Ilustrasi: tribunnews.com/manado Oleh: M Said Hudaini Menjadi orang pintar itu gampang. Menjadi pakar atau ahli juga begitu...
![]() |
Ilustrasi: tribunnews.com/manado |
Oleh:
M Said Hudaini
Menjadi orang pintar itu gampang. Menjadi pakar atau
ahli juga begitu. Sudah ada relnya. Sudah tersedia kiat sekaligus contoh
suksesnya. Peradaban manusia sebelum hari ini sudah menyiapkan jalan lempang
menuju keberhasilan-keberhasilan kognitif. Metode pendidikan, silabus dan
kurikulum dibuat sedemikian rupa, untuk mendukung proyek-proyek mencerdaskan
kehidupan kita sebagai homo sapiens.
Belum selesai di situ. Para penghayat positivistik
melanjutkannya dengan membuat ukuran-ukuran.
Awal tahun 1900-an, di Prancis, seorang psikolog
bernama Alfred Binet mengembangkan apa yang sekarang kita kenal sebagai Intelligence Quotient (IQ). Awalnya
hanya untuk mengukur kemampuan anak-anak sekolah, mana di antara mereka yang membutuhkan
pendampingan belajar dan mana yang tidak. Dengan berbagai improvisasi, tes IQ
kemudian berkembang lebih kompleks. Menjadi bagian penting dalam ikhtiar
membangun masyarakat yang terdidik, berintelejensia tinggi serta unggul.
Walhasil, dalam beberapa tahun belakangan, terjadi tren positif dalam
peningkatan angka IQ penduduk bumi.
Itu juga belum cukup. Menjelang dan awal abad XXI kita
mulai tergoda melirik indikator lain, di luar IQ, dalam mengukur kepandaian dan
keberhasilan. Psikolog Peter Salovey dan John Mayer menyebutnya sebagai
Emotional Intelligence (EI) atau kecerdasan emosi. Yakni sebuah kemampuan diri
untuk mengendalikan emosi, sebagai bagian dari tingkah laku cerdas manusia.
Siapapun bisa marah, kata Aristoteles. Tapi marah kepada orang yang tepat,
dengan kadar yang pas, dan pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan
dilakukan dengan cara yang baik, bukanlah sesuatu yang gampang.
Untuk alasan melatih amuk itulah kita lalu
berbondong-bondong mengupayakan pencapaian EQ yang tinggi. Tensi semangatnya
memang tidak setinggi seperti saat IQ diperkenalkan untuk kali pertama. Tapi keberhasilan
perumusan ukuran kecerdasan ini tetap ditepuk-soraki dengan meriah, meskipun
sebenarnya kita terlambat. Ibn Sina (980-1037 M) yang sudah menginisiasi
pengetahuan self awareness dan cikal
bakal Emotional Intelligence ini
sejak seribu tahun lalu.
Sudah lengkap panduan menjadi pandai dengan segala
ukuran-ukurannya. Jika ingin menjadi pintar atau ahli kita tinggal meniru dan
mengikuti jejak pada pendahulu. Mau ahli seperti siapa, dalam bidang apa? Kloning
saja jalan sukses para cerdik pandai yang ingin diteladani. Kuatkan niat dan
tekad untuk mencapai kemahiran dan keahlian serupa. Beres. Kalaupun tidak
sampai di level melampaui atau setara, paling tidak bisa mendekati. Pendek
kata, untuk menjadi orang pintar itu mudah. Banyak caranya. Banyak teman seperjuangannya. Karena
tidak ada orang yang sengaja menyediakan diri untuk menjadi pilon.
Al Ghazali, Pandemi, dan
Tabiat Awam
Dalam suasana batin yang serba kompetitif: Bagaimana
harus pintar, harus sukses, harus cemerlang,
dan harus harus yang lainnya, ada
baiknya kita istirah sebentar. Mari melawat
ke Timur. Menuju Thus, sebuah kota kecil di Iran, tempat lahirnya Imam Abu
Hamid Muhammad al Ghazali. Mari duduk sebentar, mengais hikmah dari sang Hujjatul Islam. Dia meninggalkan untuk kita sebuah karya
penting berjudul Iljamul Awam an Ilmi al
Kalam. Ini semacam manual book bagi
siapapun yang merasa diri awam.
Kesadaran bahwa diri ini awam adalah kesadaran yang mahal.
Tidak setiap orang sanggup menahan godaan untuk menjadi sok tahu. Padahal, kita tidak pernah dituntut untuk menjadi ahli
atau pakar dalam semua hal. Dan senyatanya memang begitu. Kita mungkin ahli
dalam satu hal, tapi awam dalam banyak hal lainnya. Woles saja, menjadi awam bukan kejahatan.
Konteks pembicaraan Imam al Ghazali dalam Iljamul Awam sebenarnya ada di wilayah
Ilmu Kalam. Tapi mungkin poin-poin kunci dan spirit kesadaran awamnya bisa kita
ambil untuk menjadi peta jalan yang memandu keawaman kita di bidang lain. Agar
tidak menimbulkan kekacauan akibat ketidaksadaran bahwa diri ini sebetulnya
awam.
Begini. Kata Imam Al Ghazali, ada lima langkah yang
harus dilakukan agar kita menjadi orang awam yang baik. Pertama, kita harus taqdis,
menyucikan diri. Pasrah kepada Allah. Dalam konteks di luar agama, ini bisa
bermakna membersihkan diri dari keinginan campur tangan dan kerelaan untuk memasrahkan
segala sesuatu kepada ahlinya. Kedua, al
iman wa tasdiq, percaya dan membenarkan. Dalam ketidaktahuan, sebaiknya
kita memercayai dan membenarkan apa yang dikatakan para ahli dan orang-orang
yang mengerti. Tidak perlu ngeyel. Karena itu berarti merepotkan orang lain
karena ketidaktahuan kita.
Ketiga, al
I’tiraf bi al ajzi. Mengakui kelemahan diri sendiri. Menyadari diri awam
dan mengakuinya. Ini ttitik pangkal kesadaran awam yang penting dimiliki setiap
orang. Kesadaran macam ini menghindarkan kita dari suasana seakan-akan tahu
padahal tidak. Seolah-olah mengerti padahal ngawur. Keempat, al sukut an su’al. Tidak cerewet
mempertanyakan. Jika tidak mengerti perbanyaklah mengambil sikap diam. Itu
lebih baik daripada bertanya yang tidak-tidak. Apalagi jika motif bertanya itu
bukan untuk membuat urusan menjadi lebih baik dan terang.
Kelima, al Imsak
an tasarrufu fi alfad. Dalam konteks di luar ilmu kalam, ini bisa dimaknai
sebagai menahan diri untuk tidak menjamah wilayah yang tidak dikuasai atau
dipahami. Tak perlu menafsir dan menakwil serta menduga-duga urusan yang kita
bukan ahlinya.
Pelajaran Al Ghazali tentang bagaimana sebaiknya menjadi
orang awam adalah antitesis dari kebanyakan kita yang mengidap waham kebesaran
dan memuja superioritas. Ini pelajaran penting bagi sesiapa yang hidup di zaman
yang telah berhasil mematikan kepakaran secara pelan-pelan. Zaman yang oleh Bre Redana digambarkan sebagai
zaman ketika ada 50 ribu orang menonton sepak bola di stadion, maka sebanyak 50
ribu itu pula ada pakar sepak bola. Mereka semua bisa membuat opini dan
menyebarluaskannya ke mana-mana.
Kita bisa lihat bagaimana suasana hari ini. Saat
pandemi Covid-19 melanda dunia, semuanya tiba-tiba menjadi gelap, sumir,
simpang siur, dan membingungkan. Dalam arus deras informasi tidak ada pokok
yang bisa dijadikan pegangan. Kepakaran telah mati. Para ahli berbicara seperti
para spekulan, kadang ke selatan kadang ke utara. Seolah membuat
strategi-strategi untuk berkelahi melawan hantu. Dalam ketidakjelasan itu
akhirnya orang awam bertanya jawab dengan sesama orang awam. Orang awam
mengomentari orang awam juga. Maka lahirlah himpunan jawabul
masail ala orang awam.
Urusannya bisa berbagai macam. Mulai dari sekadar
harus pakai masker atau tidak, pola hidup virus, jadi boleh mudik atau tidak,
relaksasi perbankan, kartu pra kerja, hingga yang berat-berat soal teori
konspirasi seputar pandemi. Semua ada. Semuanya kita lihat dan dengarkan. Dan
tidak lupa, semuanya kita komentari. Tentu saja komentar ala orang awam. Oya,
jangan lupa disebarkan. Insyaallah itu akan diterima dengan tangan terbuka oleh
orang awam lainnya. Mereka juga sudah ready
untuk menyebarkannya kembali kepada orang awam yang lain dan orang awam lainnya
lagi, sehingga nanti genap berjumlah 260 juta penduduk Indonesia. Mantul!
Kita memang benar-benar harus bersungguh hati belajar menjadi
awam. Agar segala urusan tidak jadi makin rumit.
Sepanjang tulisan ini dari atas ke bawah, saya seperti
bercerita tentang diri sendiri, yang dalam istilah Almarhum Cak Rusdi Mathari,
merasa pintar, bodoh saja tak punya. Jangankan alim, awam saja belum.
*Pemred
TV9, Wakil Ketua PW LTNNU Jawa Timur.
COMMENTS