Oleh: Ahmad Karomi Siang itu, saya sowan ke Mlangi dalam rangka ingin sungkem salah satu sesepuh Mlangi sekaligus menelusuri jejak lelu...
Oleh: Ahmad Karomi
Siang itu, saya sowan ke Mlangi dalam rangka ingin sungkem salah satu sesepuh Mlangi sekaligus menelusuri jejak leluhur. Oleh salah satu kerabat, saya pun diajak sowan ke Romo Kiai Salimi.
Saya yang baru menghirup udara Sleman merasakan aura pesantren yang sangat kental. Sesampai di halaman ndalem Kiai Salimi, saya pun dipersilahkan masuk.
Ketika saya sudah duduk lesehan, ternyata di saat itu ada pertemuan keluarga. Saya merasa rikuh dan malu sebagai orang luar. Namun apa yang saya 'krentek' terjawab oleh keramahan keluarga Kiai Salimi ini.
Setelah saya sungkem, Kiai Salimi pun bertanya kepada saya asal dan dalam rangka apa. Saya pun matur ingin napak tilas sejarah para leluhur yang ada benang merahnya dengan Sleman, Khususnya terkait dengan Mbah Nur Iman.
Kiai Salimi berkisah tentang Kiai Nur Iman dan beliau dawuh "Jawa Timur area Blitar, Kediri, Tulungagung trah Mbah Nur Iman sangat banyak, bisa jadi hampir 80% dzuriyyah Mbah Nur Iman, termasuk Kiai-kiai Blitar". Kala itu, beliau tertarik dan berencana ingin berkunjung ke Blitar "nguripi obor" namun terkendala kesehatan.
Terlepas dari merunut sejarah dzuriyyah Bani Nur Iman, ada sebuah pesan-pesan beliau yang masih saya ingat pada tahun 2015 dan 2016 ketika sowan. Beliau memaknai Kalam dengan pendekatan tasawuf.
Kurang lebih demikian "Menungso iku aji, krono duwe kalam. Sebab tanpo kalam, ora bakal aji, dadi bisu" (letak keampuhan seseorang terletak pada ucapan. Sebab tanpa ucapan dia sama dengan bisu). Saya mencoba menafsiri dawuh tersebut bahwa seseorang akan dihormati, disegani lantaran memiliki perkataan (bisa juga tulisan) yang berunsur khair/baik. Bila tidak memiliki perkataan yang baik, maka dia sama halnya dengan orang bisu yang tak memiliki guna.
Lantas beliau memaparkan makna "Alkalamu huwalladzul murakkabul mufidu bil wad'i" yang sangat tepat dengan konteks sekarang. "Lafadz bisa mendapatkan apresiasi sebab memiliki "murokkab" yang bagi beliau diartikan "koneksi, relasi" yang diterjemahkan dalam dunia perkomunikasian adalah "jaringan berlapis/tersusun, networking yang kuat". Ibarat dalam dunia gawai, ada 3G dan 4G. Bila jaringan 4G tidak menyala maka aktifkanlah 3G. Dan bila 3G tidak nyala, maka 2G atau Edge.
Belum cukup disitu saja, ternyata murokkab juga diterjemahkan sebagai teamwork, kerja tim, interkoneksi, hablun minannas yang solid dalam mengelola arus informasi yang penuh konten positif.
Dari kedua komponen tersebut, masih ada syarat berupa bobot "mufid" atau memberikan faidah, manfaat. Bila lafadz murokkab itu hanya berupa hoax, tebar dusta, menggunjing, hatespeech, maka tidaklah "mufid". Hal ini sesuai hadis
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقل خيرًا أو ليصمت
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah dengan baik atau (bila tidak mampu berkata baik), maka diamlah".
Dan "bil wad'i" diterjemahkan sebagai "sesuai konteksnya" yang lazim dipahami sebagai situasi dan kondisi saat itu. Ringkasnya, "Kalam adalah ucapan/perkataan/susunan tulisan didukung teamwork, koneksi, jaringan kuat yang saling melengkapi, yang memberikan faidah dan disesuaikan kondisi yang dihadapi".
Saya bertanya kepada beliau tentang karya Mbah Nur Iman, dan alhamdulillah mendapat kesempatan memegang dan membuka kitab tersebut dengan penuh kagum. Kitab yang ditulis seorang Putra Mahkota yang tidak berkenan menjadi Raja/ Hamengkubuwono I dan memilih "mulang santri" ini berjudul al-Saniy al-Matalib fi Istilah awaqib ini ditulis jauh sebelum era Diponegoro. Kitab nahwu yang sarat bernuansa sufistik dengan contoh susunan kalimat seperti kalimat syahadat. Bukan ja'a zaidun maupun qama zaidun.
Pagi ini, tepat hari Selasa tanggal 31 Juli 2018, kabar duka menyelimuti Mlangi. Beliau kapundut. Ighfirlahu warhamhu wa afihi wa'fu anhu. Semoga husnul khatimah. Saya bersaksi beliau minassholihin dan insyaallah berkumpul dengan para kekasih Allah. Lahul fatihah.
COMMENTS