Oleh: Ayung Notonegoro Sepeninggal KH. Machrus Ali dari Lirboyo pada 6 Ramadan 1405/ 26 Mei 1985, tampuk kepemimpinan Nahdlatul Ulama J...
Oleh: Ayung Notonegoro
Sepeninggal KH. Machrus Ali dari Lirboyo pada 6 Ramadan 1405/ 26 Mei 1985, tampuk kepemimpinan Nahdlatul Ulama Jawa Timur mengalami kekosongan. Sebagai rais syuriyah, Kiai Machrus telah memimpin cukup lama, lebih dari seperempat abad (1959 - 1985). Tak ayal, ada kegamangan tersendiri tatkala harus mencarikan pengganti yang nyaris menjadi legenda semasa hidupnya itu.
Dalam konferensi kerja - forum musyawarah tertinggi PWNU setelah konferensi periodik. Saat ini dikenal dengan sebutan musyawarah kerja (musker) - yang dihelat pada 2 September 1985 di Bettet, Pamekasan akhirnya memutuskan yang menjabat sebagai Rais Syuriyah PWNU Jatim adalah KH. Najib Abdul Wahab.
Mungkin sebagian Nahdliyin, masih banyak yang asing kala mendengar nama Kiai Najib. Namun, jika melihat dua nama terakhirnya, tentu ingatan kita akan terbawa pada sosok muassis Nahdlatul Ulama: KH. Abdul Wahab Hasbullah. Ya, ia adalah putra ketiga Kiai Wahab.
Kiai Muhammad Najib lahir pada 9 September 1927 sebagaimana tertera di paspornya. Ia merupakan anak dari pernikahan Kiai Wahab dengan Asna binti H. Said dari Paneleh, Surabaya. Masa kecilnya dihabiskan di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas. Di sini, ia juga mengawali masa pendidikannya.
Selain belajar kepada ayahnya sendiri, Najib kecil juga belajar kepada kiai-kiai lainnya di Pesantren Tambakberas. Seperti halnya Kiai Nawawi, Kiai Husni dan Kiai Abdurrohman. Berbagai ilmu elementer pun, ia kuasai dengan matang.
Setelah beranjak dewasa, Kiai Najib meminta restu kepada orang tuanya untuk belajar kepada KH. Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang. Di pesantren ini, Najib banyak belajar tentang ilmu tafsir dan hadits. Ia nyantri di Tebuireng kurang lebih empat tahun lamanya. Lalu, dilanjutkan belajar kepada KH. Machrus Ali di Lirboyo, Kediri. Di tempat barunya ini, ia menekuni ilmu tasawuf dan ilmu lainnya tidak kurang dari dua tahun lamanya.
Usai dari Tebuireng dan Lirboyo, Najib muda melanjutkan ke Pesantren Langitan. Lalu ke Pesantren Pabelan, Magelang dan ke Pesantren Karangampel, Cirebon. Tak hanya itu, ia juga tabarukan kepada para kiai lainnya di pelbagai tempat.
Selain berkelana di beberapa pesantren Kiai Najib juga menempuh pendidikan lainnya. Ia ikut serta dalam program Kulliyatul Muballighin di Semarang selama dua tahun. Di sini, ia ditempa tidak hanya menjadi seorang dai, tapi juga seorang organisatoris. Pada kesempatan itu pula, ia aktif di Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1953 ia dipercaya menjadi Sekretaris PWNU Jawa Tengah.
Lebih dari itu, Kiai Najib juga menuntut ilmu di pendidikan formal. Ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Ia kuliah hingga 1955, lalu pada tahun berikunya ia melanjutkan ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Di Al-Azhar, Najib juga mengambil jurusan hukum, lebih tepat hukum Islam. Ia belajar langsung kepada para pakar hukum di Mesir. Seperti Syekh Ahmad Muhammad al-Madani dalam fiqih, Syekh Zarqoni dalam perbandingan madzab, dan Syekh Abdul Wahab Khalaf dalam Ushul Fiqh.
Kegigihan dan kecerdasannya dalam bidang keilmuan, membuat namanya tersohor. Bahkan, Kiai Najib semasa di Mesir pernah meraih juara satu dalam event bergengsi "idul ilmi" yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas di Mesir. Penghargaan pemenang kompetisi ilmiah tersebut, bahkan diserahkan langsung oleh Presiden Mesir yang saat itu dijabat oleh Gamal Abdul Nasser. Tak heran jika ia pun berhasil lulus cumlaude dengan menyandang gelar sarjana hukum, Licence of Mohammadan Law (LML).
Sekembalinya dari Mesir pada 1961, Kiai Najib kembali menggeluti perjuangan di NU, baik di organisasi sosialnya maupun di partai politiknya. Ia terpilih sebagai anggota DPR GR pada 1962 dan anggota MPR berdasarkan hasil Pemilu 1971.
Tidak hanya berkiprah di dunia politik, tentunya. Ia juga terlibat aktif di NU di ranah sosial. Ia banyak berkiprah dikepengurusan pusat Rabithah Ma'ahidil Islamiyah (RMI). Salah satu program suami dari Salmah Hayati binti Ahmad Zahid itu, adalah Pekan Ma'ahid se-Indonesia. Selain itu, ia juga ditunjuk sebagai jajaran Rais Syuriyah PBNU masa khidmat 1984. Ia menjadi wakil dari Rais Aam KH. Achmad Shiddiq, Jember.
Ketika ditunjuk sebagai Rais Syuriyah PWNU Jatim untuk menggantikan almagfurllah KH. Machrus Ali pada 1985, pengasuh PP Bahrul Ulum peganti dari KH. Abdul Fatah Hasyim itu, juga penuh dedikasi. Setahun menjabat, ia menggelar bahtsul masail yang menghasilkan satu keputusan penting dalam dunia hukum Islam di Indonesia. Yakni, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dikemudian hari dijadikan pedoman hakim pengadilan agama Islam di seluruh Indonesia.
Meski memiliki reputasi keilmuan dan jabatan yang strategis, tak menjadikan Kiai Najib sebagai sosok kiai yang eksklusif nan penuh harta. Ia tetap rendah hati dan sederhana. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Pengurus Yayasan PP Bahrul Ulum, Tambakberas, KH. Irfan Sholeh, pada saat haul Kiai Najib yang ke-26.
"Saat Kiai Najib menjadi Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur, kemana-mana masih naik becak. Bahkan, rokok terkadang masih minta abah saya," tutur putra almarhum Kiai Sholeh Abdul Hamid itu.
Dari kesederhanaan tersebut, semakin menebalkan diri Kiai Najib sebagai tokoh yang patut diteladani. Tak pelak, jika KH. Achmad Shiddiq pernah mengungkapkan kalau Kiai Najib adalah kandidat penggantinya sebagai Rais Aam PBNU. Namun, Allah berkehendak lain. Sebelum impian Kiai Achmad itu tercapai, Kiai Najib terburu di panggil kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Sepulangnya dari menghadiri rapat gabungan syuriyah-tanfidziyah PWNU Jatim dan melakukan turba di Pasuruan pada 16 Oktober 1987, kondisi Kiai Nadjib turun drastis. Ia mengalami keletihan dan kesehatannya melemah. Ia sempat dirawat di RSUD Jombang. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, kesehatannya tak kunjung membaik. Tepat pukul 10.30 WIB, hari Selasa, 20 Oktober 1987, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 60 tahun. (*)
*) Ayung Notonegoro, Founder Komunitas Pegon. Tulisan ini ditujukan untuk memeriahkan Konferwil NU Jawa Timur
COMMENTS