Oleh: Syamsul Hadi * Di desa Dawuhan kota Blitar dulu pernah hidup seorang Kiai Nyeleneh yaitu Kiai Mu'id, yang oleh masyarakat set...
Oleh: Syamsul Hadi*
Di desa Dawuhan kota Blitar dulu pernah hidup seorang Kiai Nyeleneh yaitu Kiai Mu'id, yang oleh masyarakat setempat biasa dipanggil "Mbah Mungid". Sayang beliau tidak punya keturunan, Sisa-sisa peninggalan beliau saat ini tinggal mushola kecil dan pohon sawo tanaman beliau disisi kanan mushola didalam komplek SMKI kota Blitar.
Menurut cerita Juru Kunci makam umum Tanjungsari, Pada suatu malam Mbah Mungid mengajak santri-santri yang biasa tidur di masjid Dawuhan menonton pertunjukan wayang kulit. "Yuk melu ndelok wayang nek wetan kono" (ayo, ikut nonton wayang ke arah timur sana). Santri-santri langsung menyetujui ajakan Mbah Mungid tanpa bertanya "wetan kono" itu tepatnya dimana dan Desa apa. Lalu mereka pun berangkat ke arah Timur walaupun dengan berjalan kaki tidak dalam waktu yang lama akhirnya sampai pada tempat yang dituju.
Setelah membeli kacang goreng dan "opak sambel", mereka mencari tempat duduk yang strategis untuk menikmati pertunjukan wayang kulit sambil ngemil jajanan tadi, karena gayengnya menikmati tontonan sambil ngemil tidak terasa waktu sudah hampir subuh (kira-kira jam 3 dini hari). Waktu itu Mbah Mungid mengajak santri-santri yang ikut tadi pulang: "Yuk, mulih wes meh subuh"(Ayo pulang sudah mendekati subuh).
Mendengar ajakan itu semua langsung berdiri bersiap pulang kecuali satu orang (sebut saja Bejo). "Riyen, Mbah! Gadok garek kirang kedik mawon ditutukne sampe' bar pisan" (sebentar, Mbah! Kepalang tanggung kurang sedikit lagi wayangnya selesai).
Mendengar pintaan Bejo itu, Mbah Mungid langsung menyahut "Yo wes, lek kowe ngenteni bare, Iki tak sangoni engko nggonen numpak bis lek muleh" (ya sudah, kalo kamu menunggu sampai selesai, ini bekal uang untuk naik bis jika pulang nanti). Sejurus kemudian Mbah Mungid dan rombongan pulang kecuali si Bejo.
Setelah pertunjukan usai, Bejo ingin pulang tetapi dia bingung kemana jalan menuju arah Dawuhan Blitar. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada masyarakat setempat (sebut saja Pak Jarno) "Dalan jurusan Dawuhan niku pundi nggeh?"(Arah menuju Dawuhan itu kemana ya?). "Looh Dawuhan pundi tho mas? mriki mboten wonten Dusun Dawuhan" (Lho Dawuhan mana mas? Disini tidak ada Dusun Dawuhan), Pak Jarno balik bertanya. "Dawuhan Blitar, Pak" jawab Bejo. Sambil keheranan Pak Jarno menjawab "Looh tebih niku, Sampean niku sakniki teng Genteng Banyuwangi lho Mas"(Lho, Blitar itu jauh, sampean sekarang ini berada di Genteng Banyuwangi, lho Mas).
Betapa kagetnya Bejo mengetahui bahwa perjalanan yang tidak sampai satu jam bersama Mbah Mungid tadi malam itu ternyata perjalanan Blitar - Banyuwangi.
Kisah tutur di atas menunjukkan akan kekuasaan Gusti Allah melalui orang pilihan-Nya (Waliyullah) kepada hamba-hambanya yang awam tanpa mereka sadari. Mungkin sebagian orang akan berasumsi Mbah Mungid pelaku bid'ah, sesat, ndukun dll. Tapi bagi kalangan santri, kisah-kisah semacam itu sudah lazim terjadi, meskipun sulit dinalar dan tak masuk akal.
Orang-orang tempo doeloe atawa wong Jadul boleh jadi hanya bisa ngaji syi'iran Ngudi Susilo, tajwid Tanwirul Qori', Sekar Cempoko, syi'iran Pasholatan bab Banyu (yang sudah mulai hilang dari peredaran), Ngaqidatul Ngawam (Aqidatul Awam) atau Arbain Nawawi, bahkan paling banter Sullamul Munajat, Sullam Taufiq, Minahussaniyah, akan tetapi orang tempo doeloe memiliki keistimewan yang tidak dimiliki oleh generasi zaman now, yaitu menghafal, memahami, menghayati dan mengamalkannya.
Sejatinya, orang-orang tradisional memahami agama tidak hanya sebatas otak (IQ) saja tetapi juga penggalih (hati) atau ESQ dengan mendawamkan riyadoh laku tirakat, nutupi babahan hawa sanga (semacam kholwat, semedi, mengasingkan diri dengan ritual yang sulit dan berat), "sendika dawuh"/berbakti kepada guru.
Bagi mereka, ad-din alias agama bukan untuk diperdebatkan tetapi diyakini dan dilakoni. Agama tidak untuk menghukumi atau mengkafirkan orang lain tetapi untuk membedakan orang yang mendapat hidayah dan belum mendapatkannya. Tentu saja untuk mencapai tahapan itu, tidak cukup hanya belajar agama lewat terjemah, internet, buletin dll tanpa melalui guru yang solih-shohih sanad keilmuannya sampai kanjeng Nabi. Sesuai adagium "Wong kang weruh Sangkan paraning dumadi iku kang ma'rifat Allah"
______________________
*Penulis berkhidmah di PCNU Kab. Blitar. Akun FB: Mbah Bendot.
COMMENTS