Oleh Haris Muhith Peneliti Sosial Politik dan Dosen UIN Sunan Ampel Mengamati hiruk pikuk politik yg tdk kunjung red...
Oleh
Haris Muhith
Peneliti Sosial Politik dan Dosen UIN
Sunan Ampel
Mengamati hiruk pikuk politik
yg tdk kunjung reda menarik untuk digagas sebuah terobosan yang efektif
mereduksi dan mengendalikan kondusifitas politik jagad negeri yang kita cintai
ini. Terobosan ini menjadi urgen lantaran Indonesia saat ini dihadapkan pada
tuntutan pengarusutamaan pemenangan persaingan ekonomi global yang menuntut
kondusifitas iklim politik. Tanpa hal tersebut mustahil suatu negara bisa
menggapai keunggulan di sektor bisnis dan memenangkan pertarungan antar negara.
China contohnya, ia berhasil meraih mencapai kemajuan pesat lantaran mewarisi
budaya komunisme yang secara keras mengendalikan kebebasan masyarakat dan
memanfaatkannya untuk kepentingan negara. Pengutamaan kepentingan negara
daripada kepentingan individu menjadi ciri khas budaya komunis yang sekarang
menuai hasilnya di bidang ekonomi. Di mana superioritas pemerintah mampu
efektif mengarahkan potensi rakyat untuk menjalankan kebijakan pemerintah di sektor
bisnis dan perdagangan global. Demi tujuan tersebut yang menuntut stabilitas
politik, China pun tidak segan-segan menyepakati kekuasaan sang presiden, Xi
Jinping, seumur hidup. Keputusan parlemen komunis China itu patut menjadi
pelajaran Indonesia bahwa rotasi kepemimpinan bukanlah segala-galanya jika
dibandingkan dengan kedigdayaan negara.
Sirkulasi kepemimpinan
merupakan salah satu pilar demokrasi yang tidak bisa ditinggalkan. Meski
demikian ia bisa seperti pisau bermata dua -yang satu untuk memberikan peluang
kepemimpinan bagi pemimpin baru yang lebih baik dan yang lain untuk menjatuhkan
penguasa dan menimbulkan situasi politik yang kronis. Jika yang kedua terjadi,
maka roda perekonomian terganggu dan iklim investasi dan bisnis dirugikan.
China dalam hal ini sudah berketetapan untuk mengamputasi mata pisau yang
membahayakan sekaligus mengamputasi mata pisau yang lain yang memberikan
peluang bagi pemimpin baru karena meyakini pemimpin sangat baik dan layak
diberikan mandat seumur hidup. China dengan demikian mengabaikan nilai-nilai
demokrasi demi kepentingan ekonomi yang bagi mereka lebih layak untuk
diutamakan.
Sementara apa yang terjadi di
negara kita nampaknya masih jauh mementingkan rotasi kepemimpinan dan
menjadikan perebutan kekuasaan sebagai sesuatu yang utama dan paling menyedot
energi kekuatan-kekuatan politik. Belum habis 'sakit hati' akibat kekalahan
pilpres kemarin, sekarang sudah mau pilpres lagi. Jadilah politik jagad negeri
diisi oleh hiruk pikuk yang tiada henti. Mulai dari isu bangkitnya komunisme
yang oleh Buya Syafi'i Ma'arif disebut sebagai mimpi di siang bolong hingga
pernyataan Amien Rais yang menyebut koalisi partainya sebagai Partai Allah dan
koalisi partai pemerintah sebagai Partai Setan dan pengarahan isu-isu yang lain
untuk menyerang lawan politik, ini semua memperkeruh situasi sosial-politik
yang berimbas pada lambannya pembangunan dan sulitnya Indonesia melesat seperti
negara-negara maju yang baru. Meski demikian, menurut Fadli Zon, Wakil Ketum
Gerindra, kegaduhan politik yang ada dinilai masih pada batas-batas yang wajar.
Artinya bahwa pemerintah jangan baper atau berlebihan dalam meresponnya dan
menganggapnya menjegal kepemimpinan yang
sah.
Mengamati ketegangan yang
kerap muncul dan seringnya aksi turun ke jalan oleh massa yang tidak berbendera
partai tapi sangat mungkin didukung oleh kepentingan partai sehingga
memperkeruh iklim dunia usaha dan percepatan laju ekonomi, maka perlu kiranya
ditinjau ulang praktik berdemokrasi kita. Sebab yang diharapkan darinya
bukanlah semata berdemokrasi tapi berkeadilan dan berkemakmuran. Hendaknyalah
kebebasan yang didapat dari demokrasi tidak membuat kita dalam euforia
kebebasan saja tapi mengarahkannya pada
sesuatu yang lebih produktif dan bernilai signifikan yang.
Untuk itu perlu diwacanakan
sebuah terobosan dalam system perpolitikan kita yang lebih mendorong melesatnya
Indonesia sejajar dengan China dan negara tetangga Singapura dan Malaysia.
Terobosan ini tentu tidak mungkin seperti China yang berideologikan komunisme
atau seperti yang sudah ditempuh orde baru di bawah rezim Soeharto yang
memasung kebebasan berekspresi dan menebarkan rasa takut di hati masyarakat
agar tunduk kepada pemerintah. Tapi dengan mengurangi potensi bias demokrasi
seperti ketegangan yang ditimbulkan oleh
oposisi yang tidak menginginkan kekuatan yang berkuasa berpeluang untuk
berkuasa kembali pada periode yang akan datang.
Ide yang ditawarkan di sini
adalah dengan membatasi periode kepresidenan hanya satu periode namun dengan
perpanjangan durasi dari lima tahun menjadi tujuh tahun. Hal ini untuk
mengurangi agresifitas oposisi dalam menyerang presiden dengan tujuan
menurunkan elektabilitasnya pada pemilu mendatang. Presiden yang mendapatkan
polling tinggi karena kemampuannya mengambil hati rakyat otomatis mendorong
oposisi untuk melemahkannya dengan berbagai cara. Hal ini kerap menciptakan
kegaduhan sepanjang masa berkuasa apalagi dengan turunnya massa di jalan.
Dengan ditetapkan jabatan presiden hanya satu periode setidaknya kegaduhan yang
disebabkan oleh kekhawatiran akan terpilihnya kembali presiden petahana bisa
dihilangkan. Karena hanya satu periode tentunya masa lima tahun terlalu
singkat. Untuk itu perlu ditambah menjadi tujuh tahun sebuah durasi yang tidak
kurang dan tidak lebih. Oposisi yang
menginginkan maju di pilpres mendatang tidak terlalu lama menunggu dan presiden
yang sedang berkuasa memiliki waktu yang cukup untuk mewujudkan mimpinya dalam
membangun negeri.
Wallahu a'lam bis-shawab
COMMENTS