Oleh: Ahmad Karomi* Entah berapa kali terdengar ajakan dari lintas kalangan untuk berlaku menyayangi dan rukun di antara saudara, akan ...
Oleh: Ahmad Karomi*
Entah berapa kali terdengar ajakan dari lintas kalangan untuk berlaku menyayangi dan rukun di antara saudara, akan tetapi hanya ucapan saja. Berbeda saat ajakan tersebut terlontar dari masyayikh Alfalah Ploso Kediri. Mengapa demikian?
Salah satu contoh, di saat Kiai Zainuddin gerah, Kiai Nurul Huda susah, hingga mengajak "bolo-bolo santri" untuk selalu berdoa akan kesembuhan kakaknya. Pun sebaliknya, saat Kiai Huda gerah, Kiai Zainuddin mengajak seluruh santri supaya mendoakan kesembuhan adiknya.
Bagi Kiai Nurul Huda, Kiai Zainuddin adalah kakak yang selalu mengedepankan kerukunan dan kekeluargaan. Pasca Kiai Ahmad Djazuli kapundut, otomatis peran saudara tertua sangat menentukan. Tugas mengemban amanah pun kian berat, akan tetapi itu semua bisa terminimalisir dengan terjalinnya komunikasi, saling melengkapi dan berbagi tugas.
Misalnya, pada tahun 1990-an tugas yang berkaitan dalam pondok diampu oleh Kiai Zainuddin, Kiai Nurul Huda, Kiai Fuad, Kiai Mahfud Siroj. Sedangkan untuk luar pondok diemban oleh Gus Miek dan Kiai Munif. Tak pelak, tamu yang berdatangan pun dari berbagai kalangan, mulai dari artis hingga pejabat.
Saya pribadi bersyukur menjadi cuilan kecil dari ribuan santri yang menimba ilmu dari masyayikh Ploso. Mengutip dawuh alm. guru Misriu saya bahwa "keseluruhan masyayikh Ploso adalah representasi dari kumpulan ilmu akhlak, syariat, tarikat, dan makrifat."
Kemarin (01/03/2020), seusai pengajian rutin kitab Hikam Ahad Legi, Kiai Zainuddin Djazuli meminta agar santri-santri mendoakan Kiai Nurul Huda yang berusia sepuh selalu diberi kesehatan. Padahal Kiai Zainuddin sendiri kondisinya juga lebih sepuh lagi (91-an). Begitu besarnya kepedulian dan kasih sayang Kiai Zainuddin kepada Kiai Huda. Sebuah teladan kerukunan dari seorang kakak yang menyayangi adik-adiknya.
Lagi, di saat Gus Miek gerah pada tahun 1993 seluruh masyayikh Ploso berhari-hari mencari info terkait tempat Gus Miek dirawat (yang memang tidak ingin merepotkan dan diketahui keluarga), para masyayikh pun bergantian PP Surabaya-Kediri untuk menelusuri keberadaan Gus Miek.
Gus Miek dengan segala kenyelenehannya, tidak membuat kasih sayang kakak-kakaknya luntur. Bahkan Kiai Huda (seingat saya) pernah dawuh setelah Gus Miek kapundut, "Gus Miek kuwi biasane nek nimbali kakang-kakange, syekh" (biasanya kalau memanggil kakak-kakaknya dengan sebutan Syekh).
Komunikasi antar saudara ini menjadi pelajaran penting untuk mewujudkan kerukunan dalam keluarga. Dalam salah satu kesempatan, Kiai Nurul Huda dawuh mengutip syiir barbahar thawil:
اخاك اخاك ان من لا اخ له، كساع الى الهيجا بغير سلاح
"Jagalah saudaramu, sesungguhnya orang yang tidak memiliki saudara ibarat orang yang berangkat ke medan perang tanpa senjata".
Ini artinya menjaga kerukunan, kasih sayang dan persatuan merupakan tulang punggung bagi kesuksesan sebuah komunitas. Hal ini yang berulang kali didengungkan dalam kitab at Tibyan karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari untuk tidak semena-mena memutus tali persaudaraan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bilamana Kiai Munif Djazuli pernah mewanti-wanti santri Ploso untuk tidak "pedot seduluran", tetap rajin silaturahmi ke beberapa mutakharrijin, agar ruh persaudaraan antara santri senior dan junior tetap terjaga.
Semoga para masyayikh Ploso senantiasa dalam lindungan Allah dan selalu mendapatkan rahmat dariNya.
__________________
*Alumni Al-Falah Ploso, PW LTNNU Jatim.
COMMENTS