Oleh: Ahmad Karomi* Menengok kembali sejarah jamiyyah berlambang bola dunia yang dikelilingi bintang sembilan ini seolah tak pernah pud...
Oleh: Ahmad Karomi*
Menengok kembali sejarah jamiyyah berlambang bola dunia yang dikelilingi bintang sembilan ini seolah tak pernah pudar untuk dibicarakan. Jamiyyah ini selalu menarik perhatian siapapun, baik lawan maupun kawan.
Semua pasti sepakat bila jamiyyah yang identik berwarna hijau ini didirikan oleh 'kiai-kiai pilihan', akan tetapi proses pemberian nama jamiyyah itu sendiri tidak semudah membalikkan tangan.
Adalah Kiai Hamid Sidayu mengusulkan agar jamiyyah dinamakan "Nuhudlul Ulama" yang artinya para ulama bersiap-siap bangkit melalui wadah tersebut. Usulan ini tidak serta merta langsung diterima begitu saja. Salah satu kiai Sidosermo bernama Kiai Mas Alwi memberikan masukan nama "Nahdlatul Ulama" yang dimaknai "sebagai gerakan serentak para ulama dalam berorganisasi". Bukan diartikan "siap-siap bangkit". Mengapa demikian?
Kiai Mas Alwi yang juga memiliki tali persaudaraan dengan Kiai Mas Manshur ini mengemukakan bahwa bangkitnya para ulama sudah terjadi sejak zaman dulu, jauh sebelum terbentuknya Komite Hijaz sebagai cikal bakal NU. Semisal, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanudin, dll telah 'bangkit' mengobarkan api perjuangan. Namun semuanya mudah ditaklukkan oleh Belanda dengan strategi dan pengorganisasian yang rapi.
Nah, dari sinilah Kiai Mas Alwi menggunakan pilihan nama "Nahdlatul Ulama" dengan maksud para ulama bisa bangkit bergerak dalam sebuah wadah/organisasi yang terarah dalam menghadapi tantangan zaman.
Kiranya dawuh "al-haqqu bila nidzamin yaghlibuhul bathil binidzamin" (kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir) sangat tepat diaplikasikan dalam konteks saat itu, bahkan sekarang.
Galibnya, dalam tubuh ulama nusantara sebuah perbedaan bukanlah hal yang asing dan tabu. Bahkan sosok Kiai Wahab dan Kiai Bisri pun kerap berbeda pendapat akan tetapi tetap dalam payung kebersamaan, keindonesiaan dan keNUan.
Kembali pada penamaan di atas, usulan nama "Nahdlatul Ulama" dari Kiai Mas Alwi akhirnya diterima secara aklamasi. Sebab ulasan Mas Alwi sangat tepat dengan disertai argumentasi yang kuat. Bila dikupas dengan pendekatan ilmu nahwu, maka "nuhudl" dan "nahdlah" adalah masdar yang memiliki akar madli yang sama, yakni "nahadla" (bangkit).
"Nuhudl" yang dimaknai bangkit, berdiri (qiyam) ini memiliki konotasi siap bangkit dari tempat duduk secara personal, parsial, individual. Sedangkan "Nahdlah" memiliki arti kekuatan, kemampuan (thaqah, quwwah), arah penekanannya ke arah kuatnya beroganisasi. Terlebih jamaknya berupa "Nahadlah" bermakna "katsirul harokah" (banyak gerak/aktif). Organ tubuh pun begitu, ia akan disebut sehat bilamana aktif bergerak.
Berkaca dari penamaan Nahdlatul Ulama ini, tak dapat dipungkiri bahwa organisasi adalah wadah yang berisikan loyalitas, aspirasi, inspirasi dan perjuangan. Mengapa demikian? Lantaran dalam organisasilah kita semua belajar untuk patuh, menghormati, menghargai dan saling menguatkan satu sama lain atau istilah arabnya "yasyuddu ba'dluhum ba'dlan". Bukan untuk unjuk kehebatan diri dan keunggulan pribadi. Melainkan tepis ego, berbagi, tingkatkan kaderisasi.
Semoga konferwil NU Jatim di Lirboyo tanggal 28-29 esok menjadi sebuah penguat-pengikat kebersamaan dalam payung bangsa.
____________________
*Sekretaris PW LTNNU Jatim
COMMENTS