Oleh: Ahmad Karomi* Umumnya Wahabiy-Wahabisme memiliki arti "pengikut Wahab" yang berkonotasi aliran keras, ultrakonservatif ...
Oleh: Ahmad Karomi*
Umumnya Wahabiy-Wahabisme memiliki arti "pengikut Wahab" yang berkonotasi aliran keras, ultrakonservatif dan puritan. Lantas muncul pertanyaan menggelitik: Adakah Wahabiy dengan arti lain, yang bernuansa sejuk, damai dan penuh kasih sayang? Mungkin saja ada, dengan catatan, bila Wahabiy itu diartikan "Pengikut Kiai Wahab Hasbullah". Pengartian ini sebagai antitesis sosok Muhammad bin Abdul Wahab dari Najed yang dikenal luas kerap mensyirik-bid'ahkan kelompok lainnya itu. Padahal Wahab sendiri dalam kosakata Arab bermakna "akeh peparinge" layaknya asmaul husna Al-Wahhab (Maha Pemberi karunia).
Bagaimanakah pondasi Wahabiy yang bermakna "pengikut Kiai Abdul Wahab?". Sosok KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu dari bintang kejora Nahdlatul Ulama yang dikenal sebagai kiai super sibuk, lantaran beliau tergolong ulama yang aktifitasnya padat luar biasa, sehingga dalam kesehariannya (bahkan di zaman now sulit ditemukan padanannya). Bahkan Saifuddin Zuhri geleng-geleng kepala akan semangat, keuletan serta ketelatenan Kiai Wahab berkiprah di tengah masyarakat, meskipun beliau telah dikenal sebagai Kiai nasional.
Hal ini menunjukkan karakter beliau yang "aware", "care" dan peduli terhadap keberlangsungan bangsa ini. Seluruh hidupnya didedikasikan dan diberikan untuk mewujudkan Islam rahmatan lil alamin yang terbingkai dalam Ahlussunnah wal jamaah An-Nahdliyyah. Membincangkan Kiai NU yang supel, lincah nan cerdas ini sama halnya memotret sejarah lahirnya jamiyyah NU yang dianggap sebagian kalangan modern sebagai "organisasi para ulama kuno dan ortodoks".
Pondasi tersebut terangkum dalam tiga pilar, yaitu tauhid, syariat/fiqh, tasawuf yang "cara dan metode" berdakwahnya merujuk kepada Walisongo, dan diekstrak dalam wadah yang bernama jamiyyah Nahdlatul Ulama. Mengapa NU berkiblat kepada Walisongo?
Sebab, asal-usul pesantren NU tidak dapat dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad XV-XVI di Jawa. Metode dakwah Walisongo hendaknya dipandang sebagai sebuah "proses". Menurut Widji Saksono, bahwa Walisongo meneladani pendekatan yang digunakan Rasulullah dalam berdakwah, yaitu "bil hikmati wal maudzotil hasanati wa jaadilhum billatii hiya ahsan". Walisongo memperlakukan sasaran dakwah, terutama tokoh khusus, dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi bertemu pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan tentang Islam, peringatan-peringatan itu dengan lemah lembut, bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian, tanpa pernah mensyirikkan dan memaksakan kehendak.
Sedangkan disisi lain "angin pembaharuan" yang dikomadoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab dari Najed telah menggedor pintu nalar dunia, termasuk Indonesia. Itupun atas nama semangat rujuk/kembali kepada Al-Quran hadis dan melepas penderitaan dari cengkraman Barat. Sehingga, imbas gerakan Wahabisme Timur Tengah ini berhadapan langsung (vis a vis) dengan praktek keagamaan yang dipelopori Walisongo dan tumbuh subur di Nusantara.
Ajaran Wahabiy ala Muhamad bin Abdul Wahab pada prinsipnya adalah kembali kepada Al-Quran Hadis (tanpa ijma' qiyas). Memberantas bid'ah dan adat istiadat lama yang dianggap khurafat dengan penuh fanatisme. Namun perkembangan berikutnya gerakan Wahabi ini disokong pemerintah Saudi dan berbentuk negara Wahabi, yakni Arab Saudi yang didirikan Raja Su'ud murid Muhamad bin Abdul Wahab. Ini berarti ajaran Wahabi harus ditaati penduduk Arab, bila tidak ingin dicap pembangkang. Bahkan lebih jauh lagi ajaran Wahabi juga diperuntukkan kepada penduduk negara lain yang tidak sepaham. Caranya cukup dipaksa dan bila perlu dengan kekerasan.
Dengan demikian, gerakan itu bukan cuma mengecam "cara dan metode" berdakwah ala Walisongo saja akan tetapi juga melabrak tradisi keilmuan yang dianut ulama pesantren, seperti sistem bermadzhab, taqlid, tawassul, ziarah kubur, talqin, slametan yang kesemuanya sebatas khilafiyah furu'iyah harus dibabat habis.
Dari kilasan-kilasan tersebut, KH Abdul Wahab Hasbullah dari Jombang bisa dibilang "merespon gerakan pembaharuan internasional", termasuk gerakannya Muhammad bin Abdul Wahab dari Najed. Respon itulah yang menjadi cikal-bakal lahirnya "perkoempoelan ulama" atawa Nahdlatul Ulama dalam bentuk organisasi.
KH. Abdul Wahab patut disebut "kiai super" dan "multitalenta", karena memiliki jam terbang dan pergaulan di atas rata-rata. Keikutsertaannya dalam laksa kegiatan diskusi dan "ngursusi" pemuda-pemuda di Syubbanul Wathan dan ulama-ulama muda di Taswirul Afkar, ditambah "nguri-nguri" Nahdlatul Wathan sebagai benteng pertahanan santri cinta tanah air hingga memiliki cabang "wathan" dimana-mana, beliau aktif pula diskusi di Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia yang didirikan Dokter Soetomo, ketambahan lagi mikirkan Nahdlatut Tujjar yang bergerak di bidang ekonomi, ikut pula dalam Syarekat Islamnya HOS Tjokroaminoto, bahkan di bidang seni Kiai Wahab menciptakan syi'ir Ya lal wathon, itu semua menegaskan bahwa Mbah Kiai Wahab memiliki pergaulan luas dan menguasai ragam keilmuan dengan baik.
Lantas apa yang bisa diteladani dari seorang KH. Wahab Hasbullah sehingga kita bisa menjadi Wahabiy Annahdliyyah?. Di antara yang paling kentara adalah: "Semangat mencintai Tanah Air dan menegakkan Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyyah", dan itu dibuktikan keterlibatan Kiai Wahab mendirikan dan mengikuti perkumpulan yang bernafaskan "hubbul wathon" cinta Tanah Air disamping itu juga memegang teguh prinsip Islam rahmatan lil alamin yang mengayomi alam raya.
Walhasil, bila ada pilihan makna Wahabiy bernuansa sejuk, bening, damai, memberi, berbagi dan menghormati, kiranya tepat untuk mengabaikan Wahabiy yang bermakna kering, tandus, yang memaksakan kehendak dan kerap melontarkan kata syirik bid'ah kepada mereka yang tak sepaham. Jadi, tak mengherankan bilamana suatu saat Pangeran Muhamad bin Salman menolehkan wajah tampannya seraya tersenyum indah kepada Aswaja Annahdliyyah yang penuh tawasut, tasamuh, tawazun, ta'adul, dan berkartaNU. Pasalnya, kehadiran Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyyah bukan semata "Een rimpel in de oceaan" (riak di lautan).
Sekedar coretan kelas "angin lalu".
Ramadhan, 12-06-2018
_______________
*PW LTNNU Jatim
COMMENTS