Oleh: Wasid Mansyur* Di tengah maraknya pihak-pihak yang menyerang NU, khususnya melalui Medsos di era digital dan smartphone, penulis ...
Oleh: Wasid Mansyur*
Di tengah maraknya pihak-pihak yang menyerang NU, khususnya melalui Medsos di era digital dan smartphone, penulis sering menemukan individu yang mengatakan: "Tidak perlu NU-NUan, sing penting kita sholat dan membaca al-Quran". Biasanya, mereka yang mengatakan ini adalah pihak yang selalu taklid buta dengan kabar-kabar kebencian kepada NU atau pihak yang tidak suka dengan NU; tepatnya mereka yang sreg (cocok di hati) mengikuti ideologi transnasional dengan tanda-tandanya tidak suka tradisi NU dan NKRI.
Pernyataan di atas sekilas tidak bermasalah, tapi bila dipikirkan dengan jernih dan kritis perkataan ini problematik, bahkan menyesatkan umat dan menggiring pada logika kebencian. Ada kesan bahwa ber-NU tidak ada kaitannya dengan sholat dan membaca al-Qur'an, tanpa melihat NU secara utuh bahwa NU adalah organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan (ijtimaiyyah diniyah).
Karenanya, bertepatan dengan momentum Harlah 92, NU menjadi penting untuk ditegaskan kembali bahwa kita memilih NU sebagai organisasi bukan tanpa alasan. Pasalnya, NU didirikan dengan semangat kebangkitan ulama; kebangkitan para kiai-kiai sepuh untuk terus tegas menancapkan visi keislaman ala Ahlus Sunnah wa al-Jamaah (baca: al-Nadhliyah) di satu sisi dan kecintaan pada bangsa (hubbul wathan) di sisi yang berbeda.
Dengan begitu, maka kita mengikuti NU tidak lain bertujuan untuk mencari keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Pemahaman ini bisa dipahami dengan logika berpikir sebagai berikut ;
Pertama, dalam konteks sebagai organisasi keagamaan, NU cukup jelas memiliki pandangan keagamaan ala Aswaja al-Nahdliyah dengan memperhatikan betul sanad keilmuannya sebagai pijakan dalam setiap pengetahuan dan pengamalan.
Terlibatnya, Kiai-kiai sepuh dan pengasuh pesantren di Jawa dan sekitarnya dalam mendirikan NU memastikan sanad keilmuan beliau-beliau satu; satu karena mengerucut pada poros paham Aswaja. Misalnya, poros dari Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, selaku pendiri NU hampir dipastikan bersambung sanad keilmuannya dengan ulama-ulama lain di Nusantara, baik sebagai Guru, kita sebagai murid. Bahkan persambungan sanad ilmu itu sampai pada para ulama besar di Hijaz/Arab Saudi, imam madzhad hingga sambung dengan puncak penerima ajaran Islam, yakni Nabi Muhammad Saw.
Maka, dengan mengikuti NU, kita berharap bisa selamat, sebab praktik keagamaan yang kita lakukan, misalnya dalam sholat, puasa, zakat dan lain-lain, memiliki sandarannya yang kuat dengan para masyayikh dan sesepuh para kiai pesantren plus NU dengan setia berpijak pada semangat pembumian nilai Aswaja al-Nahdliyah. Beliau-beliau yang terlibat dalam pendirian dan membesarkan NU adalah para kiai yang integritas keilmuannya dipertanggungjawabkan, baik secara metodologis maupun teladan pengamalan Islam dalam keseharian. Konteks ini pula, bisa lihat kembali, bagaimana sejarah awal komite Hijaz terbentuk untuk mempertahankan paham Aswaja, akibat rezim Wahabi Saudi yang keras menolak tradisi bermadhab dan memberangus praktik-praktik lain yang dipandang bid'ah dan syirik.
Itu artinya, memandang dan menyatakan "ikut NU itu tidak penting", sama halnya ia mengabaikan pentingnya sanad ilmu dan amal dalam beragama. Belajar Islam, apalagi mengamalkannya tidak bisa sembarangan, apalagi hanya bersandar -dan terus merasa benar- pada terjemahan atau pada ustadz-ustadz yang integritas keilmuannya masih dipertanyakan, baik kedalaman ilmu atau kesungguhan mengamalkan dengan hanya bekal memahami bahasa Arab, dan kurang menguasai dengan mendalam perangkat-perangkat ilmu pendukung.
Kedua, Melihat konteks NU sebagai organisasi sosial. Keterlibatan dalam ruang sosial mengantarkan NU harus memiliki kepekaan untuk terlibat aktif dalam menyikapi isu-isu kemasyakatan dan kebangsaan. Keterlibatan ini bisa dilihat dari sejarah embrio awal pendirian NU. Misalnya, melihat dari konteks Nahdhatuttujjar, sebagai gerakan kebangkitan para saudagar. Bagi para kiai, komunitas santri harus menguasai perekonomian agar diberi kemudahan dalam berjuang dalam bingkai semangat Dakwah Aswaja. Kebangkitan para Saudagar adalah simbol kebangkitan ekonomi dan kesadaran santri mengikuti kontestasi menguasai medan perekonomian.
Di sisi yang berbeda, para pendiri dan penerus NU mengajarkan kita untuk mencintai bangsa, dengan semangat kemasyarakatan yang berpijak pada persaudaraan sesama Islam (ukhuwah islamiyah), persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah), dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah). Hal ini bisa dilihat, bagaimana keterlibatan NU merawat kondisi sosial kebangsaan dari mulai era pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan.
Berbagai cara ditaruhkan, mulai harta hingga nyawa demi untuk NKRI, misalnya sejarah resolusi jihad yang menyatukan para santri untuk berjihad di kota Surabaya pada 22 Oktober 1945 dengan tumpah darah berceceran dan jiwa melayang sebagai syahid petanda meletusnya perang 10 Nopember 1945.
Dengan begitu, NU berharap kedamaian NKRI harus terus dijaga. Pastinya, perlu terus merawat harmoni dengan sesama anak bangsa, tanpa melupakan semangat dakwah. Dari para kiai sepuh, kita belajar untuk tidak merasa benar dan merasa paling berjasa hingga kita mudah menyalahkan serta merasa tidak berdosa mencibir orang lain. Semangat akhlak karimah harus menjadi praktik kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sebab dengan ini kualitas Islam kita terjaga.
Karenanya, mengikuti NU berarti berharap dalam ruang sosial kebangsaan kita selamat; selamat dari kebiasaan mencaci maki orang lain dan selamat untuk dari upaya pecah-belah masyarakat, yang berujung kebangsaan ini terpecah-belah.
Itu artinya, mereka yang mengatakan mengikuti NU tidak penting, berarti mereka telah memilih jalan pintas menuju perpecahan. Jalan pintas yang dipandang sebagai kebenaran, yang lain salah. Jalan pintas, yang memandang praktik politik yang dilakukan selama ini berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 adalah politik toghut, yang layak diperangi. Lagi-lagi berdalih kembali para penerapan syariat Islam atau khilafah Islamiyyah. Jalan pintas yang dianut mengabaikan perlunya menjaga harmoni antar sesama anak bangsa dalam kehidupan berbangsa. Semua cara pandang orang lain dipaksa agar mengikuti cara pandangnya, jika tidak maka dituduh kafir, murtad dan layak neraka.
Padahal, jalan harmoni dan kerahmatan adalah prinsip puncak ajaran Islam (wama arsalnaka illa rahmatan li al-alamin). Karenanya, para pendiri NU dan penerusnya menerima fikrah dan amal kebangsaan selalu setia berpijak pada prinsip adanya harmoni dalam keragaman umat (wujud al-shulh fi taaddud al-ummah).
Dengan begitu kita selamat dalam kerukunan: selamat bisa mengerjakan ibadah dengan tenang, tanpa rasa takut teror dan ngeri adanya bom jatuh sewaktu-waktu sebagaimana terjadi di seluruh kawasan negara-negara Timur Tengah.
Oleh sebab itu, memilih NU sejatinya berharap keselamatan dengan menapaki jalan yang dititahkan dan diteladankan oleh para pendirinya sebagai tokoh pergerakan Muslim, sekaligus pecinta NKRI. Dengan mengikuti teladan para kiai, semoga kita juga didekatkan dengan kanjeng Nabi Muhammad Saw. hingga kelak selamat di alam keabadian sebab Beliau-beliau adalah memiliki kecintaan hakiki dengan nabinya, ilman wa 'amalan. (Allah ijhal lana hubbaka wa hubba man yuqarribuna ilayka). Amin. Selamat dan Sukses Harlah Ke-92 NU.
Malang, 31/1/2018 M _31/1/1926 H.
_______________________
*(Dosen Fahum UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil LTN NU Jawa Timur)
COMMENTS