ilustrasi liputan6.com Oleh Achmad Murtafi Haris (Dosen UIN Sunan Ampel) Benarkah Radikalisme Islam adalah produk dari ...
![]() |
ilustrasi liputan6.com |
Oleh
Achmad Murtafi Haris
(Dosen UIN Sunan Ampel)
Benarkah Radikalisme Islam adalah produk dari gerakan Pembaharuan Islam?
Dalam tulisan ini izinkan saya untuk membuat thesis statement bahwa
benar radikalisme Islam adalah buah dari Pembaharuan Islam dan bahwa ia paling
bertanggung jawab terhadap fenomena itu. Kaum pembaharu yang hadir dengan paradigma baru yang diadopsi dari Timur
Tengah, khususnya Mesir, mengembangkan perubahan di segala aspek kehidupan,
baik agama, sosioal, politik, ekonomi dan budaya dan menolak banyak hal yang
telah berlaku selama ini dalam praktek dan tradisi keagamaan.
Seperti halnya pembaharuan Kristen yang menolak banyak hal yang ada dalam
tradisi Katholik, mereka juga menolak banyak hal yang ada dalam tradisi Islam.
Tradisi yang sejatinya adalah manifestasi ajaran Islam dalam budaya lokal
dengan dalih pemurnian ajaran Islam meski tradisi tersebut mengandung elemen
ajaran Rasulullah. Seremoni keagamaan yang tidak dilakukan oleh nabi, mereka
menolaknya. Demikian juga Peringatan
Hari Besar Islam (PHBI), peringatan kematian (Haul), bacaan Tahlil setelah
kematian, doa tujuh bulan kehamilan (mitoni), dll.
Paradigma puritan ini telah menjadi core-value gerakan pembaharuan
Islam dan mencap tradisi Islam sebagai sebuah distorsi yang harus diganti
dengan pandangan yang lebih produktif bagi kemajuan duniawi. Meminjam istilah
Thaha Hamim dalam menjelaskan perspektif kaum pembaharu tentang tradisi Islam,
bahwa Ibarat tubuh yang terlalu gemuk oleh lemak yang tidak sehat, maka
tradisi-tradisi itu adalah lemak yang tidak menyehatkan yang harus dibuang dari
umat Islam. Sebagai gantinya, energi disalurkan ke kegiatan yang lebih kongkrit seperti pendidikan dan santunan anak
yatim.
Di antara sekian banyak
organisasi yang memeluk faham pembaharuan, organisasi Muhammadiyah adalah
jagonya di bidang ini. Muhammadiyyah memiliki lembaga pendidikan formal dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan rumah sakitnya dengan jumlah yang besar
kalau tidak fantastis. Dubes Syria untuk Indonesia yang sedang menempuh kuliah
S3 di UIN Syarif Hidayatullah yang dipromotori oleh Din Syamsuddin mantan Ketua
Umum PP Muhammadiyyah mengatakan, bahwa jumlah rumah sakit Muhammadiyyah lebih
banyak daripada seluruh rumah sakit yang ada di Syria. Hal ini menunjukkan
betapa gerakan pembaharuan adalah gerakan yang produktif dalam membangun
peradaban Islam.
Meski produktifitasnya tidak bisa
dipungkiri, bukan berarti gerakan pembaharuan tidak memiliki sisi negatif.
Pemberangusan tradisi berakibat pada penggerusan aset budaya dan timbulnya disharmoni sosial. Ketegangan-ketegangan di tengah
masyarakat yang diakibatkan oleh gerakan pemurnian Islam itu tidak kunjung reda hingga kini. Setelah
gerakan Muhammadiyyah sudah break dari aktifitas ini dan bersikap lebih
lunak bahkan mengangkat jargon Dakwah Kultural yang notabene berseberangan
dengan nilai dasar puritanisme, muncul kelompok-kelompok baru yang mengambil
alih posisi Muhammadiyyah. Majelis Tafsir al-Quran dan gerakan Salafi Wahabi Indonesia adalah
kelompok baru yang melangggengkan ketegangan dan perselisihan yang anti tradisi
Islam.
Gagal faham terhadap esensi
tradisi Islam adalah masalah yang dampaknya terus berlanjut hingga kini.
Manusia tidak hanya membutuhkan materi sebagai wujud kongkrit dari keberhasilan
sebuah gerakan sosial keagamaan. Manusia juga membutuhkan kepuasan batin di
luar materi yang bisa didapat dalam tradisi sebagai wadah berkumpul, bercengkerama dan bersenda gurau satu sama lain. Mereka demi tradisi
rela mengorbankan harta dan tenaga demi solidaritas Bersama. Ini adalah aset budaya yang mempererat
kohesi social yang mengantarkan pada harmoni yang seringkali tidak mampu
difahami masyarakat modern yang menekankan pada keuntungan materi.
Gerakan pemurnian berdampak langsung terhadap matinya kasadaran
akan perlunya harmoni sosial dan menyerabut masyarakat dari tradisi lokal.
Pemaksaan kehendak demi hegemoni ideologi kerap terjadi tanpa merasa bersalah.
Konsekuensi lebih lanjut adalah hilangnya pengakuan terhadap pranata sosial
yang ada. Para petinggi masyarakat apakah itu tokoh adat atau tokoh agama tidak
mereka akui eksistensinya. Mereka mengambil jalan sendiri dengan mem-bypass
tatanan sosial sehingga kontra produktif bagi tercapainya kemaslahatan dan kemajuan
umat Islam yang diimpikan oleh kaum pembaharu. Jadilah keinginan untuk meraih
cita-cita mulia menghalalkan segala cara dan menempuh jalan yang terjal yang
justru menarik peradaban mundur ke belakang karena banyak korban dan mahalnya
ongkos yang diakibatkan oleh perubahan drastic yang ditempuh.
Gerakan radikal itu bahkan
menempuh jalan yang sangat ekstrim dan mengangkat senjata dengan melakukan aksi
terror agar semua orang takut dan menuruti apa yang mereka inginkan. Pada
tataran ini nyawa manusia tidak lagi berarti. Demi perubahan sosial seperti
pandangan yang mereka impikan, yaitu ‘berlakunya’ syariat Islam yang murni,
rasa aman dan bahkan nyawa manusia dikorbankan. Niat baik ‘demi’ Islam berubah menjadi emosi yang tidak terkendali
yang memangsa dirinya sendiri. Hampir pasti, di manapun, aksi kekerasan atas
nama Islam selalu jatuh korban mayoritas dari kalangan umat Islam sendiri.
Seandainya pun dari kalangan non-muslim, maka mereka adalah warga sipil yang
tidak tahu-menahu urusan memperjuangkan syariat Islam. Mereka juga bukan
sasaran yang diperbolehkan untuk diserang lantaran mereka dari kalangan sipil.
Apalagi yang meninggal dari kalangan wanita dan anak-anak seperti bom bunuh
diri yang terjadi di Pakistan dan Afghanistan pada 2017 yang memakan korban 60
orang di sebuah taman bermain, sungguh suatu hal yang miris dan ironi. Betapa
mengatasnamakan agama bisa membuat nyawa anak-anak melayang tanpa sang pelaku
merasa bersalah.
Jika dilihat afiliasi faham yang
mereka anut, atau yang dianut oleh kelompok radikal, bisa dipastikan bahwa
mereka menganut faham pemurnian agama yang anti tradisi Islam. Yaitu faham yang menghalalkan pengeboman makam-makan wali
dan nabi seperti yang dilakukan oleh faham Salafi Wahabi di Saudi Arabia pada
awal kemenangannya di awal abad dua puluh. Yang kemudian diikuti dengan
pembersihan seluruh lawan politik dan tokoh Islam dari kalangan faham yang
berbeda untuk diterapkan faham yang baru yang mereka usung.
Gerakan pemurnian ini merupakan
paket yang tidak terpisahkan dari gerakan pembaharuan Islam selain modernisme.
Ia sama sekali bukan bagian dari faham yang ada (Islam tradisional) dan itu
tidak mungkin sebab Islam tradisional justru adalah faham petahana yang ingin
mereka hancurkan demi perubahan yang diimpikan.
Dampak destruktif dari gerakan
pembaharuan begitu besar. Ia terus terjadi hingga kini dan telah berlangsung
lebih dari satu abad. Gelombang aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh
kelompok Islam garis keras adalah tragedi kemanusiaan yang paling mengerikan dalam
sejarah peradaban manusia. Itu terjadi karena pemaksakan agenda perubahan yang
tidak kunjung terwujud, sebuah agenda yang menjadi impian kaum pembaharu. Kaum
pembaharu dituntut untuk berinstropeksi dan berada di baris terdepan dalam penanggulangan kekerasan yang
diakibatkan oleh bias ideologis yang diperjuangkan.
COMMENTS