Oleh: Wasid Mansyur* Pada kesempatan mengikuti ngaji kitab Ihya' Ulumuddin bersalah Tokoh Muda NU, Gus Ulil Abshar Abdalla di Unive...
Oleh: Wasid Mansyur*
Pada kesempatan mengikuti ngaji kitab Ihya' Ulumuddin bersalah Tokoh Muda NU, Gus Ulil Abshar Abdalla di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya [UNUSA] 23/3/2017, penulis tersentak pembahasan yang diangkat dalam ngaji kali ini; menyoal bagaimana strategi setan membujuk dan menggiring manusia agar terpelosok dalam jurang kenistaan hidup di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
Bab yang dibaca sebenarnya berkaitan dengan hati, tapi ulasan al-Ghazali cukup menarik, apalagi dikaitkan dengan konteks kekinian, kita sebagai pengguna aktif Media Sosial (medsos).
Sungguh sangat menarik, sebab ketika dibaca dan direnungi secara mendalam pembacaan al-Ghazali melampaui zamannya, ketika kitab Ihya' 'Ulumuddin ditulis. Pastinya, dengan pembacaan yang kontekstual, penuh renungan dan tidak berdasarkan hanya like and dislike.
Salah satu perkataan al-Ghazali yang menjadi bahasan adalah:'
فأشد الناس حماقة أقواهم اعتقادا بعقل نفسه
(orang yang paling bodoh adalah individu yang merasa yakin paling hebat -atau pandai- akalnya).
Ungkapan ini sebenarnya berkaitan dengan salah satu strategi setan masuk dalam hati seseorang dengan membahas sesuatu yang bukan kapasitasnya. Maksudnya, ia ikut-ikutan berpolemik masalah agama yang mendalam, tapi sebenarnya ia tidak memiliki kapasitas untuk memahaminya.
Pemahamannya terkesan dipaksakan hingga ia terpelosok pada pengertian yang jauh dari nilai Islam yang sebenarnya. Dia hanya bangga, dengan ulasan-ulasan argumentatif rasional, tanpa didukung pengetahuan mendalam dan hati nurani yang tulus untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan sebagai ibadah.
Karenanya, di era medsos, kita menyaksikan fenomena ini. Seseorang yang hanya comot sana- sini melalui "Syaikh Google", sudah berani melakukan fatwa dalam beberapa isu agama. Bahkan, yang lebih parah ikut larut menyudutkan para ulama yang beda pendapat.
Padahal, ulama tersebut kapasitas keilmuannya lebih mumpuni, sebab beliau-beliau mengaji agama cukup lama dan mendalaminya dari berbagai kiai yang lebih senior, bukan dari "Syaikh Google".
Sungguh, era medsos terkadang menjadi penyebab kita bodoh; bodoh karena kita disibukkan oleh hal-hal yang mestinya tidak perlu, mengingat keterbatasan kita memahami dalam hal-hal tertentu, yang terkadang lebih senang ramai-ramai di dunia Maya.
Kebodohan ini sama halnya menunjukkan bahwa setan telah mampu memperdaya kita semua, sebab terhitung puluhan waktu dalam setiap hari kita habiskan hanya memegang dengan ragam olah jari. Kita banyak disibukkan urusan remeh temeh, sementara kita lupa urusan yang lebih nyata manfaatnya dan konkrit kontribusinya, misalnya keterlibatan kita secara tulus dalam ruang keluarga mendampingi belajar anak atau lainnya, hidup bermasyarakat dalam kebersamaan, dan keharusan kita merawat harmoni keragaman bangsa.
....................
Meminjam istilah Ulil Abshar, dalam keterangannya, bahwa era medsos adalah era penjungkirbalikan otoritas. Mereka yang tidak ahli, ikut tampil membicarakan sesuatu yang bukan maqomnya. Akibatnya, bukan manfaat yang muncul, tapi kerusakan pergaulan; bahkan memperkeruh kondisi sosial di dunia maya yang juga dilarang oleh Islam.
Di sisi yang berbeda, mereka yang memiliki keahlian terkadang lebih banyak diam. Diam bukannya tidak bisa memberikan solusi dan membahas persoalan, tapi lebih kepada melihat perbincangan di medsos itu liar, karena sudah tidak ada lagi pembatas komunikasi, yang berdasarkan status sosial.
Semua orang bebas berbicara seenaknya, tanpa melihat siapa lawan bicaranya. Dari sini, rasa menaruh hormat hingga berbicara seenaknya kepada yang lebih tua dianggap pantas. Sungguh strategi setan telah berhasil memperdaya kita semua.
Maka kritik al-Ghazali harus menjadi langkah kita agar berhati-hati dalam dunia maya, bila kita mau menjadi manusia yang seutuhnya, yakni manusia yang jauh dari intervensi setan.
Pasalnya, al-Ghazali menambahkan; bahwa orang yang cerdas dalam kehidupan, adalah orang yang selalu merasa pendapatnya salah atau kurang tepat, sehingga menjadi thariqah (jalan) baginya agar terus bertanya kepada para pakar, khususnya kepada para ulama dalam persoalan keagamaan.
Merasa puas dengan "Syaikh Googgle" adalah penyebab utama kebodohan, sebab pelakunya belum melihat fakta-fakta nyata diluar dunia maya. Oleh sebab itu, mereka yang cerdas selalu berusaha memperhatikan kebenaran data, keakuratan referensi, sekaligus menimbang maslahah dan mafsadah, sebelum dikunyah. Alih -alih disebar luaskan ke khalayak medsos yang dikonsumsi secara bebas melalui group-group WA, pertemanan di FB dan lain-lain.
Akhirnya, apa yang dikritik al-Ghazali, bukan berarti kita harus jauh dari smart phone, tapi harus menjadi warning bagi kita agar tidak menjadi bala tentara setan. Jangan terjebak membabi buta, seakan-akan kita benar, tanpa kita memperhatikan kebersamaan kita dengan yang lain.
Salah satu kunci setan itu berhasil adalah memperdayakan manusia larut dalam hal remeh temeh hingga melupakan tugas pokoknya sebagai hamba untuk beribadah dan mendamaikan manusia. Dan kelihaian setan, terkadang juga menggunakan kesan kebenaran. Tapi, targetnya adalah merusak persaudaraan.
Jadi, mari kita rawat kesejukan bermedsos dengan kejujuran peran, tanpa rasa malu melakukan tabayyun dalam banyak hal, dan hindari share-share hoax yang merugikan banyak pihak. Hanya dengan cara ini, medsos itu akan menuai manfaat, jauh dari pecah-belah umat. Amin.
____________
*Dosen UINSA, Wakil Ketua PW LTNNU Jatim, Penulis Tasawwuf Nusantara KH. Ihsan Jampes.
COMMENTS