Oleh: Ayung Notonegoro* Nahdlatul Ulama memiliki perhatian yang cukup serius terhadap keberadaan buruh. Hal ini, setidaknya terlihat de...
Oleh: Ayung Notonegoro*
Nahdlatul Ulama memiliki perhatian yang cukup serius terhadap keberadaan buruh. Hal ini, setidaknya terlihat dengan dibentuknya badan otonom yang khusus menangani tentang buruh. Yakni, Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI). Organisasi ini dideklarasikan pada 27 September 1955 di Tulangan, Sidoarjo.
Kiprah Sarbumusi lantas berkembang cepat di kantong-kantong nahdliyin. Termasuk juga di Kabupaten Banyuwangi. Di sinilah muncul tokoh bernama Kiai Moebtadi sebagai inisiator dan penggerak utamanya.
Kiai Moebtadi sebenarnya bukanlah tokoh asli Banyuwangi. Ia terlahir di Ploso Klaten, Kediri pada 1920. Setelah usai menempuh pendidikan, ia kemudian mengadu nasib di Panarukan, Situbondo. Di daerah rantaunya tersebut, ia memiliki reputasi yang cukup gemilang, khususnya di NU. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Cabang NU Situbondo. Pada 1955, ia juga menjadi anggota Konstituante dari Situbondo.
Namun, suratan takdir Kiai Moebtadi tak hanya berhenti di Situbondo. Pernikahannya dengan Siti Musyarofah membuatnya pindah ke Simbar, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi. Istrinya tersebut tak lain adalah keponakan dari Kiai Abdul Halim, pengasuh PP. Roudlatul Muta'alimin. Yang mana dikemudian hari, Kiai Moebtadi mendapat amanat untuk melanjutkan pesantren pamannya tersebut.
Kiprah Kiai Moebtadi di Banyuwangi tetap tak berubah. Ia tetap aktif di Nahdlatul Ulama. Pada saat itu, ia menjadi inisiator berdirinya Sarbumusi Cabang Banyuwangi.
Sebagaimana kekuatan NU lainnya, pada masa itu, memang ditujukan untuk mendukung Partai NU. Termasuk juga Sarbumusi. Ia menjadi banom yang harus berhadapan dengab kekuatan politik lain dalam percaturan dunia buruh. Kekuatan utama yang harus dihadapi Sarbumusi adalah SOBSI yang berafiliasi dengan PKI.
Persaingan antar anggota kedua organisasi, Sarbumusi dan SOBSI, begitu keras. Tak jarang keduanya terlibat konflik fisik dan saling cekal satu sama lain. Seperti halnya yang terjadi pada para buruh nelayan di Pelabuhan Muncar. Saat itu, buruh yang berafiliasi dengan PKI melakukan sabotase terhadap jaring-jaring nelayan, pengangkutan ikan, dan juga garam.
Hal ini tentu menjadi permasalahan bagi nelayan non komunis. Untuk menghadapi hal ini, Sarbumusi turun tangan. Melalui organisasi bawahannya, Serikat Nelayan Muslimin Indonesia (SNMI), mereka bergerak melawan sabotase dan aksi-aksi sepihak buruh PKI.
Advokasi yang dilakukan Sarbumusi pada masa itu, memang kebanyakan vis a vis guna meredam pengaruh SOBSI. Namun, bukan berarti tanpa ada perhatian pada nasib buruh. Sarbumusi banyak melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap pendidikan dan nasib buruh Nahdliyin di Banyuwangi. Baik buruh di perusahaan, perkebunan maupun di sektor kelautan.
Kerja-kerja Sarbumusi Banyuwangi yang demikian, tentu saja tak terlepas dari jerih payah Kiai Moebtadi. Ia terus bergerak mengonsolidasi kekuatan buruh nahdliyin. Berbagai lobi ia lakukan guna meningkatkan kesejahteraan kaum pekerja di bumi Blambangan.
Berkat kerja keras anggota MPR RI (1967-1969) itu, dipercaya menjadi Ketua PW Sarbumusi Jawa Timur. Kiprahnya pun semakin luas. Sayangnya, catatan atas kiprahnya memimpin Sarbumusi di Jatim tak banyak kita ketahui. Di Sarbumusi Jatim tersebut, Kiai Moebtadi memimpin sampai 1971. Setelah estafet kepemimpinan selesai, selang dua tahun Sarbumusi dibubarkan oleh pemerintah orde baru. Semua elemen buruh harus dilebur dalam FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia).
Sedangkan Kiai Moebtadi sendiri, selang beberapa tahun kemudian juga tiada. Ia dipanggil kehadirat Allah SWT pada 6 Oktober 1979. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga besar PP. Roudlatul Mutailimin, Simbar.
____________________
*Pegiat Literasi dan Komunitas Pegon, PCNU Banyuwangi.
COMMENTS