Oleh: Ahmad Karomi* Tatkala maraknya teror, kekerasan atas nama Islam, maka timbullah serangkaian pertanyaan. Apakah Islam penuh aj...
Oleh: Ahmad Karomi*
Tatkala maraknya teror, kekerasan atas nama Islam, maka timbullah serangkaian pertanyaan. Apakah Islam penuh ajaran kekerasan? Atau adakah penyimpangan oleh oknum tertentu yang berlindung di bawah bendera Islam?.
Menyikapi hal demikian, kiranya perlu untuk mempublish tentang Islam Nusantara. Lantas apakah Islam Nusantara itu?Bukankah itu bid'ah yang sebid'ah-bid'ahnya? Mana dalil tentang Islam Nusantara? Kira-kira demikian pertanyaan-pertanyaan yang kerap diletupkan oleh para penganut paham--saya sebut dengan istilah--letterlijk dogmatis.
Islam yang berkecambah di jazirah Nusantarawi memiliki ciri khas yang tiada duanya dengan jazirah lain. Di dalam Nusantara memiliki ragam kultur, suku, ras, bahasa, agama, sehingga tidak heran dikatakan sebagai negara majemuk. Hal ini dipertegas pula oleh Islah Gusmian bahwa Islam Nusantara bukan hanya soal teritori, tetapi juga menyangkut wajah kebudayaan, pandangan-dunia (weltanschauunk), sistem kesadaran, serta praktik prismatik yang mendedah peristiwa transbudaya.
Islam di Arab, Indonesia, Pakistan, Persia, Afghanistan, Turki memiliki titik persamaan dalam dimensi aqidah, yakni mengesakan Allah dan mengakui Muhammad Rasulullah. Akan tetapi terdapat perbedaan yang terletak kepada bagaimana masyarakat setempat memahami, menghayati Islam sebagai the way of life.
Salah satu kisah yang diungkapkan oleh Ginanjar Sya'ban, ulama tempo doeloe di Nusantara, ketika mendapatkan musykilat (seperti kasus orang nyleneh mirip Siti Jenar) di tengah masyarakat tidak serta merta memutuskan hukum dengan perangkat fiqh. Ada tahapan-tahapan tertentu dalam memutuskan sebuah perkara. Bisa dibilang, pendekatan yang bertumpu dari akhlaq lebih dikedepankan sebab wajah Islam ramah berpangkal dari situ.
Ternodainya cermin Islam oleh sekelompok pengapling surga tidak akan mudah menggerus impian para pengusung Islam Nusantara yang berjuang memperkenalkan Islam rahmatan lil alamin, meskipun secara fisik dikepung oleh rezim kolonial. Tengok saja, secara fisik, Nusantara dijajah ratusan tahun akan tetapi secara ideolog, aqidah, Islam Nusantara tetap bercokol di bumi pertiwi ini. Apa sebab mereka gagal menundukkan Nusantara? Karena kebanyakan mereka hanya memotret permukaan saja maupun empirik ala August Comte. Bahkan sekelas Snouck Hugronje saja tak mampu menembus.
Walhasil mereka tidak tuntas menyelami kearifan lokal, buta akan sosio-kultur dan laku spiritual sufi Nusantara. Fenomena ini juga terpampang jelas bila ditinjau dari segi bahasa, di saat banyak negara jajahan menggunakan bahasa bule sebagai bahasa komunikasi pertama dan kedua. Uniknya, itu tidak terjadi di Indonesia.
Ekspansi Islam yang konon dipersepsikan sebagai penaklukan khas militer perlu ditelaah kembali, Islam di wilayah manakah itu? Eropa atau Asia? Atau lebih spesifik lagi Arabia, India atau Indonesia? Sebab geo-kultur kesemuanya terdapat perbedaan meskipun tidak menafikan keterpengaruhan satu sama lain. Taruhlah seperti wilayah Nusantara lebih condong menggunakan pendekatan sosio-kultur yang dimodifikasi dengan tangan dingin oleh para Walisongo.
Mengutip dawuh KH. Imam Mawardi dalam konteks hukum fiqh, bahwa Fiqh Nusantara harus dibangun dengan kerangka metodologis. Banyak ulama dahulu yang "kontemporer" namun lemah dalam kajian metodologis sehingga mudah dipatahkan oleh teori-teori Barat. Padahal bila kerangka metodologis ulama tersebut dibangun dengan kokoh niscaya takkan mudah dirubuhkan. Oleh karena itu, Fiqh Nusantara haruslah berpijak kepada maqashid, dan maqashid bisa ditelaah dalam ushul fiqh pesantren yang dikenal sebagai bahtsul masail.
Mengapa bahtsul masail menjadi parameternya? Sebab
Bahtsul masail lebih mendahulukan maslahah atau maqashid. Dan maslahah bertumpu dari kultur yang bersemi di tengah masyarakat sekeliling. Kreatifitas para ulama NU dalam membuat wadah bahtsul masail menjadi sebuah terobosan untuk mengurai permasalahan yang berkembang. Meskipun kerap muncul khilaf, akan tetapi khilaf itu melahirkan ragam opsi yang solutif.
Hemat saya, Pelatihan Metodologi Islam Nusantara tgl 28-29 April yang digagas oleh PW LTNNU Jatim di Ponpes Kota Alif Laam Mim Surabaya dan diikuti oleh 75 peserta seluruh Indonesia dari berbagai latarbelakang keilmuan yang beragam menjadi pemicu awal agar denyut nadi di berbagai daerah lebih semarak lagi, lebih peka akan makhtutath, manuskrip ulama nusantara dan sosio-kultur yang berkembang di lingkungannya. Bisa berpijak dari antropologi, budaya, filologi, sosiologi, ekonomi, teknologi. Sehingga tradisi baik yang terdapat di jazirah Nusantara bisa dilestarikan dengan baik. Istimewanya kegiatan yang diikuti para sarjana ini dihelat dalam pesantren dengan tujuan memiliki daya "setrum" (alaqah batiniyah) dengan para Kiai.
Demikian pula pelestarian sanad yang merupakan tulang punggung Islam Nusantara harus diperhatikan. Berangkat dari penuturan Zainul Milal Bizawi, sanad guru murid ibarat tali temali yang terikat erat sampai kapanpun meskipun sang guru telah tiada. Sanad perjuangan, sanad ngaji, sanad tariqah, sanad kitab yang identik dengan tradisi pesantren harus tetap dipegang. Nah, tradisi ini tidak dimiliki oleh kalangan Barat.
Sebagai pamungkas coretan kecil ini, di dalam ayat Al-Quran yang berbunyi "waltandzur nafsun ma qoddamat lighod" diartikan sebagian mufassir sebagai ayat introspeksi alias muhasabah. Namun menurut pandangan pakar sejarah, Cak Anam, bahwa ayat tersebut juga mengingatkan kita bersama agar menengok sejarah yang telah lampau untuk membentuk masa depan, mempelajari masa lampau sebagai cermin untuk mewujudkan masa depan bernafaskan Islam rahmatan lil alamin.
Islah Gusmian menegaskan Seperti fungsi spion mobil, kita diingatkan bahwa dalam bergerak ke depan dan berkemajuan jangan pernah lupa menengok ke belakang: memahami wajah dan sejarah masa lalu.
Wallahu A'lam
___________________
*PW LTNNU Jatim
COMMENTS