Oleh: W Eka Wahyudi* KH Maimun Zubair, atau lebih dikenal banyak orang dengan sebutan “mbah Mun”, merupakan sosok ulama yang ali...
Oleh:
W Eka Wahyudi*
KH Maimun Zubair, atau lebih
dikenal banyak orang dengan sebutan “mbah Mun”, merupakan sosok ulama yang alim ‘allamah. Kealimannya bahkan masih
berpendar-terpancar walaupun beliau sudah wafat. Bayang-bayang, hal dan asrornya masih banyak dirasakan
baik berupa jejak keilmuan, maupun sifatnya yang “gampangan”, Gus Anam, menantunya, menyatakan bahwa mbah Mun
cenderung lebih mendahulukan taisir daripada
ta’sir. Hal
ini bisa dilihat dari kesaksian murid kinasihnya KH Baha’udin Nur Salim (Gus
Baha’), dalam risalah kecilnya yang berjudul al-intishar Li madzahibi Syaikhina diceritakan bahwa sudah menjadi watak dan karakter Mbah Mun untuk
mencintai siapapun dan dari kelas apapun.
Sikap demikian, merupakan cara
Mbah Mun agar syari’at Islam dicintai oleh semua orang, sehingga beliau selalu
simpatik kepada siapapun dan dari kelas apapun. Karakter ini
merupakan manifestasi yang fasih dari penggalan kitab Ihya Ulumidiin yang
menjadi kitab kesukaan Mbah Mun. Dalam kitab Ihya terdapat kalimat yang menyatakan bahwa inti akal
setelah mengantarkan pada keimanan, adalah berperilaku simpatik dan baik kepada
siapapun (رأس العقل بعد الدين التودّدالى الناس واصطناع المعروف إلى
كلّ برّ وفاجر)
Salah satu contoh konkrit sikap ngemong dan keinginan beliau agar
masyarakat tetap dalam keadaan kondusif adalah dalam kitab karya beliau yang
berujudul: Nusus al-Akhyar Fii Shoumi wal
Ifthor. Kitab ini, dilatarbelakangi kegelisahan akademik Mbah Mun akibat terjadi
perbedaan dalam memutuskan hari raya Idul Fitri. Yakni pada tahun 1998 atau
1418 H, yang sebagian merayakannnya pada hari kamis dan sebagian lain merayakan
pada hari jum’at. Kitab ini juga menunjukkan bagaimana Mbah Mun menjadi seorang
alim yang responsif terhadap keadaan zaman, karena kitab ini sebagaimana
keterangan di akhir, ditulis pada bulan dzulqo’dah. Itu berarti, satu bulan
setelah polemik tentang penetapan idul fitri terjadi, yakni pada bulan syawal.
Tulisan ini tidak dalam rangka mereview kitab tersebut, namun hanya sekedar
menukil kecenderungan mbah Mun yang sangat menjunjung tinggi keharmonisan
sosial di tengah umat. Sungguhpun risalah ini merupakan kitab berkenaan dengan
hal-ihwal berpuasa (ash-shaum) dan idul fitri (al-Iftar), namun Mbah Mun justru
mengawali muqoddimahnya dengan ajaran beliau tentang bagaimana menyikapi
perbedaan pendapat yang menjadi sebuah keniscayaan. Dengan satu prinsip tegas,
bahwa perbedaan pendapat tersebut harus berpegang pada hasil ijtihad para
ulama.
Sebagaimana nukilan hadits yang dikutip oleh Mbah Mun tentang perintah Nabi
Muhammad SAW saat mengirim utusan dari kalangan sahabat, dan memerintahkan
mereka untuk sholat ashar ketika sampai pada pemukiman Bani Quraidhah. Dalam hadits
ini, diceritakan bahwa para sahabat terpecah menjadi dua kelompok: sebagian
sahabat melakukan sholat sebelum sampai di Bani Quroidhoh dengan alasan waktu
sholat telah sampai, dan kelompok sahabat yang lain melakukan sholat ashar
setelah sesampainya mereka di tempat bani Quraidhoh dengan berlandasan
kedhohiran hadits Nabi. Dan Nabi-pun memaklumi hasil ijitihad keduanya tanpa
menyalahkan yang satu di atas yang lain.
Selanjutnya, juga di dalam muqoddimahnya, Mbah Mun membeberkan bagaimana
perbedaan pendapat juga terjadi di kalangan para imam madzhab dan ulama salafus
sholeh. Mereka semuanya dalam keterangan mbah Mun, walaupun tidak setuju dengan
pendapat mujtahid yang lain, namun dilakukan dengan saling menghormati, tidak
ada pertengkaran dan perseteruan yang mengangah di atas perbedaan yang terjadi.
Serta melalui kalimat yang indah mbah Mun mengajarkan bahwa segala perbedaan
itu tidak diiringi dengan perselisihan dan perseteruan ( ولم يعقب ذلك الإختلاف الشقاق ولاالتخاصم ).
Sosok sealim KH Maimun Zubair, walaupun di dalam kitabnya tersebut membahas
masalah fiqhiyah, namun tetap mengedepankan
dan menyilipkan etika perbedaan pendapat (adabul
ikhtilaf). Beliau sungguhpun seorang faqih yang ‘alamah, tetap memastikan
bahwa produk hasil ijtihad jangan sampai menimbulkan fitnah dan pertikaian
antar umat Islam. Sikap ini mencerminkan intelektualitas mbah Mun yang
benar-benar konsisten mengawal hadits Nabi Muhammad agar segala macam perbedaan
tetap pada koridor kerahmatan, yakni pancaran kasih sayang Allah.
Lalu, sudahkan perbedaan diantara kita selama ini adalah wujud kasih
sayang?
* Pengurus LTN NU Jawa Timur/ Ketua Lakpsesdam NU Lamongan
COMMENTS