Penulis : KH Ishomuddin Ma’shum Judul : Sejarah dan Keutamaan Istigatsah Pengantar : KH Tami...
Penulis : KH Ishomuddin Ma’shum
Judul : Sejarah dan Keutamaan
Istigatsah
Pengantar : KH Tamim Romly
Tahun : 2018
Penerbit : LTN Pustaka
Hal : 124 Halaman
Peresensi : W Eka Wahyudi
Contact : 081232034611
Kata istigatsah terdengar tak asing lagi di telinga kaum muslim
Indonesia. Apalagi dilingkungan warga nahdliyin, istigatsah bahkan
menjadi sebuah rutinitas yang mentradisi. Keberadaannya menjadi sebuah penanda
tersendiri dalam meneguhkan karakteristik keislaman di Nusantara. Bahkan dewasa
ini, istigatsah tidak hanya dilakukan oleh kelompok islam tradisionalis di
desa-desa, Majlis Dzikir Hubbul Wathan di Istana Negara juga seakan tak mau
ketinggalan melangitkan doa melalui istigatsah.
Pada dasarnya, istigatsah bukan saja soal melantunkan doa-doa
pilihan yang telah diformulasikan dengan cara tertentu. Lebih dari itu,
istigatsah adalah sebuah bentuk kesadaran umat islam atas keserbaterbatasan
dirinya dalam segala hal. Jika pintu ikhtiyar menemui jalan buntu, usaha telah
maksimal dikerahkan, serta daya upaya telah keluar dengan begitu banyaknya.
Maka, bertawakal kepada Allah melalui istigatsah merupakan upaya bernegosiasi
dengan Allah. Agar segala harap dan hajat dikabulkan-Nya. Di posisi inilah,
terjadi ketundukan dan kesadaran totalitas atas keterbatasan manusia.
Fenomena penghambaan di atas, diperkuat dengan KH Ishomuddin
Ma’shum selaku penulis buku, yang menyatakan bahwa istigatsah jika ditinjau
baik dari etimologis maupun terminologis mempunyai makna yang senafas, yaitu
sebuah usaha untuk memohon pertolongan kepada Allah Swt atas beberapa masalah
hidup dan kehidupan yang dihadapi. (h.9)
Karya yang ditulis oleh Kiai Ishomuddin ini, setidaknya memiliki
tiga kelebihan yang menjadikan buku ini memiliki bobot tersendiri.
Pertama, tinjauan kesejarahan. Ditegaskan bahwa sosok yang pertamakali menyusun,
mempopulerkan dan mentradisikan istigotsah adalah Syaikh Romli Tamin, Rejoso
Peterongan, Jombang (w.1958 M). Berawal dari kegemarannya mendawamkan wirid
secara istiqomah, serta posisisnya sebagai Mursyid thariqah Qodiriyah wa
Naqsabandiyah melalui ijazah mutlaq dari kakak iparnya, KH Cholil Juroimi pada
tahun 1937, maka Kiai Romli berkeinginan untuk merancang subuah dzikir standar
yang tak hanya bisa dilantunkan oleh penganut thariqat, namun juga masyarakat
umum. (h.24). Bahkan secara khusus, dijelaskan bahwa Kiai Romli Tamim menulis
kitab tentang istigatsah yang berjudul al-istigatsah bi hadrati rabb
al-Bariyah.
Dibarengi dengan riyadlah batiniyah selama tiga tahun
melalui puasa mutih, Kiai Romli mulai menyusun awrad istigatsah. Dari
sini bisa dipahami bahwa susunan istigastah yang saat ini dikenal luas oleh
masyarakat, bukan bermuasal dari keinginan pribadi Kiai Romli, namun dari hasil
isyarah yang beliau dapatkan langsung dari Rasulullah, auliya’ dan para
masyayikh, baik dalam keadaan sadar maupun mimpi (ru’yah).
Misalnya, bacaan istigfar yang menjadi urutan pertama istigatsah,
didapatkan melalui isyarah dan ijazah langsung dari Rasulullah. Adapun isyarah
wirid urutan ke 9, ya hayyu ya qayyumumu bi rahmatika astaghitsu berhasil
didapatkan dari hasil mimpi bertemu dengan Sunan Ampel. Tak hanya disitu, dalam
proses penyusunan saat sowan ke Tebuireng dan meneceritakan apa yang telah
dialami selama riyadlah, KH Hasyim Asy’ari ikut menambah bacaan dalam urutan
istigtsah, yaitu wirid Ya Allah Ya Qodim. (h.25)
Kedua, landasan syar’i. Tak hanya mendisplay soal historisitas, penulis
dalam buku ini juga menyertakan dalil-dalil syar’i melalui legitimasi al-Quran
dan hadits, serta perkataan (qoul) dan pengalaman ulama pada setiap
wirid yang tersusun dalam istigatsah.
Ketiga, khasiat wirid. Salah satu keunikan dan menjadi ciri khas islam
Nusantara adalah mengenai khasiat doa-doa. Misalnya, bacaan la haula wa laa
malja a minallahi illa ilaih, yang merupakan salah satu dari wirid
istigatsah, melalui riwayat Imam Hakim dijelaskan bahwa barangsiapa membacanya,
maka akan dibebaskan dari 70 jenis bahaya, yang paling rendah adalah bahaya
kefakiran. (h.50). Adapun kalimat laa ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu
minadzalimin jika berdoa dengan selama 40 kali, maka jika ia sakit dan
mati, sama halnya mati dalam keadaan syahid. Namun apabila sembuh dari sakit,
akan diampuni semua dosa-dosanya. (h.72)
Sebagai sebuah karya, buku ini sangat layak untuk dijadikan
pegangan bahkan menjadi buku wajib bagi komunitas nahdliyin untuk lebih
memperkokoh tradisi keislaman di Nusantara. Dengan pemaparannya yang sangat
mudah dipahami, buku ini penting dijadikan sebagai pegangan bagi lembaga
pendidikan, pondok pesantren, majlis dzikir dan majlis ta’lim, karena disertai
dengan teks istigatsah lengkap dengan tawasulnya. Di sisi lain, bahkan karya
mungil ini sangat cocok dijadikan pegangan bagi kalangan akademisi dan peneliti,
karena telah memenuhi syarat ilmiah dengan rujukan dalil dan referensi akademik
yang memadai. Selamat membaca!
COMMENTS