Oleh: Ahmad Karomi Berbicara terkait Kitab, biasanya identik dengan kuning, kuno-turath dan sering menjadi bahan cemoohan oleh sekelomp...
Oleh: Ahmad Karomi
Berbicara terkait Kitab, biasanya identik dengan kuning, kuno-turath dan sering menjadi bahan cemoohan oleh sekelompok sarjana yang merasa sudah "modern".
Kitab kuning yang didominasi konten berat-ringan memang terkadang memiliki aura "menyeramkan", meskipun juga ada yang "menyenangkan" bagi beberapa person. Bagaimana bisa kitab-kitab tersebut diingat dengan baik (tumancep) oleh santri?
Hemat saya, kitab kuning melekat pada jiwa santri (meskipun belum kaffah menjalankan pesan kitab), salah satu penyebabnya dikarenakan pengajaran isi kitab itu dengan cara mendendangkan lagu atau di nadzom kan, didendangkan dengan bahar yang termaktub dalam ilmu 'arudl wal qawafi. Bahkan diterjemahkan dalam bahasa masyarakat biqadri uqulihim.
Pernah, ketika masih di Ponpes Ploso Kediri tahun 1996, saya ditugasi baca asahan (makna) sebuah syiiran dalam alfiyah:
دعوت لما نابني مسورا# فلبي فلبي يدي مسوري.
Uniknya, ,مسورا dalam syiiran ini oleh ustadz Najibuddarain Trenggalek dimaknai Dedi Miswar. Beliau tahu akan hobi saya dengan grup musik Mr.Big yang digawangi Paul Gilbert, Billy Sheehan, Eric Martin. Nah, saya pun memaknai seperti itu pula dengan alunan musik racikan Ustadz Najib. Ternyata metode "beginian" sangat cespleng dan mudah ingat. Bahwa stimulus berupa dendang musik dan makna kekinian (sesuai konteks) sanggup menancap dalam ingatan.
Kitab ro'sun-sirah, roqobatun-gulu, udzunun-kuping, sinnun-untu, yang diperkenalkan ibu saya di usia SD kelas 4 masih tersimpan dengan baik dalam ingatan. Lantaran kitab itu berisi kamus jawi yang kerap kita jumpai, dengar kosa-katanya di bahasa keseharian dan dibalut syiiran.
Gundul gundul pacul, cublek-cublek suwung, tembang tempo doeloe, tembang jawa yang sarat filosofi kehidupan. Atau lir ilir yang diadopsi dari pelajaran tasawuf tetap melekat, meskipun usia telah senja, dan masih banyak lagi pembelajaran dengan sentuhan dendang lagu.
Konon menurut kisah, ada Profesor yang ketika menghafalkan beberapa teks kitab, ia selingi petikan gitar. Semacam nge-Rhoma gitu. Sehingga teks yang dikenal kaku menjadi lentur, enak dipandang dan didengarkan.
Walhasil, perangkat/wasilah berupa selingan musik bisa memotret kenangan indah, apapun itu. Semisal, kisah peristiwa Nabi Muhammad hijrah yang terekam dalam "thola'al badru alaina", kisah qais yang merana karena cinta dalam " amurru aladdiyar diyar laila". Atau apabila dibalik, maka musik Jaran Goyang diganti lirik dan judulnya menjadi Ngaji Bareng. Saya pribadi mengakui akan manjurnya metode itu. Pernah saya coba menghafalkan alfiyyah ditengah cadasnya Manowar, Metallica dan Iwan Fals. Hasilnya seperti yang saya tulis di atas.
________________
Ahmad Karomi, PW LTNNU Jatim
COMMENTS