Oleh: Ahmad Syauqi Arif Alumni MA al-Muhtadi, Paciran, Lamongan Tak terasa kini, genap haul ke-tujuh puluh satu ( 71 ) ulama kha...
Oleh:
Ahmad Syauqi Arif
Alumni MA al-Muhtadi, Paciran, Lamongan
Tak terasa kini, genap haul ke-tujuh puluh satu ( 71 ) ulama kharismatik Pantura, Al Mukarram KH. Ahmad Muhtadi Musthofa wafat. Tepatnya, pada hari Sabtu pon, tanggal 13 Ramadlan 1368 H/9 Juli 1949 M. Pada momentum haul inilah diharapkan masyarakat Sendangagung umumnya dan keluarga besar Madrasah Almuhtadi beserta alumni khususnya dapat merefleksikan kembali kiprah dan keteladanan figur ulama yang yang juga termasuk seorang pejuang membela bangsa Indonesia dari tangan penjajah tanpa pamrih. Jiwa dan raga beliau serahkan untuk negara.
K.H. Ahmad Muhtadi adalah anak ke-6 dari KH. Musthofa Kranji ( Pendiri Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji). KH. Ahmad Muhtadi dilahirkan pada tahun 1908, beliau merupakan tokoh kharismatik dalam berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di kecamatan Paciran. K.H. Ahmad Muhtadi salah satu pejuang yang sangat berani dalam mengeluarkan anjuran untuk menentang penjajah. Jiwa dan raga dipertaruhkan demi masyarakat, dengan kiprah pengabdian penuh demi kemaslahatan umat.
Semasa hidup, K.H. Ahmad Muhtadi adalah sosok kyai yang cerdas dan pecinta ilmu, karena di samping rajin dalam mengajarkan bermacam-macam ilmu agama kepada para santrinya beliau juga juga salah satu santri KH. Hasyim Asy'ari yang terkenal rajin. Setelah mondok di Tebu Ireng Jombang, Kyai Muhtadi melanjutkan nyantri di KH. Mahfudz Jombang untuk belajar hafalan Alqur'an, dalam waktu satu tahun beliau sudah di wisuda sebagai santri cerdas oleh KH. Mahfudz. Setelah hafalan Al-Qur'annya sudah bagus, Kyai Muhtadi di perintahkan oleh KH. Hasyim Asy'ari belajar ilmu Falakiyah di KH. Ma'shum ( pengarang kitab tashrifiyah), kyai Muhtadi pun mendapat wisuda dari sang guru sebagai santri yg luar biasa ilmu falaknya.
K.H. Ahmad Muhtadi adalah seorang kyai dan pejuang kemerdekaan. Beliau selalu memberi petunjuk dan arahan kepada pejuang lainnya. Diantara sekian banyak tentara dan pejuang sukarela yang pernah mengikuti perjuangan beliau adalah Zainuddin dari Gresik. Pada saat itu status Zainuddin adalah tentara (sekarang TNI) dan pada tahun 1984, Zainuddin menjadi Kepala Desa Kawisanyar Kebomas Gresik.
Karena semangat dan gigihnya dalam menentang penjajah, maka setelah belanda berhasil masuk di daerah Paciran, K.H. Ahmad Muhtadi selalu diincar oleh Belanda.
Menurut sebuah cerita dari dua kakak beliau (KH. Abdul Karim Musthofa dan KH. M. Sholeh Musthofa) ketika Belanda mendarat di Glondong Tuban, K.H. Ahmad Muhtadi dan KH. Amin mengadakan pertemuan di Desa Kranji dengan dua saudara beliau yaitu KH. M. Sholeh dan KH. Abdul Karim. Pertemuan segi empat ini dilakukan dengan posisi K.H. Ahmad Muhtadi menghadap ke arah barat berhadapan dengan KH. Amin, KH. Abdul Karim menghadap ke arah utara berhadapn dengan KH. M. Sholeh. Dalam pertemuan tersebut kedua kakak beliau (KH. Abdul Karim dan KH. M. Sholeh) menghendaki dan menyarankan agar kedua adiknya (K.H. Ahmad Muhtadi dan KH. Amin) mengungsi meninggalkan daerah Paciran, mengingat kedua kakak beliau yaitu KH. Abdul Karim dan KH. M. Sholeh statusnya di Kranji ini juga pengungsi. Di mana KH. Abdul Karim dari Bojonegoro dan KH. M. Sholeh dari Gresik, karena Bojonegoro dan Gresik sudah dikuasai oleh Belanda. Akan tetapi K.H. Ahmad Muhtadi dan KH. Amin berpendirian lain, yaitu mengingat Belanda sudah merata di mana-mana maka mengungsi itu tidak ada artinya. Untuk itu kita lebih baik menetap di daerah saja sambil mengatur strategi para pejuang yang ada untuk bergerilya. Dan apabila terpaksa kita tertangkap oleh Belanda maka itu sudah ketentuan Allah SWT, sebab menurut beliau berdua meninggalkan daerah ini berarti meninggalkan teman-teman seperjuangan. Karena beliau berdua berserah diri kepada Allah SWT.
Tepat pada hari Ahad pahing tanggal 7 Ramadlan 1368 H/3 Juli 1949 M setelah Shubuh beliau pergi ke sawah milik mantan kepala Desa yang digarapnya di dekat gardu Sendangagung (ditepi barat jalan yang ada di sebelah barat rumah beliau) untuk mengatur benih padi yang mana siangnya nanti sekitar jam 07.00 akan ditanam. Mengingat beliau adalah seorang yang rajin dan giat bekerja, dengan tanpa memperhitungkan kedatangan Belanda, beliau berada ditengah sawah sedang sibuk mengatur benih padi yang akan ditanam tersebut tiba-tiba di pagi buta itu dengan tanpa diduga dan tanpa diketahui dari mana datangnya, tahu-tahu beliau sudah dikepung oleh Belanda dan akhirnya beliau ditangkap lalu dibawa ke markas Belanda di Paciran (sekarang ditempati bangunan Balai Desa Paciran). Dan setelah tiba di markas Belanda tempat penahanan beliau ternyata di dalam tahanan itu sudah ada KH. Amin dari Tunggul (Adik beliau) yang sudah ditangkap terlebih dahulu.
Pada hari Selasa Wage tanggal 9 Ramadlan 1368 H/5 Juli 1949 M sekitar jam 04.00 pagi rumah beliau (sekarang di depan langgar wirid) dibakar habis oleh Belanda. K.H. Ahmad Muhtadi ditawari menjadi kepala Desa bawahan Belanda untuk membawahi Sendangagung, Sendangduwur, Payaman, Solokuro dan sekitarnya. Apabila mau maka beliau akan dilepaskan. Tetapi karena semangat juang dan semangat nasionalismenya sangat kuat dan semua kitab-kitabnya juga sudah habis dibakar bersama rumahnya oleh Belanda maka beliau menolak tawaran itu. Kemudian pada hari Sabtu pon, tanggal 13 Ramadlan 1368 H/9 Juli 1949 M bersama dengan adinda (KH. Amin) beliau dibawa oleh Belanda ke arah timur, setelah sampai di suatu tempat di tepi jalan utara desa Dagan (sekarang MI Ma’arif NU Dagan), K.H. Ahmad Muhtadi bersama KH. Amin dari Tunggul (adiknya), Modin desa Klayar, Sehat dari Sendangagung kampung Gerdu Sarang, Reso dari Sendangagung Kampung Setuli dan dua orang lagi yang sampai sekarang masih menjadi misteri, dibantai (ditembak mati) oleh Belanda. Setelah beliau semua gugur, dengan disaksikan oleh pemuda kecil bernama Qomari, putra dari modin Dagan, akhirnya jenazah beliau semua itu dikuburkan oleh masyarakat desa Dagan Solokuro. Untuk itu masyarakat desa Dagan menggali dua lubang yang berjajar dengan jarak ± 3 meter, lubang barat untuk mengubur KH. Amin, K.H. Ahmad Muhtadi dan modin Klayar. Lubang timur untuk mengubur Reso, Sehat dan dua orang teman lagi.
Mengingat beliau semua itu gugur di dalam membela kemerdekaan negara Republik Indonesia, maka makam beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Makam Pahlawan.
Kemudian Di masa pemerintahan Orde Baru sekitar tahun 1980-an semua kerangkan pahlawan kemerdekaan RI wilayah Lamongan digali dan dikumpulkan di Taman Makam Pahlawan Kabupaten Lamongan, namun pihak keluarga menolak, dengan alasan : Karena K.H. Ahmad Muhtadi adalah seorang hafidh (hafal Al-Qur’an) dikhawatirkan jasadnya masih utuh. Dan akhirnya makam beliau dijadikan makam pahlawan di desa Dagan Solokuro Lamongan.
Banyak kenangan tentang sosok beliau yang tentunya membekas di hati warga Muslim di Paciran. Sudah sepatutnya kita yang merasakan kedekatan bathiniah terhadap K.H. Ahmad Muhtadi senantiasa merenung.
Sudah sejauh mana usaha kita dalam meneladani sikap, sifat maupun perbuatan beliau saat ini?
Sudah selayaknya, momentum haul K.H. Ahmad Muhtadi dimaknai dengan kegiatan akbar dengan spirit menumbuhkan jiwa-jiwa ulama yang menjadi tuntunan dan teladan bagi masyarakat. Bukan sosok yang terlena oleh arus dominasi politik, hingga lupa, bahwa sisi keulamaannya perlahan terkikis oleh nuansa kehidupan duniawi.
Kita pun menantikan sosok ulama yang revolusioner, yang bukan hanya sekedar mengajarkan kita isi kandungan kitab agama, atau pesan-pesan suci agama, melainkan bagaimana menunjukkan jalan ke arah perbaikan umat terutama perbaikan moralitas generasi bangsa yang saat ini.
Semoga kita mendapat barokah atas berjuangan beliau..Aamiin..
COMMENTS