Oleh Achmad Murtafi Haris dosen UIN Sunan Ampel Surabaya Ada beberapa catatan dari rentetan hiruk pikuk pemilu 2019. Khus...
![]() |
Oleh
Achmad Murtafi Haris
dosen UIN Sunan
Ampel Surabaya
Ada beberapa catatan dari rentetan hiruk
pikuk pemilu 2019. Khususnya terkait
dengan perlawanan kubu 02 terhadap hasil penghitungan suara yang memenangkan
kubu 01 Jokowi-Makruf. Tanpa menyangkal kemungkinan kecurangan dilakukan oleh
pihak yang menang, tapi kecenderungan tidak bisa menerima kekalahan adalah masalah
mendasar dalam kontestasi apa pun.
Konflik Pasca Pemilu di Tiga Negara
Banyak konflik bahkan perang sipil terjadi
akibat ketidakmampuan menerima kekalahan pemilu. Di negara Afrika kerap terjadi hal itu. Juga
di Amerika Latin seperti di Honduras di mana bentrokan terjadi antara polisi anti huru-hara dan
pendukung paslon yang kalah meski pemilu sudah lewat dua tahun. Pemilu 2017 yang
dimenangkan oleh Hernandez lawan Manuel Zelaya (mantan presiden) ternyata menyisakan
kerusuhan yang tidak kunjung usai.
Sementara di Mesir, pemilu 2012 yang
memenangkan Muhammad Mursi dari kelompok Ikhwanul Muslimin pada akhirnya
memunculkan gerakan penolakan massal yang
berujung penggulingan sang presiden oleh militer. Abdel Fatah el-Sisi sang
Jendral pun melenggang ke tampuk
kekuasaan meneruskan kekuasaan junta
militer di sana. Parlemen Mesir belum
lama ini bahkan menyetujui perpanjangan
kekuasaan el-Sisi hingga 2030. Suatu hal yang bertentangan dengan prinsip rotasi kepemimpinan periodik dalam praktek
demokrasi. Pergolakan sepanjang pelengseran memakan seribu korban nyawa. Korban
nyawa terbesar jatuh saat pembubaran paksa demonstran pendukung Murssi yang
bertahan berbulan-bulan di lapangan masjid Rabi’ah Adawiyah.
Di negara maju konflik pasca pemilu juga
terjadi. Pasca kemenangan Donald Trump melawan Hillary Clinton pada pemilu
Amerika Serikat 2016, warga New York
yang mayoritas memilih Hillary melakukan demonstrasi menolak kemenangan Trump.
Namun aksi-aksi itu akhirnya reda dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Dari ketiga contoh keributan pasca pemilu di Honduras, Mesir, Amerika dan
Prancis, nampaknya apa yang terjadi di Amerika adalah relatif paling baik. Kekalahan
Hillary Clinton yang sungguh di luar dugaan, sangat bisa dimaklumi meninggalkan kekecewaan berat di kalangan
pendukungnya terutama di New York. Tetapi penolakan akan hasil pemilu itu tidak
berlangsung lama. Kehebatannya lagi, Hillary yang menang secara populist vote
tapi kalau secara electoral, dengan cepat menerima kekalahan dan
menyatakannya di depan publik. Dalam pidatonya dia mengajak para pendukungnya
untuk menerima kekalahan dan tetap berbuat yang terbaik untuk Amerika. Hillary mengingatkan akan fondasi demokrasi yang
harus dijaga yaitu pergantian kepemimpinan yang aman. Dia memotivasi para kaum
wanita muda bahwa masa depan terbuka untuk mereka menjadi presiden Amerika. Sebuah harapan yang
pudar seiring kekalahannya dalam Pilpres. Dia juga menanamkan jiwa besar dan
menyampaikan pengalaamannya yang panjang di dunia politik bahwa berjuang untuk kebenaran
tidak pernah rugi (Never stop believing that fighting for what is right is worth
it). Pidato yang sungguh menenangkan hati, menghibur jiwa, menyadarkan akan
mahalnya nilai perjuangan dan membangkitkan optimisme para pendukung yang sedang menangis badai karena kekalahan.
Tragedi Terparah Pasca Pemilu di Amerika
Konflik pasca pemilu di negara Paman Sam
bukanlah suatu hal yang aneh. Pada awal pendirian negara, 1804, Aaron Burr
wakil presiden Thomas Jefferson, terlibat pembunuhan lawan politiknya Alexander
Hamilton sekretaris keuangan George Washington.
Pada tahun pemilu 1820 terjadi perang sipil
seiring dengan memanasnya isu ras dan agama. Yaitu kekhawatiran kaum kulit
putih Protestan terhadap kehadiran warga Irlandia dan Jerman yang Katolik. Mereka,
kaum Protestan, mengkhawatirkan identitas Amerika yang dominan akan tergerus
oleh pendatang baru. Mereka pun membuat Partai Amerika yang anti-Katolik pada 1850an.
Konflik berdarah terjadi pada pemilu 1855 yang terkenal dengan sebutan ‘Bloody
Monday’ di mana 22 warga asal Jerman dan Irlandia meregang nyawa di Louisville,
Kentucky untuk menghalangi mereka ikut serta dalam pencoblosan.
Yang paling parah adalah pada pilpres 1860
yang mempertandingkan empat calon presiden dan berakhir dengan kemenangan Abraham
Lincoln. Lincoln meraih 39,9% suara yang kemudian ditolak oleh warga Amerika
bagian Selatan yang berujung pada perang sipil. Meski Lincoln tidak mendukung
perubahan drastis sistem perbudakan namun warga yang tinggal di Amerika bagian
Selatan meyakini bahwa kebijakan Lincoln akan mengarah ke sana: kemerdekaan
para budak. Karenanya warga bagian selatan menuntut pemisahan diri dari Amerika
yang kemudian ditolak oleh Lincoln. Ketegangan berlanjut hingga terjadi perang sipil dan terbunuhnya Lincoln sendiri.
Setelah kemenangan bagian utara atas
selatan, konflik masih terjadi dalam kaitannya dengan pemilu. Yaitu ketika
warga bagian Utara menuntut warga Afro-Amerika yang berkulit hitam diberi hak pilih
dan tuduhan bahwa mereka akan dijadikan pendulang suara Partai Republik. Pada 1873
pembantaian terjadi atas seratusan warga Afro-Amerika yang menjadi pengawas Partai Republik dalam
pemilihan gubernur.
Demikianlah, Amerika yang telah melewati
perjalanan panjang demokrasi menyimpan kejadian
tragis pemilu. Jika diamati, itu semua
terjadi tatkala pemilu bersentuhan dengan isu SARA: Suku, Agama dan Ras. Dalam pemilu 2019 kali
ini di Indonesia, isu sejenis muncul dan digunakan untuk pendulang suara.
Akankah tragedi buruk bakal menimpa Indonesia seperti halnya Amerika dua abad
lalu?! Semoga tidak. Dan semoga ada solusi yang berujung pada penerimaan semua
pihak akan hasil Pemilu.
# kisruh,
#pasca pemilu,
#pemilu 2019,
#pemilu damai
COMMENTS