Foto: Kiai Idris Kamali Oleh: W Eka Wahyudi Pengurus PW LTN-NU Jawa Timur Bidang Riset dan Pengembangan Pesantren Tebuir...
![]() |
Foto: Kiai Idris Kamali |
Oleh:
W Eka Wahyudi
Pengurus PW LTN-NU Jawa Timur Bidang Riset dan Pengembangan
Pesantren Tebuireng saat
kepemimpinan Kiai Hasyim Asy’ari, menjadi centre of excellence ilmu
pengetahuan islam, baik fiqh, hadits, al-Quran, tasawuf, ilmu alat (nahwu-sharaf)
bahkan sampai kanuragan. Maka tak heran kajian keislaman di sana menjadi sangat
gegap gempita, tak kurang dari ratusan kitab di kaji di pesantren yang
berhadap-hadapan dengan pabrik gula Cukir ini.
Namun, sejalan dengan
pergantian kepemimpinan pondok pesantren (baca: pengasuh), kajian kitab klasik
ini mengalami penurunan yang sangat berarti. Hasil penelusuran Zamaksyari
Dhofier,saat melakukan penelitian di Tebuireng tahun 1971 menyatakan bahwa
kitab yang dikaji sebanyak 69 buah, itupun menurut Dhofier sudah mengalami
penurunan drastis.
Kasus ini juga diperkuat
dengan tesis Imron Arifin yang mengkaji tentang kepemimpinan Kiai di Pondok
Pesantren Tebuireng. Bahwa semenjak Tebuireng diasuh oleh Kiai Karim Hasyim dan
Kiai Baidlowi –dengan memperkenalkan sistem klasikalnya- pesantren ini
mengalami defisit pengkajian kitab klasik. Di tahun 1991 saat Arifin melakukan
penelitian, tak lebih dari 36 buah (saja) yang dikaji di pesantren ini. Fenomena
ini, menjadikan Tebuireng sulit mencetak ulama sebagaimana capaian
sebelum-sebelumnya.
Sebagai gambaran, di masa
kolonialisasi Jepang tahun 1942, pernah
menyusun data jumlah kiai dan ulama di Pulau Jawa. Ketika itu jumlahnya
mencapai 25.000-an orang, dan mereka rata-rata mempunyai riwayat akademik pernah
nyantri di Tebuireng. Hal ini menunjukkan batapa basar pengaruh
Pesantren Tebuireng dalam hal kaderisasi ulama.
Selanjutnya, fenomena
penurunan pengkajian kitab ini sudah dirasakan oleh Kiai Kholiq Hasyim (1952-1965)
saat menjadi pengasuh Tebuireng menggantikan Kiai Baidlowi (1951-1952). Kiai
Kholiq saat itu meminta Kakak iparnya, Kiai Idris Kamali untuk mengatasi permasalahan
ini.
Jalan Terjal Calon Santri Sang
Kiai
Kiai Idris lantas dengan
sigap mengurai problematika akademik itu. Langkah pertama yang diambil adalah dengan
menghidupkan kelas musyawarah yang dulu sempat menjadi idola sewaktu pesantren
dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Untuk diketahui, kelas ini –menurut hasil
penelitian Imron Arifin- tak lagi berlanjut semenjak wafatnya Kiai Hasyim pada
tahun 1947.
Kiai Idris selanjutnya
melakukan kaderisasi ulama dengan memberlakukan syarat yang sangat berat untuk
menjadi santri khususnya. Tak lebih dari 20 santri yang berhasil lolos dan digembleng
menjadi santrinya.
Adapun syarat menjadi
santri Kiai Idris, sebagaimana diuraikan oleh Dhofier antara lain: harus menjadi
santri di Tebuireng minimal 3 tahun, telah menyelesaikan pendidikan tsanawiyah,
menunjukkan prestasi yang luar biasa, membuat permohonan secara pribadi agar
diterima sebagai santri khususnya, hafal di luar kepala 200 kosa kata dasar
bahasa arab yang ditunjukkan di hadapan kiai Idris, mengucapkan sumpah untuk
tidak meninggalkan pendidikan bersama kiai idris pendidikannya dianggap telah
selesai, dan yang paling penting adalah, wajib sholat lima waktu di belakang
kiai Idris.
Syarat yang sangat berat
tersebut, ditambah lagi dengan pola pengajaran kiai idris yang super ketat. Yaitu
dengan model pembelajaran kitab pra-syarat. Misalnya, harus hafal dan paham
kitab matan jurumiyah untuk dapat mengikuti
pengkajian syarah jurumiyah, syarah asmawi, syarh
mutammimah dan syarah kafrawi.
Ketika
ingin mengaji kitab Ibnu Aqil, maka harus hafal Nadzam al-fiyyah Ibnu
Malik terlebih dahulu.
Jika ingin mengkaji
kitab shahih Bukhari atau shahih muslim, maka santri harus hafal nadzam
Baiquniyah sebagai ilmu hadits dasarnya, sekaligus harus hafal kitab
usul fiqh yakni al-Waraqaat. Hal itu berguna untuk memahami kandungan
hukum yang termuat dalam teks-teks hadits shahihain tersebut.
Hafalan-hafalan di
atas tak hanya sebagai persyaratan formal, tapi benar-benar di evaluasi dan
dinilai sendiri oleh Kiai Idris. Selanjutnya, setelah terpenuhi syarat
akademik, Kiai Idris memberlakukan syarat ruhani, yakni wajib istiqomah mengikuti
pendidikan bersama Kiai Idris.
Setelah mengikuti
model pendidikan yang diterapkan oleh Kiai Idris, para santri dituntut untuk
mempraktekkannya melalui halaqah, dengan mengajar santri-santri lain. Strategi ini
memperlihatkan bahwa Kiai idris memang benar-benar ingin mencetak seorang pengajar
keilmuan islam, seorang ulama yang professional. Melalui pola kaderisasi ulama
yang super ketat dan berat.
Diantara santri kiai Idris
yang saat ini menjadi ulama berpengaruh antara lain; Prof. Ali Musthafa Ya’qub
(Jakarta), Prof. Tolchah Hasan (Malang), KH. Zubaidi Muslih (Jombang), KH.
Abdurrasyid Maksum (Jakarta), Prof. Dr. Jamaluddin Miri (Surabaya), KH Ma’ruf
Amin (Rois Amm PBNU), KH. Ismail Makmun (Tegal), KH. Ishaq Latif (Tebuireng),
KH. Syuhada Syarif (Jember), KH Mustain Syafi’i, KH. Said Aqil Siraj (berguru
saat Kiai Idris bermukim di Makkah), ulama sepuh Jawa Barat, KH Abdul Chayyie
Naim dan lain sebagainya.
Melalui kealiman dan
ketekunan Kiai Idris, yang seluruh hidupnya diabdikan untuk belajar dan
mengajar di Tebuireng, maka sepeninggalannya ke Mekkah dan menetap di Cirebon
yang pada akhirnya wafat di sana, banyak nada pesimis yang menyatakan bahwa
sulit untuk menemukan kiai yang punya taraf keilmuan sepadan dengannya.
COMMENTS