Oleh: M. Ikhwanuddin* Pada sebuah grup WA Jamaah Ta'lim Ismailiyyah yang diampu Gus Mun'im (salah satu putera KH Sholeh Qas...
Oleh: M. Ikhwanuddin*
Pada sebuah grup WA Jamaah Ta'lim Ismailiyyah yang diampu Gus Mun'im (salah satu putera KH Sholeh Qasim), ada sebuah undangan bahwa Kamis Malam Jumat, 17 Mei 2018 ada acara kirim doa ke Kiai Sholeh bertepatan 7 hari beliau wafat.
Saya membaca pesan tersebut sambil memendarkan ingatan tentang alm. Bapak Abdillah. Andai Bapak masih hidup, beliau pasti menghadiri undangan Sang Guru. Baik kepada KH Sholeh, maupun Gus Mun'im, Bapak saya tersambung rekam jejak genealogi keilmuan.
Lebih dari 18 Tahun, Bapak mengaji di Mushollah Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah bersama (mayoritas) para "sesepuh", diasuh KH Sholeh lalu dilanjutkan Gus Mun'im. Beberapa bulan menjelang wafat, Bapak malah sempat mengaji Online dari rumah, dibantu oleh Mas Dodik.
Saya berangkat, bukan dengan niatan "sok" menyambung istiqomah Bapak, namun hanya sekedar "merawat ingatan" tentang Bapak Abdillah.
Bagi saya, merawat tentang ingatan (baik) tentang seseorang yang telah meninggal, adalah "umur kedua" baginya. Layaknya penyair klasik Mesir Ahmad Syauqi yang menggubah tulisan :
فارفع لنفسك بعدَ موتكَ ذكرها
فالذكرُ للإنسان عُمرٌ ثاني
" Setelah kematianmu, tinggikan (derajat) penyebutan tentangmu. Karena bagi manusia, sebuah ingatan (penyebutan) mengenainya adalah "umur kedua"
Malam itu, "Umur Kedua" bagi KH Sholeh Qasim diperdengarkan di tengah ratusan pentakziyah yang hadir. Salah satu keluarga KH Sholeh --kata cucu beliau Miftahul Haq-- bernama Kiai Yahya Khozin menuturkan 2 kisah keteledanan KH Sholeh Qasim.
Pertama tentang "ghiroh" keilmuan. Kiai Yahya mengingat beberapa kali KH Sholeh kalau mengikuti pertemuan dengan tokoh ulama baik dari dalam maupun luar negeri, beliau hadir dengan membawa kitab. Saat ditanya kenapa membawa kitab, beliau menjawab untuk mengambil ijazah sanad dari ulama tersebut.
Al-Isnad dalam tradisi genealogi keilmuan Muslim merupakan hal terpenting dalam mata rantai pengetahuan yang akan diraih dan dibagi.
Kedua, dan ini yang terasa sekali nilai kontekstualisasinya, tentang Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Dalam sebuah kisah, pernah KH Sholeh hadir di sebuah acara. Panitia memberi waktu pada Qari (saat itu Muammar diberi waktu hanya 5 menit, padahal biasanya 1 jam) dan beberapa Kiai dengan durasi yang sangat pendek. Kata panitia, ada penampilan artis.
KH Sholeh menegur panitia dengan cara yang santun. Beliau menemui panitia dan duduk di samping panitia sambil memberikan beberapa masukan. Pada posisi beliau, beliau bisa saja langsung menegur dan membuat malu panitia di hadapan khalayak, namun beliau memilih "Nahy Munkar" tetap dengan cara yang ma'ruf (baik) . Adakah ini masih kita lakukan?
Di penutup dzikir, Gus Mun'im juga menuturkan 2 hal yang beliau saksikan tentang sosok Sang Ayah ini. Yakni tentang semangat shilaturrahmi yang terus beliau jalani dan amaliyah KH Sholeh saat Bulan Ramadhan. KH Soleh kalau Bulan Ramadhan semakin rajin membaca dan mentadabburi Al-Quran. 2-3 hari beliau Khatam Al-Quran. Jadi, selama Ramadhan minimal 10 kali beliau khatam Al-Quran.
Semoga generasi Muslim milenial bisa mengambil sepotong kisah keteladanan ini. Untuk KH Sholeh Qasim, Bapak Abdillah Akhyar, dan Semua orang tua kita yang telah meninggal, Alfatihah.
_____________________
*Dikisahkan kembali oleh:
Mohammad Ikhwanuddin bin Abdillah, Pendidik di UMSurabaya. Mahasiswa Studi Doktoral Islamic Studies di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya melalui Beasiswa MoRa Program 5000 Doktor Kemenag RI Tahun 2017.
COMMENTS