Oleh: Ahmad Karomi* Fiqh yang diartikan sebagai “pemahaman” memiliki cakupan yang sangat luas menembus batas dan tak terhingga. Secara ...
Oleh: Ahmad Karomi*
Fiqh yang diartikan sebagai “pemahaman” memiliki cakupan yang sangat luas menembus batas dan tak terhingga. Secara kebahasaan (lughatan), fiqh bukan dimaknai sebuah disiplin ilmu tertentu yang mengupas hukum halal haram saja akan tetapi sebagai “knowledge”, yakni pemahaman mendalam akan sesuatu, sehingga membentuk prisma pemikiran yang salihun fi kulli zaman wa makan. Paradigma “kefekihen” kerap identik dengan ilmu syariah/hukum normative agama, padahal fiqh atau feqih bukan monopoli syariah (hukum agama), akan tetapi juga tasawuf, lingkungan, HAM, otomotif dan juga bercocoktanam tumbuh-tumbuhan yang saya sebut al-Nabat.
Pasca MEA (pasar bebas) resmi masuk negeri tercinta ini, berbondong-bondong segala hal yang berbau import merangsek masuk kawasan masyarakat pedesaan dan perkotaan. Uniknya, bagi masyarakat desa lazimnya memahami fenomena import itu adalah peluang usaha yang prospektif dan hal ini diperparah dengan anggapan putaran rupiah hanya terjadi di kota-kota besar saja. Tak pelak terjadilah apa yang disebut urbanisasi besar-besaran ke penjuru kota-kota besar.
Kenyataan ini menimbulkan lubang besar (big hole) antara pedesaan dan perkotaan atau “al-badawa wal hadlarah”. Persoalan domestik pun bermunculan, dari “keengganan” bercocok tanam hingga melancong keluar kota—bahkan luar negeri—hanya untuk menjumput rezeki. Tingkat kepedean akan "hasil bumi" di desa semakin mengalami degradasi. Imbasnya, tanah yang sebenarnya bisa dioptimalkan menghasilkan rupiah itu dijual kepada Tuan Takur sekitarnya untuk biaya hijrah ke kota.
Menyikapi persoalan di atas kiranya perlu adanya local evolution (evaluasi lokalitas) yang tumbuh subur di tiap daerah negeri ini. Semisal, komoditas perekonomian suatu daerah haruslah dipetakan dan disupport oleh pemerintah setempat. Bila daerah itu memiliki potensi untuk ditanduri maka seyogyanya perlu “nandur bareng” atau saya istilahkan “gerak tanam”. Dan apabila daerah itu lebih prospek dibangun property, maka property bisa berjalan tanpa menghambat laju “gerak tanam” di perkotaan. Contohnya, budidaya tanaman menggunakan system hidroponik dan tabulampot.
Masih hangat teringat dawuh Mbah Hasyim Asyari, “Petani adalah Pahlawan Negeri”. Ini menegaskan bahwa peran vital petani dalam keberlangsungan negeri ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana mungkin kemerdekaan diraih jika para petani tidak mensupport logistic para pejuang? Pekerjaan tani adalah pekerjaan mulia seperti juga berdagang dan beternak. Ironisnya, kasb (pekerjaan) itu—khususnya bertani dan beternak—pelan-pelan kurang menarik di mata para generasi millennial.
Bagaimanakah cara memperkenalkan dan meningkatkan daya pikat bab tandur menandur tanduran (bercocok tanam tanaman/tumbuhan) kepada pemuda zaman now? Kiranya perlu adanya tulisan segar dan panduan tepat berbasis tumbuhan—saya istilahkan fiqh al-Nabat—yang mengulas jenis-jenis tumbuhan buah, varietas, cara bercocok tanam, komposisi pupuk, mengenal dolomite, NPK Phonska, NPK Mutiara, KCL, pupuk kandang, urea, memahami mata rantainya, bahkan unsur hara dalam tanah, tips hidroponik, tips Tabulampot, lalu dialihbahasakan pegon, arab selanjutnya diajarkan sebagai ekskul dalam lembaga pendidikan/pesantren. Tidak ketinggalan pula mengikutsertakan pengetahuan seputar budidaya hewan ternak dan per "iwak" an. Sebab masih ada fiqh lain tentang budidaya belut (kitabul belut), sapi, kambing, bebek, ikan lele dan koi. Bagaimana tips managemen pakan, kawin suntik, pembuatan kandang, membuat kolam terpal, dll.
Belajar kepada Petani Pepaya
Masa transisi bisa diartikan sebagai masa-masa ibtida’iyyah lagi. Apa sebab? dari masa inilah kita dipaksa untuk mengenal hal-hal yang baru dan harus berani lebih maju lagi. Fakta ini tidak bisa dibantah. Perkara ditertawakan dan dibully orang lain, cukup abaikan saja. Anggap saja itu semua sebagai motivasi dan inspirasi diri.
Taruhlah contoh mengenai tumbuhan pepaya. Kiranya perlu menduetkan seperangkat filsafat yang kita kenal epistemology, antology, aksiologi. Secara epistemology, pepaya itu karakternya bagaimana, jenisnya apa saja dan cara nandurnya bagaimana? Lalu secara antologi, pepaya itu bisa tumbuh di tanah yang bertekstur bagaimana? Sedangkan aksiologinya, kemanakah pepaya ini akan dijual serta bagaimana system marketingnya?
Pernah suatu saat saya bertanya kepada petani pepaya Thailand. “Pak, kates niku tanaman buah ingkang nggadah karakter pripun?” (Pak, pepaya itu tanaman buah yang memiliki karakter bagaimana?). Petani itu menjawab:”Kates niku tanduran sing butuh banyu tapi ora isok dibanjiri” (Pepaya itu tergolong tumbuhan yang membutuhkan air tapi tidak untuk dibanjiri air”. Saya pun bertanya kembali: “berarti termasuk tanduran gopok?” (Berarti apakah termasuk tumbuhan yang mudah layu?”. Petani itu menjawab:”mboten ngoten, niku ibarat bocah bayi sing sik dereng siap wetenge nompo banyu akeh, kudu dilulu” (bukan begitu, pepaya itu ibarat bayi yang masih dikasih air sedikit lantaran perutnya belum siap menerima curahan air yang banyak).
Walhasil, tumbuhan itu ibarat manusia ketika memasuki fase pembentukan karakter, yaitu harus melalui proses secara bertahap, bukan prematur apalagi sim salabim abracadabra. Seperti yang juga dikemukakan oleh KH. Marzuki Mustamar bahwa cara membentuk ikatan (akar) kuat itu harus dengan menyiramkan air secara perlahan dari jarak terdekat supaya air mengalir dengan baik tidak menciprat kemana-mana.
Menyambut Hari Santri, kiranya gerakan "Santri bertani", "Santri mandiri", "Santri entrepreneur", perlu digaungkan lagi. Sebab tidak menutup kemungkinan dari sinilah penerus “harapan” bangsa itu lahir, tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukankah dari sekeliling kita—tumbuhan,binatang—juga terdapat “ibroh” pelajaran hikmah?!
*PW LTNNU Jatim, Alumni Al-Falah Ploso, Mahasiswa UINSA, Dosen STAIBA Kediri.
COMMENTS