Oleh: Wasid Mansyur Menyebut nama KH. Bisri Musthofa Rembang Jawa Tengah, selanjutnya disebut Mbah Kiai Bisri, akan teringat pada so...
Oleh: Wasid Mansyur
Menyebut nama KH. Bisri Musthofa Rembang Jawa Tengah, selanjutnya disebut Mbah Kiai Bisri, akan teringat pada sosok kiai pesantren yang multi-talenta. Pasalnya, dalam dirinya mengambarkan sosok yang serba bisa dengan aktivitas yang sangat padat, baik aktivitas hariannya bersama santri juga bersama masyarakat, termasuk aktivitas ber-organisasi untuk turut serta mendakwahkan Islam ala Aswaja bersama NU.
Aktivitasnya, sebagai pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Tholibin Rembang, aktivis pergerakan dan politisi, serta beliau juga aktif sering menyapa masyarakat secara luas dengan menjadi juru dakwah (baca: Muballigh). Kedalamannya dalam menguasai ilmu-ilmu keislaman, menjadi sebab masyarakat tertarik untuk mendengarkan setiap pengajiannya, di samping kemampuan orasinya yang cukup baik.
Lebih dari itu, sisi lain Mbah Kiai Bisri menarik untuk diteladani adalah kemampuannya bergulat secara intens dalam dunia literasi, tepatnya tradisi kepenulisan naskah. Penuturan putranya KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), soal tradisi literasi ayahnya, menyebutkan bahwa Mbah Kiai Bisri menyediakan waktu secara istiqamah, khususnya dalam menuangkan gagasannya untuk menulis karya.
Karenanya, berbagai karya telah ditorehkan dalam berbagai disiplin keilmuan, mulai ilmu tafsir dan tafsir, ilmu hadith dan hadith, ilmu Nahwu, ilmu sharaf, fikih, Akhlak dan lain-lain. Pastinya, Magnum opus yang cukup dikenal dari karya Mbah Kiai Bisri adalah tafsir al-Ibriz; sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 juz dengan menggunakan tulisan Arab pegon Jawa.
Pada konteks tulisan ini, dalam rangka melanjutkan tulisan sebelumnya yang mengulas soal kitab Qasidah Burdah dalam tradisi Mbah Kiai Wahab Hasbullah Jombang. Jadi, tulisan ini fokus tentang ekspresi cinta Mbah Kiai Bisri serta pembacaannya atas Kitab Qasidah Burdah, yang disuguhkan secara lengkap dalam karyanya Tiryaq al-Aghyar fi Tarjamah Burdah al-Muhktar, yang dicetak pada tahun 1975 oleh Penerbit Menara Kudus.
Potret Cinta Sang Nabi
Sebagaimana kitab aslinya, kitab Tiryaq al-Aghyar fi Tarjamah Burdah al-Muhktar disuguhkan dalam rangka agar pembacanya mencintai Nabi Muhammad SAW. Ekspresi cinta rasul, harus secara holistik, baik kerinduan batin maupun kesungguhan untuk meneladani prilaku-prilaku beliau dalam kehidupan nyata, yang semangat hidup dan ajarannya selalu dalam semangat mempermudah, bukan untuk mempersulit umat manusia.
Karenanya, Mbah Kiai Bisri mengatakan alasan penulisan kitab ini sebagai berikut:
“Pitung wulan ingkang kepungkur kulo sampun nerjemahaken Qasidah Burdah mawi boso Indonesia lan serat latin. Terjemah kesebut sampun kulo serahaken dumateng percetakan menara-perlu ke-cetak. Sareng konco-konco sami kepireng lajeng sami nganjuraken dating kulo supados ugi damel ingkang seratan peqon serta mawi boso jawi”.
(Tujuh bulan yang lalu, saya sudah menterjemahkan kita Qasidah Burdah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Terjemah tersebut sudah saya serahkan ke percetakan Menara agar dicetak. Oleh teman-teman saya dianjurkan agar membuat lagi dengan format tulisan pegon bahasa Jawa)
Kalimat pengantar Mbah Kiai Bisri di atas menunjukkan alasan penerjemahan Qasidah Burdah dalam tulisan pegon bahasa Jawa; dimaksudkan agar masyarakat lebih mudah membaca dan memahami kandungan Qasidah Burdah, terkhusus mereka yang tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.
Dari sini, kita bisa belajar bahwa menjadi penulis harus paham betul psikologi pembacanya agar pesan dan isi tulisan benar-benar dipahami sebab banyak tulisan bagus, tapi penggunaan bahasa yang rumit dan sulit dipahami menjadi sebab pesannya tidak sampai, alih-alih memberikan “pencerahan”, untuk itu bahasa penyampaian harus sesuai kadar penalaran pembaca (khatibu al-nas ‘ala qadri ‘uqulihim).
Ada dua hal yang menarik dari terjemahan ini, yakni: Pertama; Mbah Kiai Bisri nampaknya tidak sekedar menterjemahkan bait-per-bait Qasidah Burdah yang berjumlah 160, tapi beliau juga mengulas beberapa bait dengan jelas agar pembaca semakin mudah memahami maksud yang ada dalam bait-bait tersebut. Artinya, kedalaman ilmu yang dimiliki beliau, mendorongnya untuk melihat Qasidah Burdah dari berbagai perspektif agar pembaca terjemahannya memiliki pemahaman mendalam dan lebih luas, dari pada teks bait aslinya yang singkat.
Gaya seperti ini, sebenarnya banyak dilakukan oleh para ulama Nusantara lainnya melalui karya-karya beliau. Banyak kitab yang menggunakan logika kebahasaan yang sangat rumit dipahami oleh orang awam, tapi ditangan para ulama Nusantara kitab tersebut menjadi mudah. Apalagi ulasannya, banyak sekali menggunakan bahasa lokal dengan kesadaran bahwa pembacanya atau audien dakwahnya adalah warga lokal (Non-Arab). Ini misalnya, ketika Mbah Kiai Bisri menerjemahkan dua bait Qasidah Burdah Nomer 120-121, yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW. sebagai individu penuh teladan sehingga layak menjadi tujuan atau wasilah umatnya untuk kebaikan, beliau mengungkapkan, mengapa hal itu terjadi:
Rasulullah meniko pancen saistune tiyang ingkang pemurah, boten wonten tiyang ingkang nyuwun kanjeng rosul nyuwun menopo-menopo kejawi tentu dipun cekapi hajat-ipun. Tiyang ingkang purun mikir, piyambaipun mesti ngertos bilih angrupaken ayat ingkang ageng. Ategese tondo bukti ingkang ageng. Bilih menopo ingkang dipun bekto dining Raulullah Meniko leres.
(Rasulullah adalah orang yang penuh pemurah. Tidak ada orang yang meminta kepada-nya (bertawasul), kecuali semua permintaan dicukupi. Orang yang mau berpikir, pasti tahu bahwa beliau adalah ayat yang besar, bukti kebesaran. Dan apa yang dibawahnya dipastikan kebenarannya)
Penjelasan Mbah Bisri ini memberikan kepastian dengan penuh keyakinan bahwa keagungan Nabi Muhammad meniscayakan bahwa beliau adalah manusia penuh keteladanan. Dengannya, kita semua sebagai umatnya berharap syafaatnya, ketika semua umat mengharapkan syafaat kepada para nabi lainya.
Dengan begitu, maka Mbah Bisri mengajak.
Kedua, agar semua Muslim menjadikan Nabi Muhammad sebagai wasilah dalam menyikapi berbagai hal. Anjuran ini cukup jelas, bahwa bait-per-bait dari Qasidah Burdah yang memuat bacaan sholawat dan pujian kepada Nabi Muhammad. Karenanya, beberapa bait-bait tertentu memiliki “aurah” –jika dilihat dari substansi maknanya—hingga layak dijadikan ungkapan wasilah mendekatkan diri kepada Allah. Sebut saja misalnya, tiga Qasidah Burdah di bawah ini (Nomer 17-19):
مَنْ لِيْ بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غَوَايَتِهَا # كَمَا يُرَدُّ جِمَاحُ اْلخَيْلِ بِاللُّجُمِ
فَلاَ تَرُمْ بِاْلمَعَاصِي كَسْرَ شَهْوَتِهَا # إِنَّ الطَّعَامَ يُقَوِّى شَهْوَةَ النَّهِمِ
وَالنَّفْسُ كَالْطِفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ## حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنُ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ
Setelah menerjemahkan tiga Qasidah Burdah di atas (lihat, hal: 16-19), Mbah Bisri Memberikan Komentar:
Faidatun: sinten ingkang bade berantas perkawes mungkar, saderengipun piyambakipun maos tiga bait meniko wangsal wangsul. Insya-Allah bi-idznilah dipun paring saget maqbul.
Faidah: barang siapa yang mau memberantas kemungkaran. Sebaiknya memperbanyak membaca tiga bait di atas ber-ulang-ulang. Inya-Allah dengan ijin-Nya diberi terima (diberi kemudahan).
Maka penjelasan Mbah Bisri menunjukkan bahwa menghadirkan kebaikan Nabi Muhammad dalam setiap permohonan doa kita, menjadi jalan kemudahan cepat dikabulkan oleh Allah. Di samping itu, penjelasan di atas mengajarkan; bahwa memberantas kemungkaran tidak cukup hanya menggunakan kekuatan fisik (apalagi dengan kekerasan). Perlu pendekatan batin agar kiranya mereka yang larut dalam kemungkaran dan kemaksiatan diberi petunjuk oleh Allah SWT. Pendekatan fisik lebih banyak melahirkan reaksi yang tidak baik, untuk tidak melakukan penolakan sehingga pendekatan dengan mengarus-utamakan pada “tatak-ramah” dan doa harus menjadi jalan alternatif agar pelakunya menerima atau bertaubat tanpa merasa dipaksa.
Itulah gambaran bagaimana para pecinta Nabi, harus menjadikan Nabi sebagai teladan dalam banyak hal. Cinta yang tulus, dipastikan dibuktikan dengan banyak menyebut nama yang dicintai (Nabi al-Mahbub), sekaligus selalu berusaha agar sang pecinta itu harus meneladani perilaku-perilaku Nabi; kapanpun dan dimanapun berada. Cinta harus hadir dalam perbuatan, tidak hanya dalam ungkapan dan hati. Karenanya, diakhir kitab ini Mbah Bisri mengajak umat Islam agar memperbanyak membaca Qasidah Burdah, khususnya ketika dalam kondisi banyak bencana, “paceklik” (kelaparan), penyakit dan lain-lain.
Jadi, dari Mbah Bisri melalui karyanya, Tiryaq al-Aghyar fi Tarjamah Burdah al-Muhktar, marilah kita belajar dengan sungguh-sungguh untuk menjadi pecinta Nabi Muhammad dengan sebenar-benarnya, bukan sekedar artifisial sehingga kitab ini layaknya menjadi jalan alternatif penawar kerinduan bagi para pecintanya sesuai dengan nama kitabnya. Semoga kita kelak mendapat Syafa'atnya. Amin ya rabbal ‘alamin. Sekilas, Mbah Kiai Bisri Rembang Lahir di desa Pesawahan Rembang Jawa Tengah tahun 1915-wafat tanggal 24 Februari 1977. Insya-Allah [tulisan selanjutnya, “Menjadi Muslim Sejati; Belajar dari Mbah Kiai As’ad Asembagus”]
___________________
COMMENTS