Foto: KH. Thobib bersama PW LTNNU Jatim ketika Amal Jariyah Buku di Ponpes Muhyiddin Oleh: Ahmad Karomi* Sosok sepuh itu bernama Abah...
Foto: KH. Thobib bersama PW LTNNU Jatim ketika Amal Jariyah Buku di Ponpes Muhyiddin
Oleh: Ahmad Karomi*
Sosok sepuh itu bernama Abah Thobib atau biasa dipanggil Abah Naini. Beliau bernama lengkap KH. Ahmad Thobib Husnaini kelahiran Jombang (menurut info Cak Hisyam beliau berasal dari Tanjunganom Diwek Jombang) yang akhirnya berdomisili di Gebangputih Surabaya.
Kiai sederhana yang gemar menerima tamu dari kalangan manapun ini sangat sejuk dan santun tutur katanya. Sebagai panutan dan tokoh masyarakat, beliau tergolong jauh dari publikasi.
Kiai Thobib tatkala disowani, beliau selalu menanyai satu-persatu tamu tersebut dengan sorot mata teduhnya, beliau menatap para tamu yang ada di depannya. Seperti halnya para Kiai sepuh lain, beliau sangat menghormati para tamu. Bahkan menyuguhkan langsung jajanan ke hadapan tamunya agar sudi mencicipi suguhannya.
"Mbiyen, aku menangi enome Gus Dur pas di Tebuireng" (dulu, saya pernah menyaksikan masa remajanya Gus Dur di Tebuireng). Sehingga tidak mengherankan bila beliau kenal baik dengan Presiden RI ke-4 itu. Lalu saya pun bertanya tentang Tebuireng doeloe kala. "Santri Tebuireng mbiyen nek arep boyong kudu nguasai kitab Taqrib, Muin, Wahab disek. Onok sijine cerito santri lawas sing arep boyong sowan Mbah Hasyim Asy'ari, nah karo Mbah Hasyim Asy'ari didawuhi ngene: "awakmu nek boyong minimal wes nguasai kitab taqrib, terus apik maneh muin, luweh apik maneh wahab. Soale iku kabeh sangu urip neng masyarakat" (kamu kalau pulang/boyong minimal harus menguasai kitab taqrib, lalu baik lagi Muin, lebih baik lagi Wahab. Sebab kesemua itu bekal hidup bermasyarakat).
Kisah tentang dawuh Mbah Hasyim Asyari yang diceritakan Abah Thobib ini mengisyaratkan bahwa santri Tebuireng yang akan boyong harus memiliki pondasi ilmu syariah yang kokoh dan memperkaya diri dengan ragam keilmuan sebagai bekal hidup di tengah masyarakat. Sehingga ketika si santri boyong, ia siap bergaul dan menjadi pengayom masyarakat.
Apa yang KH. Thobib utarakan ternyata direalisasikan oleh beliau sendiri dengan mendirikan pesantren tahfidh anak-anak. Hal ini bertujuan untuk membentuk generasi qurani.
Dikisahkan, suatu ketika Abah Thobib bepergian luar kota lewat jalur Pantura, tiba-tiba situasi jalanan macet lantaran ada pemeriksaan kelengkapan surat. Padahal saat itu beliau harus tepat waktu untuk menghadiri acara di satu tempat. "Pripun niki, bah?" Tanya sopir beliau. "Terus ae, nek sampek dihadang polisi, engko tak adepi" (terus saja, kalau sampai dihadang polisi saya yang menghadapi).
Sang sopir pun menginjakkan gas patuh Abah Thobib untuk menerobos kemacetan akibat pemeriksaan surat berkendara, tiba-tiba tepat beberapa meter berdirilah polisi sambil "nyemprit" peluitnya. Sejenak berhentilah laju mobil.
"Selamat malam, mohon ditunjukkan kelengkapan SIM dan STNKnya". Ucap pak Polisi kepada si sopir. Lalu sopir itu pun berkata: "Maaf, pak. Saya terburu-buru sebab 'nderekaken' (mengantarkan) Kiai Thobib pengajian". Polisi itu sontak terkejut, secepatnya ia menunduk melihat sosok disebelah sopir. "MasyaAllah, Kiaiku iki", kata pak Polisi.
Polisi itu membuka pintu mobil dan "sungkem" Kiai Thobib. "Kiai, niki kulo santri njenengan nate ngaos dateng njenengan" (Kiai, ini saya santri panjenengan yang pernah ngaji kepada panjenengan). Kiai Thobib tersenyum lalu bertanya seputar kabar keluarga dan beliau berpesan agar menjadi polisi yang jujur dan tetap kudu ingat sholat ngajine. Kemudian Abah Thobib dibukakan jalan untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak cukup dengan mendirikan pesantren saja, Abah Thobib juga dikenal sebagai Kiai yang istiqomah mengadakan haul Syekh Abdul Qadir Al-Jilani tiap tahun dan ijazahan manaqib. Seluruh tamu dari berbagai kalangan di tanah air tumplek blek menghadiri haul tersebut yang biasanya diawali semaan al-quran dengan melibatkan para samiin dari berbagai daerah di tanah Jawa.
Kini, di hari Sabtu tepat jam 00.45 dini hari tanggal 29 September 2018, KH. Thobib "kapundut" meninggalkan kita semua. Gempa di Donggala seakan mengisyaratkan bahwa alam raya ikut bersedih. Semoga perjuangan dan ajaran beliau menjadi penyemangat untuk istiqamah menyalakan lentera ilmu serta bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara.
_____________
*PW LTNNU Jatim, Alumni Alfalah Ploso, Guru Madrasah Kalipucung Blitar
Oleh: Ahmad Karomi*
Sosok sepuh itu bernama Abah Thobib atau biasa dipanggil Abah Naini. Beliau bernama lengkap KH. Ahmad Thobib Husnaini kelahiran Jombang (menurut info Cak Hisyam beliau berasal dari Tanjunganom Diwek Jombang) yang akhirnya berdomisili di Gebangputih Surabaya.
Kiai sederhana yang gemar menerima tamu dari kalangan manapun ini sangat sejuk dan santun tutur katanya. Sebagai panutan dan tokoh masyarakat, beliau tergolong jauh dari publikasi.
Kiai Thobib tatkala disowani, beliau selalu menanyai satu-persatu tamu tersebut dengan sorot mata teduhnya, beliau menatap para tamu yang ada di depannya. Seperti halnya para Kiai sepuh lain, beliau sangat menghormati para tamu. Bahkan menyuguhkan langsung jajanan ke hadapan tamunya agar sudi mencicipi suguhannya.
"Mbiyen, aku menangi enome Gus Dur pas di Tebuireng" (dulu, saya pernah menyaksikan masa remajanya Gus Dur di Tebuireng). Sehingga tidak mengherankan bila beliau kenal baik dengan Presiden RI ke-4 itu. Lalu saya pun bertanya tentang Tebuireng doeloe kala. "Santri Tebuireng mbiyen nek arep boyong kudu nguasai kitab Taqrib, Muin, Wahab disek. Onok sijine cerito santri lawas sing arep boyong sowan Mbah Hasyim Asy'ari, nah karo Mbah Hasyim Asy'ari didawuhi ngene: "awakmu nek boyong minimal wes nguasai kitab taqrib, terus apik maneh muin, luweh apik maneh wahab. Soale iku kabeh sangu urip neng masyarakat" (kamu kalau pulang/boyong minimal harus menguasai kitab taqrib, lalu baik lagi Muin, lebih baik lagi Wahab. Sebab kesemua itu bekal hidup bermasyarakat).
Kisah tentang dawuh Mbah Hasyim Asyari yang diceritakan Abah Thobib ini mengisyaratkan bahwa santri Tebuireng yang akan boyong harus memiliki pondasi ilmu syariah yang kokoh dan memperkaya diri dengan ragam keilmuan sebagai bekal hidup di tengah masyarakat. Sehingga ketika si santri boyong, ia siap bergaul dan menjadi pengayom masyarakat.
Apa yang KH. Thobib utarakan ternyata direalisasikan oleh beliau sendiri dengan mendirikan pesantren tahfidh anak-anak. Hal ini bertujuan untuk membentuk generasi qurani.
Dikisahkan, suatu ketika Abah Thobib bepergian luar kota lewat jalur Pantura, tiba-tiba situasi jalanan macet lantaran ada pemeriksaan kelengkapan surat. Padahal saat itu beliau harus tepat waktu untuk menghadiri acara di satu tempat. "Pripun niki, bah?" Tanya sopir beliau. "Terus ae, nek sampek dihadang polisi, engko tak adepi" (terus saja, kalau sampai dihadang polisi saya yang menghadapi).
Sang sopir pun menginjakkan gas patuh Abah Thobib untuk menerobos kemacetan akibat pemeriksaan surat berkendara, tiba-tiba tepat beberapa meter berdirilah polisi sambil "nyemprit" peluitnya. Sejenak berhentilah laju mobil.
"Selamat malam, mohon ditunjukkan kelengkapan SIM dan STNKnya". Ucap pak Polisi kepada si sopir. Lalu sopir itu pun berkata: "Maaf, pak. Saya terburu-buru sebab 'nderekaken' (mengantarkan) Kiai Thobib pengajian". Polisi itu sontak terkejut, secepatnya ia menunduk melihat sosok disebelah sopir. "MasyaAllah, Kiaiku iki", kata pak Polisi.
Polisi itu membuka pintu mobil dan "sungkem" Kiai Thobib. "Kiai, niki kulo santri njenengan nate ngaos dateng njenengan" (Kiai, ini saya santri panjenengan yang pernah ngaji kepada panjenengan). Kiai Thobib tersenyum lalu bertanya seputar kabar keluarga dan beliau berpesan agar menjadi polisi yang jujur dan tetap kudu ingat sholat ngajine. Kemudian Abah Thobib dibukakan jalan untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak cukup dengan mendirikan pesantren saja, Abah Thobib juga dikenal sebagai Kiai yang istiqomah mengadakan haul Syekh Abdul Qadir Al-Jilani tiap tahun dan ijazahan manaqib. Seluruh tamu dari berbagai kalangan di tanah air tumplek blek menghadiri haul tersebut yang biasanya diawali semaan al-quran dengan melibatkan para samiin dari berbagai daerah di tanah Jawa.
Kini, di hari Sabtu tepat jam 00.45 dini hari tanggal 29 September 2018, KH. Thobib "kapundut" meninggalkan kita semua. Gempa di Donggala seakan mengisyaratkan bahwa alam raya ikut bersedih. Semoga perjuangan dan ajaran beliau menjadi penyemangat untuk istiqamah menyalakan lentera ilmu serta bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara.
_____________
*PW LTNNU Jatim, Alumni Alfalah Ploso, Guru Madrasah Kalipucung Blitar
COMMENTS