Oleh: Ahmad Karomi Kereng Ketes, atau lazimnya disebut KarangKates. Sebuah desa yang terletak dekat Ploso, Kediri. Berdirilah sebuah pe...
Oleh: Ahmad Karomi
Kereng Ketes, atau lazimnya disebut KarangKates. Sebuah desa yang terletak dekat Ploso, Kediri. Berdirilah sebuah pesantren yang diasuh oleh Kiai Muharrom bin KH. Abu Manshur/Kiai Thoya, sebuah pesantren yang mengutamakan ta'lim watta'allum (belajar dan mengajar). Belakangan pesantren ini juga dikenal sebagai pesantren yang mengikuti tarekat qadiriyah wannnaqsyabandiyah.
Konon nama desa Karang Kates tak terlepas dari karakter Kiai Muharrom, yang dikenal Kereng (teguran keras) dan Ketes (tegas). Teguran keras yang dilontarkan beliau tidak lain karena menyaksikan syariat tidak ditegakkan. Tegas, karena beliau sosok yang tegas dan teguh dalam syariat.
Kiai Muharrom bin KH Abu Manshur adalah salah satu kakak KH Manshur Kalipucung Blitar. Beliau lahir di Blitar sezaman dengan Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari. Bahkan bisa dikatakan beliau adalah karib KH. Hasyim Asyari ketika di Bangkalan dan di Makkah. Dan menariknya ikatan itu diperkuat dalam jalinan per-iparan. Hadratus Syekh Hasyim Asyari dan KH. Muharrom adalah sama-sama menantu KH. Romli Banjarmelati Kediri (Saudara KH. Sholeh Banjarmelati yang merupakan mertua KH. Abdul Karim Lirboyo, KH. Makroef Kedunglo, KH. Dahlan Jampes, KH. Fadil Batokan, KH. Manshur Kalipucung Blitar).
Adapun genealogi DNA KH Muharrom masih "ittishal" dengan Panembahan Senopati hingga Maulana Ibrahim Assamarqand. Berikut silsilahnya: KH. Muharrom b. KH. Abu Mansur b. Kiai Abdul Karim b. Kiai. Abdul Muin b. Kiai Baidowi b. Kiai Mursodo b. Kiai Nur Iman b. Amangkurat III (Mangkurat Kartosuro) b. Pangeran Puger b. Amangkurat Agung b. Sultan Agung b. Pangeran Sedo Krapyak b. Panembahan Senopati. Sehingga tidak mengherankan "darah ulama-kepemimpinan-pejuang" yang bersemayam dalam dirinya mengental kuat.
Dalam buku Sang Blawong (biografi KH. Ahmad Djazuli Ploso) disebutkan sosok yang merekomendasikan agar Kiai Muharrom ngunduh mantu KH. Djazuli Ploso adalah Hadratus Syekh Hasyim Asyari sendiri. Kurang lebih narasinya begini: "Kang, onok santri alim tapi wes dudo, tenimbang bingung golek mantu, piye nek diolehno anakmu?" (Mas, ada santri alim tapi sudah duda, daripada bingung cari menantu, bagaimana kalau dijodohkan dengan anakmu?)" Usul Hadratus Syekh Hasyim Asyari kepada Kiai Muharrom. Beliau pun menyetujui usulan KH. Hasyim setelah tahu bahwa duda yang dimaksud itu adalah "Mas'ud" (nama kecil KH. Djazuli) nya Kiai Zainuddin Mojosari, yang baru saja mendapat cobaan atas meninggalnya sang isteri.
Tak pelak keakraban Kiai Muharrom dengan Hadratus Syekh Hasyim Asyari ini berlanjut ke dalam Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Setelah NU dideklarasikan tahun 1926, dan jamiyyah ini mulai dikenal masyarakat. Para kiai mencoba mengupayakan pengembangan organisasi berlambang sembilan bintang ini. Maka dalam Muktamar ketiga di Surabaya tahun 1928, Majelis Khomis (Komisi Lima) memutuskan pembentukan Lajnatun Nashihin. Sidang Majelis Khomis saat itu dipimpin oleh KH Sholeh Lateng Banyuwangi dengan anggota: KH Hasyim Asy’ari Jombang, KH Bisyri Syansuri Jombang, KHR Asnawi Kudus dan KH. Muharrom Karangkates sendiri.
Salah satu tujuan utama dibentuknya Lajnatun Nasihin yang selanjutnya disebut Jamiyyatun Nashihin ini adalah melakukan pengembangan organisasi NU dengan mendirikan Cabang NU di seluruh Indonesia. Jam’iyyatun Nashihin disebutkan oleh Sejarahwan NU, Choirul Anam, sangat ampuh dan efektif. Terbukti dalam waktu tidak terlalu lama, NU Cabang sudah mulai bermunculan di Jawa dan Madura.
Kiai Muharrom dikenal sebagai sosok keras, tegas dalam bersyariat. Tak heran Kiai Muharrom sangat cocok dengan Kiai Djazuli yang juga dikenal sebagai sosok tegas pula dalam syariat. Menariknya beliau berdua juga kenceng ngajine, klop sudah antara mertua dan menantu.
Menurut sebagian cerita, diantara ketegasan beliau adalah memarahi dan mengingatkan "mereka" yang lebih mementingkan kesibukan pribadi-duniawinya dan melupakan kehidupan sosialnya (mu'asyaroh binnas). Semisal jika di desa Karang Kates ada orang meninggal, tak segan-segan Kiai Muharrom menegur, bahkan memarahi mereka yang masih sibuk "nyambut gawe" sehingga lalai tidak menghormati/ tidak takziah kepada tetangganya. Walhasil, Kiai Muharrom turun tangan dengan "menegur keras" hingga melempar batu ke rumah orang yang enggan keluar tersebut.
Begitu pula, beliau marah ketika memergoki/melihat kerumunan campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya (misalnya nonton pertunjukan), langsung beliau lempar batu agar kerumunan itu bubar. Sikap beliau ini tidak lain adalah mengingatkan akan pentingnya bergaul, bermasyarakat dengan cara yang baik. Sehingga terhindar dari fitnah.
Sekelumit kisah yang saya rekam dua tahun ini menyiratkan pesan bahwa syariat harus berjalan beriringan dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Meskipun bekerja "nyambut gawe" untuk duniawiah tetap haruslah peka dengan sekelilingnya (tetangga dan masyarakat). Dari situlah muncul "perekat" ukhuwwah, tepo sliro, saling menghormati satu sama lain.
Pun demikian, pergaulan haruslah dijaga agar tidak timbul "dekadensi moral". Bagi beliau Kerumunan/berbaurnya laki-perempuan di masa itu adalah hal yang sangat tabu. Sehingga perlu adanya sekat, pemisah untuk saling menjaga kehormatan diri masing-masing dari fitnah.
Wallahu A'lam
(16 September 2016, jam 10 siang, kisah ini saya kutip dari bincang-bincang sepeminum teh dengan Mas Gus Toha dan Mas Gus Rofiq bin Kiai Ahmad Fathullah di Karang Kates, Kediri)
*PW LTNNU Jatim, Alumni Al-falah Ploso, Mahasiswa UINSA, Dosen STAI-BA, Guru Madrasah Tarbiyah Kalipucung Blitar, Bapak Rumah Tangga.
COMMENTS