Oleh: Ahmad Karomi* Kabar duka itu seolah menyebabkan awan yang menggumpal membentuk mendung tak kuasa menahan tangis. Manusia m...
Oleh: Ahmad
Karomi*
Kabar duka
itu seolah menyebabkan awan yang menggumpal membentuk mendung tak kuasa menahan
tangis. Manusia mulia yang dipilih di antara beberapa pilihan telah berpulang, mirip
kejadian prosesi pemakaman para kekasih Allah yang diiringi hujan rintik. Lantunan
doa tahlil dan tahmid tak henti-hentinya diucapkan untuk sang Kiai, ya beliau
adalah KH. Maimun Zubair.
Postingan ungkapan
kehilangan, kesedihan dari lintas grup WA dan teman-teman di FB bagai air bah
yang tumpah lantaran "faqir"nya hati dilepas oleh sang murabbi KH. Maimun
Zubair. Bersyukurlah teman-teman yang memiliki kenangan indah dan mengabadikan
berswafoto dengan Kiai sepuh dari Sarang Rembang. Pun bagi mereka yang memiliki
rasa cinta dan bangga akan sosok pengayom dan rujukan ulama Nusantara ini. Mari,
sebarkan dan ceritakan kepada generasi muda tentang perjuangannya, ketekunannya,
kejujurannya, ketawadu'annya hingga membentuk rasa "mahabbah" sebagai
pupuk-pupuk cinta kepada masyayikh nusantara.
Terus
terang, saya sebagai salah satu dari jutaan santri dan muhibbin (pecinta)
masyayikh, awalnya merasakan "keistimewaan" Mbah Moen melalui
penuturan teman-teman yang pernah nyantri, sowan, sungkem beliau. Alhamdulillah,
tak dinyana tahun 2017 saya mendapat kesempatan bisa sungkem beliau tatkala ada
acara pernikahan di Ponpes Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Bahkan dawuh-dawuh
beliau terkait pernikahan pun saya rekam.
Memaknai
Berpulangnya Mbah Moen di Makkah
Ada beberapa
pesan, "makna" tersirat yang bisa dipetik dari berpulangnya Mbah
Maimun di Makkah. Bila "dijlentrehkan" berupa poin-poin adalah
sebagai berikut:
Pertama: Kuatnya "alaqah batiniyah"
antara guru dan murid atau dalam istilah pesantren disebut "bersambungnya ikatan
batin antara guru dan murid" yang merupakan salah satu pondasi ta'lim
wat ta'allum. Jamak kita ketahui bersama, bahwa bentuk ikatan inilah yang
akhirnya menghantarkan para muassis NU membentuk jam'iyyah.
Mbah Moen
mengimplementasikan "alaqah-rabitah" ini pada keluarganya. Terbukti
putra-putra beliau diarahkan nyantri ke Sayid Muhammad bin Alawi bin Abbas Almaliki
yang merupakan tempat Mbah Moen "ngangsu ilmu" kepada Sayyid Alawi
bin Abbas. Tujuannya jelas, menjaga ikatan antara guru dan murid sampai
kapanpun.
Kedua: Sosok pilihan. Seperti yang diketahui bersama bahwa genealogi keilmuan ulama nusantara berpusat di Tanah Hijaz. Sebut saja
Syekh Abu Bakar Syata, Syekh Zaini Dahlan, Syekh Alawi, hingga melahirkan sosok-sosok
pilihan seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, Syekh Nawawi Banten, Syekh
Mahfud Termas, Syekh Yasin Padang, dll.
Sejatinya Tanah
Hijaz adalah "tempat pilihan" yang menjadi rujukan umat Islam sedunia.
Jadi, saya meyakini Mbah Moen termasuk "sosok pilihan" yang dimakamkan
di "tempat pilihan" yakni Tanah Suci dan di "waktu pilihan"
(haji). Fakta ini mengisyaratkan bahwa beliau bukan hanya rujukan kalangan NU
dan Indonesia, akan tetapi rujukan dunia Islam.
Ketiga, Mbah Moen sebagai pengayom umat
tanpa pilih kasih adalah udara sejuk bagi seluruh masyarakat. Beliau sangat
terbuka saat menerima tamu dan melayani dengan ramah, penuh kehangatan. Nasehat
dan ujaran beliau sangat bermakna tanpa ada caci maki meskipun berbeda pandangan.
Keramahan dan kehangatan yang beliau tampakkan sangat identik dengan Tanah Suci
yang ramah nan hangat memeluk jasad mulia Mbah Moen.
Tak bisa terelakkan,
bahkan bisa dipastikan segenap jiwa raga santri akan merindukan sosok Mbah
Moen. Namun dibalik kerinduan itu mengandung pelajaran untuk meneladani dan memotivasi
diri agar mengisi kehidupan di dunia dengan lebih berarti. Penuhilah pori-pori dengan
rasa cinta terhadap kiaimu, niscaya kita akan didoakan penuh cinta olehnya.
Khususon
Simbah KH. Maimoen Zubair, Al-Fatihah
______________________________
*Sekretaris
PW LTNNU JATIM, Alumni Al-Falah Ploso Kediri
COMMENTS