN NU Jawa Timur
COMMENTS