Oleh: Uzlifatul Biladina* Dahulu, para pemerhati Islam banyak melahirkan literatur-literatur keislaman. Berbagai problematika keagama...
Oleh: Uzlifatul Biladina*
Dahulu, para pemerhati Islam banyak melahirkan literatur-literatur keislaman. Berbagai problematika keagamaan sampai problematika sosial-kultural diusahakan agar menemukan titik solusinya. Tidak usah muluk-muluk menghadirkan tokoh yang menjadi perhatian dunia tentang karya-karya tersebut.
Salah satu dari mereka ada Ibnu Katsir dan Imam Al-Ghazali yang telah berusaha mencurahkan perhatiannya terhadap dunia literasi keislaman. Karya-karya tentang keislaman mereka telah disaksikan sejarah sampai masa kini. Dan untuk menilik faktanya, masyarakat dapat langsung membaca karya-karya monumental itu di berbagai tempat.
Literasi dan keislaman memang beradu di berbagai sejarah Islam sejak terdahulu, terutama saat Islam menemui titik kejayaannya. Ulama-ulama pun sering ditemui menulis dan membaca untuk menemukan hakikat pencerahan Islam kepada pembaca-pembacanya yang–diharapkan mampu untuk memahami apa yang sudah ditulis oleh mereka, sebab membaca dan menulis akan mencerahkan peradaban Islam. Islam adalah satu-satunya agama yang paling menegaskan budaya membaca dan menulis. Hal demikian tertera di ayat pertama (al-‘alaq) yang diturunkan oleh Jibril kepada Muhammad utusan alam, bahwa perintah membaca adalah satu hal yang harus dihayati.
Literasi dan Pesantren
Banyak hal yang belum tuntas dari urusan pesantren, sebab pesantren–dengan sendirinya–sudah terbiasa mengurus dan menjadi urusan masyarakat muslim yang mencurahkan perhatian kepada dunia pesantren. Kerak sejarah pun berkata demikian. Wajah pesantren seakan tempat segala macam urusan, mulai dari urusan menata hati, menata diri, menata yang mulai retak, sudah retak, atau bahkan yang telah pecah dari diri dan hati, hingga nilai-nilai spiritualitas bergejolak dalam dada, meminta dipenuhi keberadaannya.
Namun, berbicara tentang pesantren bukan hanya selalu berbicara tentang agama dan spiritualitas. Ada banyak cerita di pesantren. Pesantren juga memberikan ruang ‘kebebasan’ untuk menampilkan berbagai keterampilan yang dimiliki santri demi kemajuan suatu peradaban Islam. Budaya literasi juga digemburkan dalam berbagai bentuk. Budaya literasi menjadi hal yang sering dihayati oleh masyarakat pesantren.
Membenturkan budaya literasi dan pesantren bukan menjadi hal yang baru bagi percaturan kultural kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. Di sana terdapat suatu kebiasaan yang muncul dengan subur sejak dahulu, sehingga salah satu kekayaan lektur dan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Hal demikian mengidentifikasikan bahwa pesantren memiliki peran penting dalam masyarakat muslim di Indonesia sebagai pusat reproduksi ulama.
Sebagai pusat reproduksi ulama, pesantren juga memosisikan dirinya sebagai sarang dunia sastra dan karya tulis ilmiah. Berbagai tulisan, mulai dari puisi, cerpen, kolom, esai, dan berbagai macam tulisan lainnya juga muncul dari pesantren. Di tengah kuatnya desakan modernisasi pendidikan, pesantren juga menunjukkan kemampuannya dalam mengejar pertahanan dan bahkan perkembangan, namun masih tetap tidak meninggalkan nilai-nilai tradisionalisme.
Rais Aam, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (NU), K. H. Ma’ruf Amin menyerukan gerakan literasi pesantren sebagai upaya mengimbangi radikalisme yang marak dikampanyekan melalui berbagai media. Cicit dari Syekh Nawawi Al-Bantani itu mengingatkan para kiai dan santri untuk memanfaatkan teknologi sosial media untuk kebebasan pers sebagai momentum buat mendakwahkan Islam.
Literasi di dunia pesantren pada dasarnya sudah terbangun dalam tradisi kajian yang diajarkan sejak berabad lampau. Para ulama Indonesia, seperti Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib Sambas, hingga ulama kekinian banyak memiliki karya yang menjadi bahan kajian di pesantren. Artinya, ditelusuri dari berbagai cerita terdahulu, budaya literasi memang tak lepas dari dunia santri. Eksistensinya tidak akan lekang dan kering dari dunia literasi, sebab literasi bukan hanya urusan menulis, tapi juga membaca. Menulis dan membaca sudah digemborkan dan didemonstrasikan oleh para ilmuwan Islam terdahulu, bahkan dari zaman Nabi yang–menampilkan budaya surat-menyurat dalam rangka memperluas dakwah Islam.
Di pesantren, proses pendakwahan dikembangkan dalam dua aspek, yaitu aspek lisan dan aspek tulisan. Sebagian banyak pesantren di Indonesia menampilkan aspek kedua. Berbagai buletin, majalah, dan jurnal-jurnal seputar problematika keagamaan-sosial digalakkan, sehingga kemudian lahirlah suatu pernyataan bahwa peran pesantren tanpa memiliki satu budaya literasi adalah suatu kekosongan di panggung kehidupan Islam.
Terlepas sebagai instansi yang tidak boleh tidak harus menemukan ‘isi’ yang penuh bagi panggung kehidupan Islam, pesantren harus menjadi garda terdepan yang akan membuka pintu peradaban Islam jaya. Berbagai upaya harus dibenturkan pada urusan perkembangan dan kemajuan peradaban Islam. Budaya literasi adalah kuncinya.
Sebab, pesantren dan literasi merupakan dua hal yang ada dalam satu tarikan napas Islam. Tidak berlebihan kiranya saya memberikan suatu asumsi. Dengan tanpa bermaksud mengecilkan peran pendidikan non-pesantren, tak diragukan lagi bahwa pesantren-pesantren di Indonesia, khususnya di Madura telah menyediakan lingkungan gembur yang memungkinkan literasi tumbuh subur. Wallaahu a’lam bisshawab
____________________
* Aktifis literasi di Sumenep. Tulisan ini dinobatkan sebagai juara I dalam lomba Esai PP. Annuqayah tahun 2017 M.
COMMENTS