Diskursus tentang Islam tradisionalis dan modernis tidak akan pernah hilang dari kesejarahan bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan ...
Diskursus tentang Islam tradisionalis dan modernis tidak akan pernah
hilang dari kesejarahan bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan
perkembangan Islam sejak awal kemerdekaan sampai pasca Orde Baru, zaman kolonialisme
sampai pada zaman liberalisme. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin,
seharusnya dapat menjadi solusi yang riil bagi bangsa Indonesia. Sedangkan
munculnya tradisionalisme Islam dan liberalisme Yunani adalah hasil interaksi
pergumulan Islam ke dalam dan kontak (relation) dengan dunia luar. Dalam
konteks inilah, Indonesia yang masyarakatnya sangat multikultural dan plural
dapat menjalankan keduanya baik tradisionalis dan modernis.
Kaitannya dengan modernitas, Indonesia sebagai Negara yang memiliki pola
fikir tradisionalis terhadap agama -sejak awal kemunculannya- seharusnya
dapat mengahadapi gesekan-gesekan peradaban baru (baca: global). Gesekan
peradaban yang akhirnya selalu memihak pada yang berkuasa. Peradaban yang
bertuhan pada modernitas. Modernitas yang dibuat-buat.
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah tokoh muda yang dapat menggabungkan dualisme
tersebut. Figur yang juga terlibat langsung dalam diskursus antara Islam dan
modernitas baik dalam pemikiran (konsep) maupun tindakan (aksi). Ia juga hidup
pada masa ethical Policy, yaitu masa dimana pemerintah Hindia-Belanda
menggulirkan kebijakan politik balas budi. Kebijakan ini penting karena sejak
itulah mulai diselenggarakan pendidikan modern bagi warga pribumi (inlander).
Artinya, Pak Wahid Hasyim ini merupakan sosok yang hidup pada era dimana bangsa
Indonesia masih kurang begitu mengenal pendidikan formal ala Barat dan
masa diselenggarakannya pendidikan formal tersebut (transisi pendidikan). Pada
saat itu, masyarakat Indonesia hanya mencukupkan diri untuk belajar di
surau-surau para tokoh agama (Pesantren). Sedangkan pesantren hanya
menerapkan pola pendidikan yang selama ini dianggap tradisional.
Kehadiran pendidikan barat modern sejak awal kemunculannya berlatar
belakang pada fakta keunggulan barat dalam segi duniawi. Ini tentunya
menghadirkan berbagai reaksi di kalangan umat Islam Indonesia. Sebagian
diantaranya menyambut dengan suka cita dan ikut memanfaatkan kesempatan ini.
Sementara sebagian besar tetap bertahan dengan model pendidikan tradisional
(baca: pesantren). Dalam konteks inilah Wahid Hasyim "bermain" dan
mencoba untuk memadukan dua model (pola) pendidikan di Indonesia. Kiprahnya
dalam memperjuangkan pendidikan sangat besar dan tidak bisa dihapus dari
sejarah pendidikan Indonesia.
Tokoh muda yang lahir di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur ini juga seorang
organisatoris. Ini dibuktikan dengan keterlibatannya dalam organisasi baik
organisasi politik (Masyumi) maupaun organisasi kemasyarakatan (NU). Ia juga
terlibat sangat intens dalam persiapan kemerdekaan RI, karena beliau menjadi
anggota BPUPKI dan Panitia Sembilan (PPKI) yang bekerja keras mewujudkan NKRI.
Peran beliau sangat menonjol terutama dalam panitia Sembilan. Tim kecil inilah
yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta dan kemudian menjadi Teks Pembukaan
UUD 1945 (minus tujuh kata yang hingga saat ini masih dalam perbincangan). Adalah
Wahid Hasyim yang juga selalu berupaya keras untuk menjembatani kubu Islam dan
Nasionalis dalam PPKI.
Inilah yang menyebabkan Achmad Zaini tertarik untuk mengangkat KH. Abdul
Wahid Hasyim dalam penelitian tesis magisternya yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak menjadi buku ini. Ada
beberapa alasan yang membuat Achmad Zaini mengangkat sosok pemuda desa ini
seperti yang dijelaskan yaitu, pertama, beliau hidup pada era generasi
pertama masyarakat Indonesia terdidik. Kedua, beliau adalah pemimpin
yang sangat penting (bahkan tokoh kunci) dalam komunitas NU para era-era
tersebut yang ditandai dengan sejumlah kejadian penting dalam proses-proses
berbangsa dan bernegara. Ketiga, keterbukaan Wahid Hasyim terhadap
segala hal yang baru dan pemikiran yang cukup maju dapat dilihat dari
meengusulkan adanya perubahan kurikulum di pondok pesantren. Ide yang
ditawarkan adalah memasuk pengetahuan "sekuler" dalam kurikulum
pesantren dengan harapan santri tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi
juga ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat, sehingga para santri -menurut
pandangannnya- dapat menjadi manusia yang sempurna. Keempat, hingga
saat ini, masih sangat jarang karya ilmiah yang secara spesifik mengurai kiprah
beliau.
Buku yang judul aslinya "Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim: Has
Contribution to Muslim Educational Reform and to Indonesian Nationalism During
the Twentieth Century" memaparkan peran Wahid Hasyim dalam pembaharuan
pendidikan Islam Indonesia dan perjuangannya dalam kemerdekaan. Ia juga menjelaskan
kontribusi Wahid Hasyim yang seringkali dinafikan oleh para sarjana dari
kalangan modernis. Walaupun buku ini merupakan terjemahan dari thesis
yang berbahasa inggris, namun bahasa sasarannya (Bahasa Indonesia) sangat mudah
untuk difahami karena diterjemah langsung oleh penulisnya.
Membaca buku ini sudah mewakili beberapa tulisan (baca: buku) tentang
Abdul Wahid Hasyim, sejarah hidup, pemikiran, peran (aktivitas) politik, dan
"aksi" beliau dalam pembaharuan pendidikan. Banyak hikmah, khazanah
keilmuan, inovasi, dan semangat yang dapat diperoleh dari sosok Abdul Wahid
Hasyim. Semoga dan selamat membaca!
Judul Buku :
KH. Abdul Wahid Hasyim; Pembaharu Pendidikan Islam dan Pejuang
Kemerdekaan
Penulis :
Achmad Zaini
Penerbit : Pesantren Tebuireng
Tahun : 2011
Ukuran :
14 X 20.5 cm.
Tebal : 131 Halaman
Peresensi :
Abdur Rahim (alumni Pondok Pesantren Kyai Syarifuddin Lumajang)
COMMENTS