Oleh: Ahmad Karomi* KH. Muhammad Kholil bin KH Abdul latif lahir pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1225 H bertepatan dengan tahun 18...
Oleh: Ahmad Karomi*
KH. Muhammad Kholil bin KH Abdul latif
lahir pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1225 H bertepatan dengan tahun 1835 M.
beliau lebih akrab disebut Mbah,
Syaikhona (guru kita) yang merupakan guru para guru ulama masa itu, sehingga
sebutan Syaikhona identik dengan KH Kholil Bangkalan.
Silsilah KH. Kholil ke atas bermuara pada
Sunan Gunung Jati, sebagaimana catatan resmi KHR. As’ad Syamsul Arifin
menuturkan bahwa Syaikhona Kholil ini keturunan ke 9 dari Sunan Gunung Jati.
Sedangkan jika ditelusuri ke atas lagi, maka Syaikhona termasuk keturunan ke 29
yang bersambung kepada Rasulullah, namun menurut penulis buku “Surat kepada Anjing Hitam” karya Saifur Rahman yang menelusuri berdasarkan data gabungan
dari KHR As’ad, KH. Abdullah Schal dan Sayyid Isa bin Muhammad al Kaff Palembang, menyimpulkan bahwasanya KH. Kholil
keturunan Rasulullah yang ke 33. Rihlah ilmiyah (perjalanan intelektual) KH
Kholil ini sekitar tahun 1850 M menurut buku Saifur Rahman dari berbagai
pesantren di jawa, diantaranya: Kyai M. Nur Langitan, Kyai Asyik Canga'an Bangil,
Kyai Nur Hasan Sidogiri, Pesantren Banyuwangi, para Masyayikh di tanah Hijaz
(Makkatul Mukarromah).
Salah satu akhlaq Syaikhona Kholil yang
patut diteladani, diantaranya ketika beliau mondok di Sidogiri. Perlu diketahui, bahwa jarak pesantren Sidogiri
dengan tempat mukimnya (Pesantren Keboncandi) Kholil muda sekitar 7 km, selama menempuh jarak itu
Kholil muda pulang pergi sambil meng-khatam-kan surat Yasin 50 kali, kemudian
ketika Kholil muda akan memasuki kompleks pesantren Sidogiri segera melepas
terompahnya (bakiak) karena ta’adduban (bersopan santun) kepada sahibul
maqbarah yang terletak di samping masjid pesantren.
Laku Kholil muda ini mengisyaratkan akan
pentingnya berakhlaqul karimah meskipun terhadap ulama yang sudah meninggal, apalagi
di maqbarah seorang auliya. Tidak mengherankan bila fenomena ini
kita jumpai di beberapa pesarean—terlebih
pesarean Walisongo—dengan melepaskan terumpah ketika akan masuk. Berlebihankah? menurut hemat penulis tidak
berlebihan, sebab para waliyullah yang sudah meninggal sejatinya mengalami hayatun
kamilah (hidup sempurna), dikatakan hidup sempurna, sebab para aulia’ telah
lepas dari belenggu Duniawi dan menyatu dengan hadrotul ilah. Tawadlu’
yang dilakoni oleh Kholil muda ini bisa diteladani, ditiru dan dijadikan
tuntunan, bahwa kepandaian apapun terukur dari akhlaqul karimahnya. Apa gunanya
pandai, cerdas namun tidak memiliki akhlaqul karimah? Kecerdasan ibarat pisau
yang tajam namun tidak memiliki gagang akhlaq yang kuat sehingga bisa berakibat
fatal dan melukai siapapun yang menggenggamnya.
Pendar keteladanan dari Kholil muda pun
semakin mengagumkan tatkala beliau berguru di makkah mukarramah tekun mencatat
pelajaran dengan menggunakan media baju yang dipakainya sebagai ganti kertas
tulis, kemudian difahami dan dihafal lalu dicuci, selanjutnya dikenakan lagi
baju itu. Oleh sebab itulah pakaian Syaikhona berwarna putih, saking seringnya
beliau mencuci. Adapun biaya hidup selama di makkah Syaikhona produktif menulis
berbagai risalah dan kitab lalu dijual. Beliau menulis Alfiyah dan menjualnya
seharga 200 riyal perkitab.
Keteladanan yang bisa diambil dari sekelumit kisah ini adalah tidak menyia-nyiakan waktu dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya meskipun terkendala media kertas tulis, seperti Imam Syafi'i yang menuliskan hadits dan pelajaran yang didapat dari guru-gurunya dengan menggunakan kulit binatang, pelepah kurma, batu-batuan. Walhasil, tidak mengherankan bila akhlaqul karimah yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil ini menjadi semacam embrio atau modal utama saat mendidik santri-santrinya dan menghantarkan mereka menjadi ulama nusantara.
_______________________
*Sekretaris PW LTNNU Jatim, Alumni Al-Falah Ploso, Bapak Rumah Tangga
COMMENTS