Oleh: Ahmad Karomi* KH. Zainuddin termasuk salah satu pengasuh Pondok Mojosari, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur generasi ke 7....
Oleh: Ahmad Karomi*
KH. Zainuddin termasuk salah satu pengasuh Pondok Mojosari,
Loceret, Nganjuk, Jawa Timur generasi ke 7. Pondok Mojosari berdiri atas jerih
payah Kiai Ali Imron pada tahun 1720 M. Beliau berasal dari Bojonegoro. Banyak ulama terkemuka yang lahir dari tangan
dingin Kiai Zainuddin, sebut saja Kiai Ahmad Djazuli Ploso, Kiai Toha Al-Islah,
Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Mashudi Blitar, dll. Konon KH. Zainuddin pernah dengan tegas berkata
“santri-santriku masio nakal sesok bakal dadi wong.” (santri-santriku meskipun
nakal, kelak akan menjadi orang besar). Perkataan ini seakan menjadi doa mustajab, sehingga santri Mojosari bagaimanapun nakalnya, ia mendapat "jaminan" berupa doa "futuh" dari Mbah Zainuddin agar kelak menjadi manusia bermanfaat.
Pernah suatu saat, Kiai Zainuddin ini membangunkan santri
yang sulit dibangunkan sholat subuh,
dengan gaya khas pondok, beliau membangunkan santri-santri dengan cara ditetesi
air dingin supaya langsung bangun. Namun ada juga santri yang sangat sulit
dibangunkan, tanpa pikir panjang Kiai Zainuddin meneteskan minyak goreng di
kaki santri. Santri itupun terkejut langsung mendamprat “woo nakal sopo nangeni
nggawe lengo?” (siapa yang nakal membangunkanku
memakai minyak goreng ini?), si santri ini pun menoleh kanan-kiri, pandangannya
terhenti tatkala melihat sosok Kiai Zainuddin tersenyum kepadanya, tak ayal si
santri langsung menundukkan kepala menahan rasa malu.
Wadzifah yaumiyyah atau kegiatan sehari-hari Kiai Zainuddin
tak jauh berbeda dengan petani biasa, namun Kiai Zainuddin atau lebih akrab
dipanggil Mbah Zainuddin Mojosari ini dikenal sebagai sosok disiplin dan
istiqomah. Menurut penuturan sebagian muridnya yang masih hidup, Mbah Zainuddin
saat pukul 22.00 tepatnya setelah usai mengaji kitab di malam hari, beliau
istirahat hingga jam 02.00 dini hari, lalu sholat tahajud serta membaca
Al-Quran atau melakukan ibadah-ibadah lainnya. Namun terkadang beliau sambil
menunggu adzan subuh dipergunakan mengelilingi pekarangan yang banyak ditumbuhi
buah-buahan, setelah itu beliau membangunkan santri-santrinya dengan menyebut
nama santri masing-masing.
Usai sholat subuh beliau lanjutkan mengaji hingga jam 07.00,
dilanjutkan menyapu halaman, kandang kuda, sapi, kambing, dan terkadang beliau
juga ikut memberi makan ternak-ternaknya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Mbah
Zainuddin bekerja keras, mencangkul, menanam singkong, jagung dan pisang, serta
memiliki Toga atau Tanaman obat keluarga.
Keuletan kedisiplinan serta ketelatenan Mbah Kiai Zainuddin
Mojosari ini bisa dijadikan teladan, sebab dengan kebiasaan yang baik akan
membuahkan sesuatu yang baik pula. Tengoklah, seorang kiai yang dikenal
waliyullah, namun memiliki keseharian yang bisa dikatakan biasa-biasa saja.
Padahal dari kebiasaan yang biasa itulah KH Zainuddin menjadi sosok yang luar
biasa (khariq adah). Meskipun demikian pengertian luar biasa bagi sebagian kalangan kerap diidentikkan sebagai sosok sakti mandraguna, jadug, hebat dan di luar nalar manusia.
Sifat penyayang kepada lingkungan, bercocok tanam, beternak,
menyapu halaman adalah ciri khas ulama yang sederhana ini. Sebab dari situlah
bisa diketahui bahwa seorang ulama yang sudah memiliki pamor, wibawa, ilmu yang
tinggi tidaklah seenaknya mengandalkan kehebatannya, dia tetap berusaha membumi
dan berbaur layaknya manusia pada umumnya. Bukan melangit dan gila pujian serta
sanjungan. Dari sinilah letak keluarbiasaan KH Zainuddin Mojosari yang tetap
biasa ditengah keluarbiasaan beliau.
Inti dari kisah ini, seperti yang termuat dalam biografi KH.
Djazuli Sang Blawong, prinsip Mbah Zainuddin Mojosari berpedoman ayat ata’murunannasa bilbirri wa
tansauna anfusakum. Bahwa seseorang yang mengajak kebaikan janganlah melupakan
akan perbuatannya sendiri, sehingga penyeru kebaikan haruslah memulai dengan
dirinya sendiri selanjutnya barulah ia mengajak orang lain untuk berbuat baik seperti yang telah
ia kerjakan. Hal ini senada dengan maqolah "lisanul hal afshohu min lisanil maqal" (lisan berupa perbuatan itu lebih mengena/berkesan ketimbang lisan berupa perkataan). Saking kagumnya KH. Ahmad Djazuli terhadap Mbah Zainuddin Mojosari, maqolah ini menjadi prinsip KH. Ahmad Djazuli. Bahkan salah satu putra beliau namakan Zainuddin (KH. Zainuddin Djazuli) sebagai
bentuk tafa’ulan tabarrukan kepada sang guru, yakni Mbah Kiai Zainuddin
Mojosari. Lahumal fatihah.
*PW LTNNU JATIM, Alumni Alfalah Ploso.
COMMENTS