Lahirnya naskah berbahasa Jawa yang bernuansa Islami menjadi simbol kebangkitan para Intelektual Jawa pada masa itu. Saat ini nilai-ni...
Lahirnya
naskah berbahasa Jawa yang bernuansa Islami menjadi simbol kebangkitan para
Intelektual Jawa pada masa itu. Saat ini nilai-nilai budaya Islam telah menyatu
dengan nilai-nilai budaya di sebagian daerah di tanah air, baik dalam wujud
seni budaya, tradisi, maupun peninggalan fisik. Sementara itu dalam pengembangan budaya nasional, peran Islam dalam
terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan bangsa telah dibuktikan dalam
sejarah. Islam dapat menjadi penghubung bagi berbagai kebudayaan daerah yang
sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim. dimulai dari bukti Naskah-Naskah Jawa pada
sejarah, yakni dari abad ke-16 perpindahan pusat pemerintahan dari Demak (pesisir)
ke Mataram (pedalaman) mempengaruhi perkembangan kebudayaan di Jawa. Naskah-naskah berbahasa jawa yang bernuansa Islam ditemukan
pada abad ini. 1916. B.J.O Schrieke menemukan naskah Jawa yang
dipengaruhi aliran tasawuf Al-Ghazali;
Dalam Het Boek van Bonang: “ yan punika
tjaritanira Shaib al Bari, Tarkalanira apitutur ing tjarita saking kitab ihya’
ulum aldin lan saking Tambid antukira Shaib al Bari ametet in tingkahing
sisimpenaning nabi wali mu’min kabeh (Poerbatjaraka, 1957:88)
Dalam Een Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw: “ yan tingkahing anastahken marga rawuh ing Allahu ta’ala antuking angintar saking kitab I(h)ya ngulumuddin kalawan sangking kitab Talkisulminhadj kalawan sangking kitab Kandjulkapi...” (Drewes, 1954 : 46)
Zaman Mataram
pada naskah “Babad Tanah Jawi” ditemukan konsepsi tentang raja-keturunan-dewa
dalam silsilah raja Mataram pertama yaitu Senopati (1586-1601) yang memiliki
keturuan yang berasal dari nabi Adam, dari sudut pandang akulturasi hal ini
menunjukkan bagaimana pengaruh spiritualitas Islam pada spiritualitas
Jawa. Munculnya serat-serat suluk yang
berisi Ilmu kesempurnaan atau mistik : Suluk Wujil (1907) mengandung wejangan Sunan Bonang pada
wujil (cebol kesayangan ratu Majapahit), Suluk Malang Sumirang, Suluk
Nitisturi (1612). Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman atau
Terkenal Dengan Sultan Agung Anyakrakusuma (1613-1645) menyatukan antara tahun
saka (India) dan tahun hijriyah (Islam) sebagai tahun Jawa, pada zaman ini
muncul Serat Nitipraja (1941) yang berisi tentang pelajaran bagi
pembesar negara dalam mengurus kerajaan dan membina rakyat kecil. (Suwarno,
2005: 45)
Zaman Kartasura (1680-1744): Serat Sewaka 1699 berisi tentang budi pekerti, kemudian Serat Menak 1717 disusun ulang oleh Hidayat Amir Hamzah dan banyak disukai demi kepentingan propaganda (Dakwah) Islam. Kemudian lahir cerita Menak-cabang, seperti Serat Rengganis karya Rangga Janur pujangga Kartasura. Serat Ambiya berisi tentang Nabi Adam dan anak keturunannya, Serat Kanda berisi tentang cerita Islam dan cerita Jawa. Pada masa ini Serat-Serat mengisahkan carita Nabi Adam dan keturunannya, kemudian dilanjutkan cerita Sang NurCahaya menurunkan dewa-dewa karena hendak menundukkan para dewa dibawah para nabi atau pemuka agama dan terakhir ialah Babad Tanah Jawa yang menjadi salah satu bukti akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Jawa.
Zaman Surakarta, kepemimpinan Paku Buwono III mempelopori pengubahan Serat Jawa Kuno kedalam bahasa Jawa baru, seperti Wihana-Jarwa. Paku Buwono IV menulis naskah-naskah serat; Wulang-Reh, Wulang-Sunu, Wulang-dalem. Kepemimpinan Paku Buwono V hampir semua karya Yasadipura II disusun atas perintah beliau termasuk Serat Centini yang disusun bersama Ranggasutrasna. Karya populer R.M. Ng. Ranggawarsita memberikan sumbangsing kejayaan para intelektual jawa pada masa ini, seperti Paramayoga, Jitapsara, Pustaka-Raja, Cemporet, Suluk Supanalaya, Suluk Sukma Lelana, dan Wirid Hidayat Jati.
Perkembangan serat Jawa dari zaman Mataram abad ke-17 hingga Kartasura semakin pesat dan menjadi puncak kejayaan intelektual Jawa pada zaman Surakarta. Corak dari setiap zaman memiliki keutamaan masing-masing, dari zaman Mataram identik dengan suluk mistik, dan zaman Kartasura muncul khas Islam dan khas Jawa, akulturasi kebudayaan spiritualitas Islam dan Jawa, hingga zaman Surakarta lahirnya serat-serat Jawa baru yang diterjemahkan ulang dari serat Jawa kuno, hingga R. Ng. Ranggawarsita menjadi serat terakhir yang sarat dengan kandungan ilmu kesempurnaan dan mistik.
Islam sebagai ajaran keagamaan yang lengkap, memberi tempat pada dua jenis penghayatan keagamaan, Pertama, eksoterik (zhahiri), yaitu penghayatan keagamaan yang berorientasi pada formalitas fiqhiyah atau pada norma-norma dan aturan-aturan agama yang ketat. Kedua, esoterik (bathini), yaitu penghayatan keagamaan yang berorientasi dan menitikberatkan pada inti keberagamaan dan tujuan beragama, yakni beragama untuk kepentingan manusia sendiri, atau disebut sebagai humanisme teosentris yang merupakan nilai inti dari seluruh ajaran Islam.
Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara cultural, sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat. Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya local sudah dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu masyarakat.
Oleh: Lia hilyatul Masrifah, PW LTNNU JATIM
COMMENTS