Oleh: Ahmad Karomi* Ada sebuah kisah tentang tips mendidik santri ala KH. Hasyim Asy'ari agar terlecut untuk belajar dengan tekun...
Oleh: Ahmad Karomi*
Ada sebuah kisah tentang tips mendidik santri ala KH. Hasyim Asy'ari agar terlecut untuk belajar dengan tekun. Kisah ini
bersumber dari Alm. Abah KH Thobib Hunaini Gebang Putih Surabaya, beliau berkisah
dulu ada santri yang pamit akan boyong, lalu Hadrotussyekh bertanya terkait
ngaji kitabnya, Kurang lebih narasinya begini,”kowe arep boyong wes nguasai taqrib?”
Tanya Mbah Hasyim, santri itu pun menjawab:”dereng”, lalu Mbah Hasyim
berkata:”ojo boyong yen durung nguasai taqrib, krono taqrib kuwi dasare
fiqih, nek wes nguasai taqrib awakmu oleh boyong tapi cukup dadi mudin kampong (lokal),
nek wes nguasai muin awakmu oleh boyong
tapi cukup dadi kyai kampong lan daerah sekitarmu (nasional), nek awakmu
wes nguasai wahab, awakmu oleh boyong lan aku ridlo ikhlas awakmu menyang
daerah endi wae (internasional)”, akhirnya santri itu pun mengurungkan niatnya untuk tidak buru-buru boyong hingga khatam Fathul Wahab.
Pesan dari kisah ini menunjukkan akan
pentingnya tholabul ilmi thuluzzamani (ngaji sing suwe), seperti
yang terdapat di dalam syairan Alala, bahwa thuluzzamani merupakan
salah satu syarat yang harus dijalani oleh para santri. Semakin lama
dia mondok, mengaji maka semakin matanglah keilmuannya. Sebab dari lamanya waktu
belajar itulah barometer uji mental dan spiritual seorang santri.
Kitab Taqrib disebut sebagai fiqh dasar,
sebab Taqrib karya Abu Syuja’ berisi pelajaran fiqh yang ringkas namun
tepat guna bagi keluarga, kerabat serta masyarakat. Kitab Muin
disebut sebagai fiqh middle sebab kandungan dalam Fathul Muin karya
Syekh Zainuddin Malibariy ini mencakup banyak permasalahan yang dihadapi
masyarakat baik waqi'iyah maupun maudhu'iyyah. Kitab Wahab
disebut fiqh kelas high sebab karya Zakariyya Al-Anshari yang terkenal dengan
“hadza min ziyadati” ini lebih luas lagi pembahasannya. Tidak
mengherankan bilamana sebagian murid-murid Hadratus Syekh Hasyim Asyari
mengadopsi sistem pengajaran dari Tebuireng. Misalnya KH. Djazuli Usman
menerapkannya di pesantren Al-Falah Ploso.
Kisah percakapan antara santri dengan Hadratus Syekh
Hasyim Asyari di atas juga mengisyaratkan pesan bahwa lazimnya seseorang yang menuntut ilmu--di samping berakhlaqul karimah--haruslah melewati jenjang tingkatan dasar, berproses mengarungi waktu serta
dimatangkan, kemudian melangkah ke jenjang selanjutnya. Kurang tepatlah bila
seorang murid langsung memasuki jenjang Fathul Muin dan Fathul Wahab tanpa memahami
fiqih dasar terlebih dahulu. Bisa dikatakan untuk mengetahui Muin dan Wahab
kuncinya adalah belajar kitab Taqrib dulu.
Wallahu a'lam
___________________
*PW LTNNU Jatim, alumni Al-Falah Ploso, mahasiswa UINSA, bapak rumah tangga.
COMMENTS