Oleh: Ayung Notonegoro* Pilkada Jawa Timur kali ini, mempertemukan dua kader terbaik Nahdlatul Ulama (NU), yakni Saifullah Yusuf atau...
Oleh: Ayung Notonegoro*
Pilkada Jawa Timur kali ini, mempertemukan dua kader terbaik Nahdlatul Ulama (NU), yakni Saifullah Yusuf atau akrab dipanggil Gus Ipul dengan Khofifah Indar Parawansa. Otomatis, barisan pendukung keduanya juga kebanyakan berlatar belakang NU juga. Dimana kedua barisan pendukung tersebut, saling beradu argumen untuk membela calon yang diusungnya. Karena kedua pengusung memiliki background yang sama, maka pertarungannya pun tak jarang menggunakan jurus yang sama.
Salah satu jurus yang sama tersebut adalah dengan menggunakan syair. Baik berbahasa Arab maupun yang berbahasa Jawa. Kebanyakan berisi pujian dan ajakan untuk memilih calonnya. Penggelan-penggelan syair tersebut, bertebaran di media sosial.
أليق إمام يقود معنا * فليتخذ سيفا وبنت كرنا
Imam paling pas memimpin bersama kita, ambillah Gus Ipul dan Cucu Bung Karno
Demikian penggalan syair dari pendukung Gus Ipul - Puti Guntur Soekarno Putra. Sedangkan bagi pendukung Khofifah - Emil Dardak juga tak mau kalah.
خَفيفَةُُ كالشٌَمْسِ هُمْ كَواكِبُ # إذْ طَلعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنٌَ كَوْكَبُ
Khofifah bagaikan matahari, sementara mereka bagaikan bintang-bintang. Bila matahari terbit, maka tidak satu bintang pun tampak.
Sebenarnya, kegemaran warga NU menciptakan syair-syair politik demikian bukanlah hal baru. Sebagaimana ditulis oleh MC Ricklefs dalam "Mengislamkan Jawa" merekam tradisi tersebut sejak Pemilu 1955 saat NU masih menjadi partai politik.
Allahumma sholli wa sallim alaa
Sayyidina wa maulana Muhammadin
Tanggal 13 Sapar tahun ngajeng
Kamis legi aja lali nyoblos jagad-gad.
Demikian penggalan syair berbahasa campuran antara Arab dan Jawa tersebut. Berisi sebuah ajakan untuk mencoblos Partai NU yang berlambang bola dunia (jagad) pada pemilu pertama kalinya tersebut.
Di masa-masa itu, juga banyak versi syair-syair politik lain yang bernada sama. Seperti halnya yang dianggit oleh Syuriah PCNU Banyuwangi KH. Shonhaji pada masa-masa pemilu tersebut. Syair yang ditulis dalam bahasa Jawa dan ditulis dalam huruf pegon itu berbunyi demikian:
Pilihan umum wes diwiwiti
kaum muslimin kang ati-ati
uga muslimat pada miliyo
marang daftaran ojo tan ora
lamuno nyoblos golongan dewe
ono ing kamar sopo kancane
lamun wes metu menengo wae
lamuno ngomong akeh fitnahe
arape nyoblos teko syetana
gudho dek ati milih liyane
kalah lan menang opo jare Tuhan
jalaran kitha nuruti peraturan
lamuno kalah jok na meksani
asal wes nyoblos ana ganjaran
Sholli was sallim sebagai nabi kitha
Nabi Muhammad itu yang mulia
Adapula sebuah buku syair politik berjudul "Syair Perjuangan Pemilihan Umum lan Isyarah Simbol Nahdlatul Ulama" yang diterbitkan oleh Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Wonokromo Tengah, Surabaya pada 8 Januari 1955. Buku yang dibuat dengan tulisan tangan lalu dicopy tersebut, ditulis dengan Aksara Pegon dan menggunakan Bahasa Jawa.
Syair yang dianggit oleh seseorang yang mengaku bernama Muhammad Imam itu terdiri dari 80 bait syair. Diselesaikannya pada 20 Desember 1954. Sebagaimana judulnya, isi syairnya pun kental pesan-pesan politis yang diramu dengan doktrin-doktrin keagamaan.
Dulurku Islam pada sediya
Kang wajib milih enom lan tua
Lanang lan wadon kang gati'ake
Ganjaran gedi marang awane
Sing sopo wonge kang nyepeleake
Dusane gedi marang pangerane
Lan mugi Allah paring pituduh
Maring wong nyoblos gambare NU
Tradisi kampanye politik yang tetap dipertahankan dalam kultur NU setelah lebih dari setengah abad ini, penulis kira sebagai sesuatu yang baik. Di tengah kecenderungan kampanye politik hitam dan SARA yang menguat, kampanye dengan beradu kreativitas demikian, seakan menjadi oase. Satu sisi hal tersebut mempertahankan tradisi, di sisi yang lain dapat merangsang kampanye politik yang menyenangkan. Bukankah lebih baik mendendangkan syair ketimbang menyebut-nyebut nama Tuhan dengan penuh amarah dan kegeraman?
Di tengah generasi millenial seperti saat ini, mungkin tinggal mengemasnya menjadi lebih atraktif. Selain berupa meme sebagaimana banyak tersebar dari satu grup whatsapp ke grup whatsapp lainnya, mungkin bisa juga diaransemen lebih kekinian. Mungkin Via Vallen atau Nella Kharisma, misalnya, kembali dibooking untuk menyenandungkannya.
_____________________
*Ayung Notonegoro, PCNU Banyuwangi, Pegiat literasi Komunitas Pegon
COMMENTS