Oleh: Ahmad Karomi* Gesekan rel dengan roda besi KA Mutiara Selatan yang mengantarkan peserta Munas NU dari Surabaya menuju kota ...
Oleh: Ahmad Karomi*
Gesekan rel dengan roda besi KA Mutiara Selatan yang mengantarkan peserta Munas NU
dari Surabaya menuju kota Banjar berjalan pelan. Meskipun KA Mutiara Selatan kelas eksekutif, bukan berarti ia melaju super kencang tidak terkalahkan. Ia tetap harus berhenti dan membuka jalan bagi kereta lain untuk gantian lewat. Ini merupakan contoh /ibroh mengalah, kerjasama dan "unggah ungguh" yang patut ditiru dari benda bernama Sepur tut-tut gujes-gujes.
Setibanya di tempat Munas, kira-kira jam 04.40 dini hari, saya beserta rombongan PWNU Jatim menuju masjid guna melaksanakan sholat subuh. Tak ayal, kenangan kami semua muncul tatkala masih nyantri di pesantren. Lalaran, ngantri di jeding dan sholawatan, mewarnai indahnya pagi di Pondok Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Banjar Jawa Barat.
Selanjutnya, kami pun diantar panitia lokal menuju kamar yang telah disediakan dekat ndalem. Sarapan telah disediakan, tanpa menunggu lama, kami pun menikmati hidangan khas kota Banjar. "Kopi atau teh?" tanya panitia. "Teh saja" jawabku. Tatkala teh saya sruput, terasa ada yang janggal, ternyata tehnya tawar alias tidak manis. Salah satu teman tertawa sembari berkata "Teh dan kopi tawar itu khas Banjar, lho". Karena tidak terbiasa, saya pun minta diambilkan gula sebagai pemanis.
Selepas sarapan, tiba-tiba saya dijapri Gus Muhamad cucu Mbah Muslih Mranggen, teman semasa di Al-falah Ploso Kediri untuk diajak sowan Abah mertuanya yang kebetulan ikut pembukaan Munas dan berada di ndalem. Beliau adalah Kiai Zaini Ilyas ulama sepuh kelahiran 11 Januari 1926, santri KH. Ihsan Jampes Kediri dan Syekh Masduqi Lasem.
Sekelumit Pesona dari KH. Zaini Ilyas
Jajaran rombongan PWNU Jatim seperti KH. Abdurrahman Navis, KH. Firjaun Barlaman, Ust. Arifuddin, Ust. Muhammad Anas, KH. Asyhar Sofwan kompak sowan KH. Zaini Ilyas. Apa saja dawuh beliau? KH. Zaini Ilyas mengisahkan saat nyantri di pondok Jampes masih "menangi" era Kiai Ihsan selama dua tahun yang selanjutnya Kiai Ihsan kapundut.
Kiai Zaini bertutur "kulo ngaos tafsir jalalain dateng Mbah Ihsan pas ayat 'wa'bud rabbaka hatta ya'tiyakal yaqin', lajeng Mbah Ihsan gerah ngantos kapundut yuswo 50 tahun" (saya mengaji kitab tafsir jalalain kepada Mbah Ihsan tepat ayat 'wa'bud rabbaka hatta ya'tiyakal yaqin' lalu keesokan harinya Mbah Ihsan sakit hingga wafat di usia 50 tahun). "Kejadian niku sebagai pertanda bahwa Mbah Ihsan meniko kiai ingkang alim, wirai, zuhud lan kekasihe Gusti Allah". Beliau sempat berseloroh "makane ojo pinter-pinter nggarai umur gak dowo", kami pun tersenyum.
Saya pun memberanikan diri bertanya, "amalanipun Mbah Ihsan niku nopo, Yai?" KH. Zaini Ilyas menjawab: "Sakngertos kulo, Mbah Ihsan niku istiqomah sunnah Qabliyah ba'diyah, tegese mboten nate bolong" (sepengetahuan saya, Mbah Ihsan itu sunnah qabliyah ba'diyah tidak pernah bolong). KH. Zaini Ilyas dawuh: "Mbah Ihsan niku mboten ahli pidato nanging nyuntuhi klakuan sae, ajeg ngaos lan ibadah sunnah", (Mbah Ihsan itu bukan ahli pidato tapi mencontohkan perbuatan yang baik, istiqomah ngaji, dan ibadah sunnah), sejenak KH. Zaini menghela nafas, "Mboten kados tiyang sakmangken, pinter pidato nanging klakuane mboten sae, ngaos lan ibadah nggih mboten nate" (tidak seperti orang sekarang yang pinter pidato tapi tidak pernah ngaji dan beribadah). Kedah dimangertosi bilih "ibadah sunnah pun ngantos ninggalaken ibadah wajib" (ibadah sunnah jangan sampai mengalahkan/meninggalkan ibadah wajib).
Dawuh KH. Zaini Ilyas yang saya tangkap ini mengisyaratkan bahwa lisanul hal afsohu min lisanil maqol (haliyah/perbuatan) merupakan senjata ampuh untuk memberikan contoh kepada masyarakat. Dakwah bukan semata pidato atau ceramah, tapi juga berbuat baik serta memberikan teladan kebaikan di tengah masyarakat. Dan perlu diingat bahwa ibadah apapun itu (puasa sunnah, tahajud, sholawat, dll) jangan pernah melupakan/melalaikan ibadah wajib (sholat fardu, puasa wajib, nafkah keluarga, berbakti pada orang tua, memuliakan guru, dll)
Dari sekelumit kisah di sela Munas itu saya berasumsi bahwa kualitas seseorang itu terletak pada praktek-gerak perbuatan. Tentunya semakin tokcer lagi bila ditopang dengan teori yang matang. Artinya, silahkan berpidato asalkan dibarengi dengan perbuatan yang baik pula dan membawa manfaat bagi masyarakat.
Di akhir pesowanan tersebut, saya mengharap berkah doa kepada KH. Zaini Ilyas. Apa yang terjadi? beliau malah dawuh "kulo tiyang ingkang katah dusone, mboten pantes ndungani" (saya manusia yang banyak dosa, tidak layak untuk mendoakan). Masyaallah, sungguh inilah puncak kearifan dari segala disiplin keilmuan. KH. Zaini Ilyas memberikan teladan bahwa tawadlu', tidak sombong adalah pamungkasnya. Kiranya, bila dikait-pautkan dengan "ojok pinter-pinter nggarai umur gak dowo" kepada kami sangatlah tepat. Lantaran, kemlelet dan kemlinti kerap bernyanyi dalam urat nadi. Obat penawarnya adalah tawadlu seperti yang dicontohkan langsung oleh KH. Zaini.
Walhasil, KH. Firjaun mewakili kami semua, memohon kepada KH. Zaini Ilyas agar diakui sebagai santri. Semoga KH. Zaini Ilyas pengasuh Pondok Miftahul Huda, Pesawahan Kec. Rawalo. kab. Banyumas ini pinaringan panjang usia. Lahul fatihah.
_____________________
*Sekretaris PW LTNNU Jatim, Alumni Alfalah Ploso Kediri.
COMMENTS