Oleh: Ahmad Karomi* Bulan Juni tahun 1993 tepatnya 26 Tahun yang lalu saya menyaksikan kejadian hebat di pesarean Aulia Tambak Ngadi K...
Oleh: Ahmad Karomi*
Bulan Juni tahun 1993 tepatnya 26 Tahun yang lalu saya menyaksikan kejadian hebat di pesarean Aulia Tambak Ngadi Kediri. Rintik hujan membasahi lokasi pemakaman mengiringi jenazah Gus Miek dikebumikan. Ribuan pasang mata menitikkan air mata atas kapundutnya Gus Miek. Para pelayat berjubel melangkahkan kaki untuk mengantar ke peristirahatan terakhirnya.
Tambak bukanlah nama untuk budidaya ikan. Akan tetapi nama sebuah dusun dan desanya bernama Ngadi kecamatan Mojo Kediri. Menurut penuturan Alm. Gus Dur, beliau sebenarnya disiapkan untuk dimakamkan di Tambak. Akan tetapi beliau menolak halus karena bukan "hafidzul quran". Saya sempat membayangkan alangkah ramainya bila Gus Dur disareaken di pesarean Tambak.
Di area pesarean ini banyak tokoh penting "beristirahat" seperti KH. Achmad Siddiq, Gus Miek, KH. Anis Ibrahim, KH. Rahmat Zubair, KH. Yasin Yusuf, para hafidzul quran dan "orang-orang pilihan" dari beragam latarbelakang.
Di sela suasana berkabung itu, semua perhatian pun tertuju kepada Bu Nyai Yat atau Bu Nyai Miek yang sangat terpukul lantaran ditinggal oleh suami tercinta. Bagaimana tidak? Bu Yat kerap ditinggal Gus Miek keluar kota untuk berjuang berdakwah membimbing kaum bromocorah ke jalan penuh harapan.
Pada tahun 1992 sependek ingatan saya pernah mendengar dawuh beliau saat haul Ploso atau satu tahun sebelum kapundut: "Keluarga kulo pasrahaken dumateng Gusti Allah". (Keluarga saya pasrahkan kepada Allah). Beliau tidak akan mengarahkan keluarga untuk menjadi siapa dan akan menjadi apa. Semuanya telah diatur oleh Allah.
Merujuk dari syiiran dzikrul ghafilin, Gus Miek menginginkan keturunannya menjadi pecinta al-quran lahir batin dan mencintai para kekasih Allah. Terbukti dzuriyah beliau saat ini meneruskan perjuangan semaan al-quran dan dzikrul ghafilin yang dirintis Gus Miek.
Bu Yat, wanita perkasa berasal dari Setono Gedong Kediri ini bukanlah sosok pendamping berdarah biru yang memiliki ribuan santri. Alasan Gus Miek memilih Bu Yat karena memang Bu Yat adalah wanita istimewa yang tidak pernah padam asa, sanggup memahami "laku" spiritual serta belajar langsung kepada Gus Miek. Sehingga menjadi "madrasah ula" bagi putra-putrinya.
Meskipun perjodohan dengan Bu Yat sempat ditentang lantaran latarbelakangnya bukan dari kalangan pesantren, akan tetapi harus diakui bahwa Bu Yat merupakan pendamping yang ideal dan berperan penting semasa Gus Miek berdakwah di luar.
Sebelum berjumpa dengan Bu Yat, dalam kehidupan Gus Miek pernah menikah dengan Ning Zainab binti Kiai Muhammad bin Kiai Muharram Karangkates, akan tetapi dalam hitungan hari pernikahan itu kandas lantaran tidak sejalan dengan "laku" Gus Miek.
Saking seringnya Gus Miek bepergian luar kota dalam rangka berdakwah, volume pertemuan dengan keluarga pun tidak sering terlaksana. Dari sinilah kesabaran, ketabahan, kesetiaan, kemandirian Bu Yat telah teruji lahir batin hingga penghujung usia.
Pagi tadi, di tempat yang sama, saat Gus Miek dikebumikan pada tahun 1993, pada tanggal 7 Oktober 2019 ini Bu Yat "kembali" bersanding dengan sang belahan jiwa disaksikan ratusan santri dan pecintanya. Semoga beliau tercatat sebagai istri sholehah husnul khatimah. Lahal Fatihah.
___________
*Santri Ploso, PW LTNNU Jatim
COMMENTS