Oleh: Ahmad Karomi* Awal tahun 2000 adalah masa paling berkesan bagi saya. Bagaimana tidak, saya merasakan pancaran aura dari seorang A...
Oleh: Ahmad Karomi*
Awal tahun 2000 adalah masa paling berkesan bagi saya. Bagaimana tidak, saya merasakan pancaran aura dari seorang Abuya Dimyathi Banten meskipun hanya dalam hitungan bulan saja.
Berbekal tekad untuk tabarrukan ke Pandeglang Banten, saya pun menjadi salah satu penghuni "kombong" di pesantren Cidahu. Tujuan utama saya hanya ingin mengaji, sungkem dan menatap wajah mulia Abuya Dimyathi.
Ternyata apa yang saya harapkan pun terkabul. Abuya Dimyathi kala itu membacakan kitab Tafsir Thabari karya Ibnu Jarir, dan beberapa kitab elementer pesantren. Sebagai santri kalong, saya merasa mendapatkan berkah yang tak terhingga.
Suatu ketika saya bertanya kepada santri senior tentang karya tulis Abuya Dimyathi, dan ternyata Abuya memiliki sejumlah karya lintas bidang, seperti tentang kumpulan wird, syarh hizb nashor, tentang aqaid, jaliyyatul kadar, qiroah sab'ah dan yang unik adalah kitab Fatwa Abuya tentang persoalan radio dan speaker.
Saya pun heran akan kitab Fatwa tersebut, sebab di saat banyak ulama mengaji-menulis tentang persoalan klasik, ternyata Abuya menulis kitab tentang persoalan kekinian, yakni radio dan speaker. Saya sendiri masih belum dapat menangkap latar belakang beliau menulis fatwa tentang radio dan speaker ini.
Kitab Fatwa yang ditulis tahun 1998 dan berbentuk fotocopy buram ini memuat pandangan Abuya terkait bid'ah, radio dan speaker. Beliau mengawali kitab ini dengan hukum mendengarkan al-quran lewat radio mendapat pahala ataukah tidak? Bagi beliau tidak mendapatkan pahala, sebab al-masmu' /sesuatu yang didengar (berupa qiroah) dari radio sejatinya adalah (gelombang frekuensi) suara yang tersiar-sebarkan melalui sebuah alat/media (meskipun ada nilai positifnya). Radio hanyalah alat/media saja.
Ibarat pisau dapur yang didesain untuk keperluan masak merupakan "alat/media bermanfaat" mengiris berbagai kebutuhan dapur. Pisau dapur itu tidak ada kaitannya dengan pahala dan dosa meskipun berguna untuk memasak.
Berlanjut ke persoalan speaker yang oleh Abuya Dimyathi disebut mukabbirusshaut. Fungsi speaker sendiri adalah "alat" untuk membantu "mengeraskan suara" yang asalnya tidak terdengar menjadi terdengar, yang asalnya kecil menjadi besar/keras. Nah, bila suara itu sudah besar dan tidak memerlukan bantuan untuk dikeraskan, maka seyogyanya tidak perlu menggunakan speaker. Silahkan dicoba sendiri mengeraskan suara melalui speaker, lalu tanyakan tetangga sebagai bentuk testimoni apakah suara keras itu mengusik tetangga ataukah tidak.
Bahkan dalam kitab klasik disebutkan bilamana nderes Alquran (saat jam istirahat) di samping tetangga yang sedang tidur sehingga mengakibatkan tidurnya terganggu, maka berdosalah sang qari'nya. Sungguh sebuah ajaran yang sarat akan pesan bijak hidup berdampingan dengan masyarakat.
Persoalan speaker memang menjadi bahasan menarik hingga sanggup menjebloskan seseorang dalam penjara. Oleh karena itu, dalam menyikapi persoalan khilaf yang berhubungan dengan dimensi ibadah sebaiknya ada unsur "tepo seliro" (tenggang rasa) antar sesama, memahami perkembangan zaman serta sosio-kultur yang ada. Jangan hanya bernafsu (ego) ingin meraih pahala sendiri dengan jalan mengusik bahkan menyakiti orang sekelilingnya.
Meskipun demikian, Abuya Dimyathi secara eksplisit selama beliau ngaji kitab, marhabanan, membaca diba', menjadi imam shalat jamaah di pondok maupun shalat jumah di masjid tidak pernah berkenan menggunakan speaker. Bahkan listrik dibatasi di dalam pondok. Saya pun merasakan indahnya lampu ublik dan templek.
Khusushon Abuya Dimyathi lahul fatihah.
_____________
*PW LTNNU Jatim, Alumni Ploso Kediri, santri kalong di Cidahu, Dosen Staiba Purwoasri Kediri.
COMMENTS