Oleh Wasid Mansyur Akademisi UIN Sunan Ampel; Pengurus LTN NU Jatim Hari-hari ini kita menyaksikan amarah mudah terjadi di berbagai ...
Oleh
Wasid Mansyur
Akademisi UIN Sunan Ampel; Pengurus LTN NU Jatim
Wasid Mansyur
Akademisi UIN Sunan Ampel; Pengurus LTN NU Jatim
Hari-hari ini kita menyaksikan amarah mudah terjadi di berbagai tempat, baik atas nama pribadi atau letupan amarah dilakukan atas nama kelompok. Baik diruang nyata atau diruang maya (melalai Fb, WA dan lain-lain). Benarkah, kita boleh marah?
Letupan marah muncul disebabkan banyak hal. Ada kalanya karena keinginan atau ambisi tidak terwujud atau sengaja ada pihak lain yang memancing kita marah. Lantas, benarkah kita harus marah atau memaki-maki pihak lain?
Marah dalam bahasa Arab di kenal dengan kata "Ghadab", yg dalam kamus Arab online (https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/غضب/), diartikan:
إرادة الإنتقام مصدرها شعور المرء بضرر أو احتقار أو إهانة ألحقها به غيره.
"Keinginan untuk membalas dendam, yang sumbernya muncul dari perasaan seseorang mendapat dharar atau pelecehan atau penghinaan dari pihak lain".
Kaitan dengan marah ini, Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya al-Fath al-Rabbani wa al-Faidh al-Rahmani, mengatakan dalam Majelis Ke 31, tanggal 18 Jumadil Akhir 545 H sebagai berikut:
Kemarahan itu akan dipuji, jika dilakukan -benar-benar- karena Allah Swt. Dan kemarahan akan dicela, bila dilakukan karena lain-Nya (baca: Nafsu)"
"Karenanya, seorang mukmin yang marah karena Allah, bukan karena -kepuasan- dirinya. Sejatinya ia marah dalam rangka menolong agama-Nya. Bukan memuluskan hasrat -kepuasan- dirinya" (hal; 109)
Dari kutipan ini, kita bisa memahami bahwa marah pada batas tertentu diperbolehkan, sepanjang dalam mewujudkan kemaslahatan umum (lillah), bukan kemaslahatan pribadi atau kelompok.
Tapi, memang terkadang ada orang marah selalu mengatasnamakan agama (Allah). Tapi faktanya, kemarahan itu dilakukan hanya untuk kepuasaan diri atau kelompok. Agama hanya sebatas legitimasi tindakan. Model orang seperti ini layak disebut Munafik, tegas Syaikh Abdul Qadir.
Orang tua boleh marah atau yang tepat dikatakan tegas kepada anaknya, asal tidak mengumbar, dan asal dalam rangka mendidik anak sebagai konsekwensi menerima amanah dari Allah. Begitu juga yang lain. Jangan pernah mengumbar amarah, apalagi kebencian sebagai pemantik. Tekan amarah sebab percikan amarah akan memunculkan penyakit sosial yang lain, termasuk penyakit individu sebab otot-otot pemarah akan sering tertekan dan berpotensi melahirkan penyakit dalam.
Jika anda kecewa dalam hidup tidak sesuai mimpi atau merasa terhina. Maka, jangan mudah keburu mengumbar amarah. Pikirkan sejenak apakah yang sebenarnya terjadi?. Ataukah karena sunnatullah terjadi sesuai dengan kapasitas dan kualitas kita dalam bergaul dengan yang lain.
Akhirnya, koreksi diri sendiri adalah jalan terbaik agar kita tidak mudah mengumbar amarah atau cacian kepada yang lain dengan cara apapun. Bukankah Nabi Muhammad SAW, menegaskan bahwa dengan tidak marah, berarti anda telah meniti jalan menuju surga-Nya (La taghdhab wa laka al--Jannah).
Semoga Allah terus memberikan akal kita semakin sehat agar selektif melihat secara syar'i mudharat dan manfaat mengumbar amarah, termasuk memancing orang lain marah. Terkadang diam itu langkah terbaik dalam menghadapi orang Pemarah. Amin..
COMMENTS