Oleh Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya William Shakespeare dalam karyanya Romeo and Juliet mewariskan satu...
Achmad Murtafi Haris
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
William Shakespeare dalam
karyanya Romeo and Juliet mewariskan satu kutipan kalimat yang
melegenda: “What is in a name?”. Kalimat tanya ini, yang berarti: “Apalah arti sebuah
nama?” kemudian diikuti dengan ucapan yang keluar dari mulut Juliet: “A rose by
any other name would smell as sweet” (mawar dengan nama apapun ia akan tercium
harum). Romeo seandainya dia bukan bernama Romeo dan bukan dari keluarga musuh,
Montague, dia tetap adalah orang yang sangat dicintai.
Inti pesannya adalah
bahwa nama apa pun tidak berpengaruh banyak jika dibandingkan dengan kualitas pemilik
nama. Banyak orang bernama bagus bahkan menggunakan nama nabi, namun ternyata
dia tidak sebaik namanya. Tanpa mengabaikan tuntunan agar setiap orang tua
memberikan nama yang enak diucapkan dan baik maknanya (jamil fi al-lafdhi wa
al-ma’na) sebagai sebuah harapan dan doa, tapi bagaimana pun, kualitas orangnya
yang lebih menentukan.
Meski demikian, banyak
ditemukan bahwa nama adalah sesuatu yang berdampak besar dan kontradiktif dengan
ucapan Shakespeare: “What is in a name?” Jawabannya adalah: “It
is a big deal” (ini sesuatu yang besar).
Nama bukanlah sekedar gabungan
huruf tanpa pengaruh dan dampak, ia sangat berdampak. Dalam setahun
terakhir setidaknya terjadi beberapa kali keributan dan ketegangan di medsos
yang obyeknya adalah nama atau sebutan. Seperti tentang nama Islam Nusantara
dan perubahan sebutan Kafir menjadi Non-muslim. Dua hal itu begitu ramai
digunjingkan warga net dan mendapat serangan bertubi-tubi dari kelompok yang
menolaknya.
Nama ‘Islam Nusantara’ muncul
secara resmi sebagai tema besar Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang Agustus
2015: “Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia”. Sebelum perhelatan itu, sebenarnya ia telah
muncul dalam karya Azyumardi Azra dalam judul bukunya Jaringan Ulama
Nusantara. Meski di sini tidak persis sama, yang satu ‘Islam’ Sedangkan
yang ini ‘Ulama’, tapi ia sama menambahkan nama Nusantara di belakangnya dan
keduanya sama tentang agama Islam.
Pihak yang menolak beranggapan bahwa
dengan adanya sebutan itu, Islam menjadi terkotak-kotak dan membeda-bedakan
antara Islam di Indonesia dengan yang ada di Arab. Atau mengandung pengertian
bahwa Islam di satu negara lebih baik
dari Islam di negara lain. Mereka yang mendengar pendapat ini, karena tidak
ingin Islam diadu antara satu dengan yang lain dan menginginkan Islam adalah
satu di mana pun ia berada, langsung ramai menolak dan menjadi sebuah
propaganda melawan faham yang dianggap merusak Islam.
Penolakan massif ini menarik untuk dikaji secara akademis. Bagaimana
sebuah nama atau sebutan yang muncul dalam tema muktamar yang disepakati oleh jajaran
ulama ditolak ramai-ramai dan dipersepsikan negatif. Bukankah mereka, para
ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama adalah ahlinya dalam bidang
keislaman sehingga apa yang mereka hasilkan tentunya sejalan dengan prinsip dan
nilai Islam. Pengabaian terhadap eksistensi para ahli di balik munculnya tema
besar adalah realitas kekinian yang perlu penjelasan akademis.
Pro dan kontra antara pengusung dan
pengkritik diakibatkan perbedaan tataran
berfikir antara keduanya. Yang pertama
(pro) berada pada tataran realitas akademis sementara yang kedua (kontra)
berada pada tataran ideal normatif. Kelompok pengusung memandang bahwa setelah
Islam itu berasal dari satu sumber yang satu, al-Qur’an dan hadits, ia
berkembang menjadi berfaham-faham dan tampil dalam banyak karakter. Sementara
kelompok kedua tidak memandang apa yang berkembang dari sumber yang satu dan meyakini
semua sama meski mereka berbeda faham dan praktek ritual.
Perbedaan tataran inilah yang
mengakibatkan sulitnya kelompok kedua menerima pandangan yang digagas oleh
pengusung Islam Nusantara. Sebuah tataran ‘pemula’ penganut agama. Ketika
seseorang mengawali belajar agama, dia selalu diajarkan materi-materi dasar
keislaman tanpa menyebut afiliasi faham. Artinya bahwa sang pelajar memahaminya
sebagai ajaran Islam yang tunggal minus pengetahuan bahwa apa yang dia dapat
sebenarnya telah berada pada kelompok Islam tertentu yang dianut oleh sang guru.
Di Arab Saudi seumpama, Islam yang
diajarkan adalah sesuai mazhab Fiqih Hambali dan aqidah Wahhabiyah yang
merupakan kristalisasi dari ajaran Ibn Taymiyyah. Sementara yang di Iran, Islam
yang diajarkan adalah yang sesuai dengan Fiqih mazhab Ja’fari dan aqidah
Shi’ah. Sementara di Indonesia, Islam yang diajarkan dalam praktek ibadah
adalah bermazhab Syafi’i dan aqidah Asy’ari.
Pengajaran Islam tahap awal yang tanpa
menyebutkan afiliasi golongan keagamaan adalah jamak untuk memudahkan
pengajaran. Pada tahapan selanjutnya yang lebih tinggi, baru sang pelajar
dikenakan dengan aliran-aliran dalam Islam dan di situ sang pelajar baru
mengetahui posisinya dalam peta aliran dan golongan Islam. Ada banyak disiplin ilmu keislaman yang menjelaskan
keanekaragaman ini. Dalam bidang hukum Islam (Fiqih) terdapat Ilmu Perbandingan
Mazhab (Muqaranat al-Mazahib); dalam
aqidah: Ilmu Kalam; dan Perbandingan Agama (Muqaranat al-Adyan). Masing-masing
dengan kitab babon yang sangat memperkaya wawasan keagamaan pembaca.
Mereka yang berada pada tataran lanjut
ini, lebih bisa menerima Islam Nusantara sebagai pandangan yang menjelaskan
afiliasi yang dianut. Tapi bagi mereka yang masih pada tataran awal sulit bisa menerimanya
karena belum terbiasa dengan pandangan Islam yang plural (bercabang). Mereka terbiasa
dengan pandangan Islam yang singular (induk).
Selain faktor perbedaan tataran berfikir, faktor lain tentunya ikut berpengaruh.
Faktor rivalitas antar golongan Islam di Indonesia sangat berpengaruh di sini.
Di mana mereka yang sedari awal berada dalam rivalitas menolak pandangan
tersebut dan mengkampanyekan dengan dalih Kesatuan Islam. Padahal realitasnya
Umat Islam dan penganut agama apa pun tidak pernah satu. Tapi selalu beragam
dan bercabang faham.
COMMENTS