Oleh: Lien Iffah Naf'atu Fina (Dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta) Mengkaji sebuah manuskrip bukan perkara mudah. Prof Arps...
Oleh: Lien Iffah Naf'atu Fina (Dosen UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta)
Mengkaji sebuah manuskrip bukan perkara mudah. Prof Arps, Chair of Indonesian and Javanese Language and Culture di Leiden University, dalam presentasinya di depan para peserta SCMP berbagi proses penelitiannya atas sebuah naskah atau manuskrip yang memuat cerita Panji.
Cerita Panji ini sangat populer, dan telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Perpustakaan Leiden sendiri memiliki lebih dari 250 naskah cerita Panji. Naskah Panji juga bisa ditemukan di perpustakaan di Indonesia, Malaysia dan Kamboja. Bagi yang belum akrab dengan kajian filologi, pembedaan antara naskah dan teks adalah signifikan. Naskah atau manuskrip adalah barang fisik. Sedangkan teks adalah isinya. Ada berbagai varian cerita Panji yang ditulis dalam berbagai Bahasa Nusantara: Jawa-Bali, Jawa, Melayu, Bali, Sasak, Sunda, Aceh, dan Bugis.
Menariknya, meskipun berasal dari Jawa Timur, popularitas cerita Panji sampai ke Malaysia, Kamboja dan Thailand. Di Thailand misalnya, cerita Panji lebih dikenal dengan kisah Inou.
Dari ratusan naskah yang ada, Prof Arps meneliti satu naskah yang ditulis pada tahun 1750 dan menjadi milik dari “Kiay Ngabey Poespodirdjo, anak Kiay Tumenggoeng Poesponagoro Bupati Gresje” sebagaimana tertulis lugas di manuskrip.
Setting cerita Panji (Raden Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun) adalah Jawa abad ke-12/13, pada masa Kerajaan Jenggala dan Panjalu (Kediri). Tema cerita ini adalah kepahlawanan dan cinta. Karakter utama dari cerita ini adalah Panji, dua istrinya, Putri Urawan yang keturunan bangsawan dan Arseng Sekar yang berasal dari keluarga biasa, Condong (pelayan) dan Maesa Ketatang, laki-laki yang dituduh berselingkuh dengan Arseng Sekar.
Bagaimana Prof Arps menganalisis dan membangun cerita berangkat dari naskah ini? Sangat menarik. Judul kuliah Prof Arps adalah “The Sweet Talking Prince: A Panji Story at the interface of Islam, Colonialism and Buddhic Javaneseness.” Sebagai tergambar di judul, Prof Arps mencoba membangun cerita dengan menghubungkan toga variabel: Islam, kolonialisme dan tradisi Buddho.
Bagaimana ceritanya dia melakukan itu? Akan dijelaskan kemudian. Pada intinya, kedalaman analisis hanya mungkin ketika didukung oleh wawasan yang luas mengenai kajian manuskrip dan konteks pada masa lahirnya naskah.
Mari kita ikuti alur berpikir Prof Arps, bagaimana ia sampai kepada percikan ide untuk menghubungkan ketiga variabel di atas.
Pertama, Buddha (baca: Buddho). Variabel ini mewakili tradisi Jawa pra-Islam, atau Hindu-Buddha. Aspek ini diwakili oleh konten dan bentuk material naskah. Konten naskah ini sudah jelas, mewakili Jawa pra-Islam. Selanjutnya, apa yang diwakili oleh bentuk material naskah?
Naskah ini diukir di atas lontar. Untuk ukuran zaman itu, media ini telah dianggap kuno. Apalagi Gresik adalah kota pelabuhan, di mana kertas dapat didapat dengan mudah, baik impor maupun produksi lokal (deluwang, Jawa). Lontar lebih diasosiasikan dengan naskah yang berasal dari Bali atau pedesaan, bukan kalangan aristrokat. Pertanyaannya, mengapa naskah ini ditulis di media lontar bukan kertas padahal pemilik naskah ini berasal dari kalangan aristrokat? Pertanyaan ini hanya bisa dilontarkan oleh orang yang memahami sejarah manuskrip di tanah Jawi secara umum.
Kedua, kolonialisme. Aspek ini diwakili oleh konteks penulisan naskah ini. Pada tahun 1750, selain sebagai salah satu pusat agama Islam yang penting, Gresik juga menjadi lokus VOC yang kuat. Bagaimana konteks kehadiran VOC ini bisa membantu menjelaskan keberadaan naskah ini?
Ketiga, Islam. Sebenarnya tidak ada elemen Islam yang melekat dalam cerita Panji; cerita ini murni Jawa. Elemen Islam diambil Prof Arps dari latar belakang ayah pemilik naskah ini, Tumenggoeng Poesponagoro (w. 1723). Data tentang figur Bupati Gresik ini lebih banyak dan mudah ditemui dari pada data mengenai figur anaknya, salah satunya karena yang pertama banyak melakukan komunikasi dengan VOC. Poesponagoro dikenal sebagai seorang Muslim yang mengoleksi berbagai peninggalan Jawa kuno. Dengan kata lain, dia orang yang sangat mencintai budaya Jawa.
Ketiga variabel ini dihubungkan oleh Prof Arps sehingga sampai kepada hipotesa yang menarik untuk disimak. Naskah ini, menurutnya, menggambarkan sebuah kegelisahan manusia Jawa abad ke-18. Pemilihan lontar sebagai media dan cerita Panji menjelaskan bahwa pemilik naskah yang seorang Muslim ini sedang bernostalgia, melakukan klaim atas masa lalu. Keberadaan VOC yang menguat bisa jadi memunculkan kegelisahan akan nasib budaya Jawa. Prof. Arps sendiri belum mengunci kesimpulannya lebih rapat, mengingat penelitiannya masih berjalan.
Kesimpulan sementara Prof Arps bisa diperdebatkan, tetapi poin saya bukan di situ. Dari paparan Prof Arps, saya belajar bahwa untuk bisa melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang valid, berbobot dan tepat sasaran, peneliti perlu mengenal betul bidang yang dikajinya.
Wawasan ini bisa jadi diakumulasikan setelah bertahun-tahun atau bahkan berpuluh tahun. Keluasan wawasan ini akan mendorong kreativitas dalam memunculkan dan menghubungkan antar variabel. Keterampilan ini juga hanya bisa diasah dengan waktu dan kerja keras. Ia tidak akan terbentuk dalam semalam. (s@if)
COMMENTS