Oleh: Wasid Mansyur* Syahwat politik seringkali menjadikan banyak orang lupa diri, apalagi sudah tidak mengindahkan akal budi. Segala c...
Oleh: Wasid Mansyur*
Syahwat politik seringkali menjadikan banyak orang lupa diri, apalagi sudah tidak mengindahkan akal budi. Segala cara dilakukan untuk kepuasan nafsu politiknya, yakni merebut kekuasaan. Sebuah fenomena keseharian di tahun politik jelang pemilu 2019 yang lagi ramai di Medsos sehingga harus disikapi dengan sadar, sabar dan cerdas.
Pernyataan di atas sengaja menjadi awalan dalam tulisan ini untuk menyikapi kelompok yang masih sering mengunakan isu-isu sentimen keagamaan dalam rangka suksesi merebut kuasa politik. Bahkan yang paling parah, terminologi agama sengaja digunakan untuk melegitimasi tindakannya sebagai kebenaran.
Salah satunya adalah menyebarnya meme yang bergambar Mardani Ali Sera, yang nota benenya adalah kader PKS. Sekilas, ia dalam beberapa bulan terakhir ikut terlibat dalam gerakan#2019ganti presiden. Sekilas meme ini tidak bermasalah dengan tulisan besar "NEGARA INI DIBANGUN OLEH PERJUANGAN ULAMA" sebab memang sejak dulu para Ulama dan santri ikut berjuang untuk NKRI sebagaimana ditegaskan semangatnya pada setiap Hari Santri setiap 22 Oktober; momentum Resolusi Jihad.
Tapi, syahwat politik tim meme Mardani Cs. telah menyalahgunakan kutipan Hadlratus Syaikh Kiai Hasyim yang tidak sesuai dengan makna dan semangatnya. Ini tidak bisa dibiarkan sebab akan muncul persepsi publik bahwa politisasi agama gaya Mardani dan partainya bisa dibenarkan berdasar pada dawuh Kiai Hasyim Asy'ari, yang dawuh itu berbunyi:
"Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan".
Sangat parah lagi, meme itu menggambarlan kaitan dawuh Kiai Hasyim dengan aksi-aksi atas nama agama sejak 411, 212 hingga ijtima ulama. Padahal gerak ulama yang diperjuangkan berbeda antara perjuangan Kiai Hasyim dengan ulama-ulama yang selama ini larut dalam politisasi agama.
Dawuh Kiai Hasyim memiliki konteks perjuangan yang digerakkan sepanjang hidupnya hingga akhir hayatnya sebagai orang pesantren yang 'allamah dan tidak bisa diragukan beliau teguh berjuang untuk Islam-NKRI. Penggunaan dawuh Kiai Hasyim jelas sebagai tindakan kesengajaan atas nama politisasi agama.
Perlu bacaan yang jujur tentang tokoh-tokoh sepuh NU melalui referensi yang memadai, bukan comot-comot dawuh untuk memenuhi syahwat politik sesaat, bukan kebangsaan.
Pemahaman yang tidak memperhatikan konteks seringkali yang mendominasi adalah nalar pragmatism-ideologis sehingga cenderung terjadi "penyelewengan" makna sebagaimana dilihat dari gambar dan tulisan di Meme bergambar Mardani.
Matinya Akal Budi
Untuk itu, sekali lagi, syahwat politik sangat berbahaya bagi kehidupan kita, yang dalam waktu tidak lama mematikan akal budi kita. Untuk itu, dalam konteks meme Mardani, setidaknya ada dua yang perlu disikapi, khususnya penggunaan kutipan Kiai Hasyim.
Pertama, penyelewengan makna ungkapan Kiai Hasyim. Semestinya Mardani dan tim tidak sembarangan mengutip, apalagi hanya untuk niatan merebut kekuasaan. Pengutipan sembarangan akan mematikan akal budi pelaku dan yang lain. Pasalnya, jika ini dibiarkan, maka proses matinya akal budi akan mempengaruhi kh alayak sehingga perlu penjelasan yang semestinya sebagaimana kutipan Kiai Hasyim hadir dalam ruang keislaman dan kebangsaan di era hidup beliau.
Kedua, perlu disudahi syahwat politik berlebihan. Penulis yakin, mereka yang aktif secara riil dalam politik praksis memiliki syahwat berkuasa. Tapi, syahwat itu tidak mesti mematikan akal budi sehingga dalam konteks lain ada beberapa politisi yang selalu menawarkan program-program sesuai dengan semangat keindonesian.
Maka, jangan jadikan target politik tertentu untuk kepentingan jangka pendek dengan menggunakan isu-isu agama dan ujaran kebencian pada sesama. Perlu gerak dan kontestasi secata tertib serta teratur menyesuaikan aturan yang telah ditetapkan KPU sebagai wujud dari proses berdemokrasi.
Fenomena Mardani dan memenya adalah salah satu contoh sehingga kita harus cerdas dan mencerdaskan yang lain. Untuk kecerdasan itu, maka kita tidak boleh diam. Kita harus memberikan lentera "pengetahuan" agar ke depan kehidupan berbangsa aman dan jauh dari saling hasut antar sesama.
Akhirnya, yang tepat kita harus belajar dari Kiai Hasyim atas kontribusinya bagi pesantren, NU dan NKRI. Bukan malah menggunakan nama kebesaran beliau untuk kepentingan politik kekuasaan sesaat, yang konon bertentangan dengan spirit keislaman dan kebangsaan. Semoga kita masih bagian dari santri-santri Kiai Hasyim. Amin.
_________________
*Ketua Asosiasi Penerbit NU (AsbitNU) Jawa Timur, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
COMMENTS