Oleh: M. Fachry* Mengutip penuturan Gus Mus bahwa salah satu dari beberapa kiai yang masyhur kewaliannya adalah KH. Abdul Hamid Pasurua...
Oleh: M. Fachry*
Mengutip penuturan Gus Mus bahwa salah satu dari beberapa kiai yang masyhur kewaliannya adalah KH. Abdul Hamid Pasuruan. Tak ada yang menyangsikan kealiman, kesederhanaan dan ketelatenan beliau dalam mengajak santri-masyarakat untuk melakukan kebaikan.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa di masa "sugeng"-nya dulu, Romo Kiai Hamid Pasuruan memiliki kebiasaan agung yang begitu unik. Apakah kebiasaan itu?
Ternyata, setiap pagi menjelang Subuh, biasanya antara jam 02.30 hingga 03.00, seusai jam-jam uzlah hariannya, beliau berkeliling ke pemukiman penduduk di sekitar pondok yang beliau asuh. Tapi beliau tidak sekadar berjalan keliling saja. Satu persatu pintu rumah tetangga yang beliau kenali sebagai rumah murid-muridnya beliau dekati. Beliau ketuk pelan sembari memanggil nama si empunya rumah.
“Anwar... Anwar... Ayo tangi. Tahajjud War. Diluk engkas Subuh yo?” Demikian beliau memanggil nama salah satu tetangga pondok yang memang juga santri beliau. Langsung di depan pintu rumahnya. Kebiasaan itu berjalan hampir setiap hari tanpa libur!
Demikian juga terhadap “Anwar-Anwar” yang lain. Beliau dengan kehalusan suara dan gerakannya, berkeliling dari satu pintu ke pintu yang lain. Mendesahkan kalimat yang kurang lebih sama. Mengajak pemilik rumah untuk bangun dan melaksanakan sholat Tahajjud. Sambil, tentu saja, tak lupa menyunggingkan seutas senyum penuh kebapakan.
Saya (penulis) belum pernah tahu adakah dari pemilik rumah-rumah yang beliau ketuk itu ada yang sampai membukakan pintunya. Setahu saya, biasanya dari arah dalam rumah hanya terdengar sahutan, “nggeh Yai. Ngapunten Yai...” Lalu Romo Kiai Hamid berpindah ke rumah santrinya yang lain.
Karena berjalan bertahun-tahun dan sudah menjadi hal yang rutin, maka masyarakat di sekitar Jalan Jawa, Pasuruan itu, dimana Pesantren Romo Kiai Hamid berada, menganggap bahwa aktifitas di pagi buta itu seperti bagian dari kegiatan harian biasa.
Rata-rata bahkan memilih untuk tidur di ruang tamu, karena posisi ruang tamu di rumah orang Pasuruan adalah langsung berbatasan dengan pintu utama. Mereka menggelar alas dan bantal di dekat pintu. Maksudnya mudah ditebak; agar kalau Romo Kiai Hamid membangunkan mereka bisa langsung mendengar dan menjawab salamnya.
Dari kisah singkat ini bisa diambil sebuah pelajaran, bahwa kebiasaan untuk berbuat baik haruslah dilakukan berulangkali tanpa mengenal kata libur agar menjadi sebuah resonansi. Dan harus bertekad sejak dini mengikatkan diri untuk komitmen taqarrub ilalLah yang seharusnya menancap dalam hati. Lahul Fatihah..
_______________
*salah satu khadam ndalem yang kini berkiprah di tengah masyarakat
COMMENTS