Oleh: Ayung Notonegoro KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur merupakan sosok yang multidimensi. Ia merupakan ulama yang mutabahir keilmuann...
Oleh: Ayung Notonegoro
KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur merupakan sosok yang multidimensi. Ia merupakan ulama yang mutabahir keilmuannya, namun ia juga politisi yang lihai bersilat lidah. Silat tingkat tinggi, begitu orang-orang menyebut gaya politik putra Jombang kelahiran 4 Agustus, 77 tahun silam ini.
Soal "silat tingkat tinggi" yang diperagakan Gus Dur, Ajip Rosidi, seorang sastrawan besar bangsa Indonesia, menulis dalam autobiografinya, "Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan". Agak nyinyir memang, tapi cukup menarik menggambar cara diplomasi maupun komunikasi politik ketua PBNU tiga periode tersebut.
Sekitar tahun 1984, pasca muktamar di Situbondo, Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU. Tentu kabar ini, cukup menghentak beberapa kalangan. Termasuk juga Ajip Rosidi yang memiliki kedekatan khusus dengan pembesar-pembesar Partai Masyumi.
Dalam keterhenyakannya tersebut, Ajip bertanya kepada Kiai Hamam, Pengasuh Pesantren Pabelan, Magelang. "Bagaimana kok para kiai NU memilih Gus Dur sebagai ketua NU, padahal dia kan lebih sekuler daripada Nurcholis [madjid, ed]."
"Pak Ajip kan membaca tulisan Gus Dur yang dimuat di Tempo?"
"Di Kompas dan majalah lainnya juga," jawab Ajip.
"Tapi tidak membaca tulisannya dalam bahasa Arab yang beredar di kalangan kiai, kan? Isinya tidak sama dengan yang dibaca oleh Pak Ajip," tukas Kiai Hamam.
"Gus Dur itu silatnya tinggi," imbuhnya.
"Silat tinggi bagaimana?" desak Ajip penasaran.
"Ada kiai-kiai yang mempertanyakan persahabatan Gus Dur yang erat sekali dengan Jendral Benny Moerdani. Kepada para kiai itu Gus Dur menjawab bahwa Jendral Benny itu mau masuk Islam hanya tinggal membaca sahadat saja!" jelentreh Kiai Hamam.
Dengan cukup kritis, Ajip menanggapinya.
"Ya, kan semua orang juga hanya tinggal membaca sahadat saja untuk masuk Islam," katanya.
"Tetapi para kiai itu tidak berpikir seperti Pak Ajip," pungkas Kiai Hamam.
Apa yang disanksikan Ajip atas ucapan Gus Dur kepada para kiai itu ternyata hanya sebatas kesanksian yang mendasarkan pada nalar semata. Bukan pandangan kasyaf sebagaimana para kiai meyakininya.
Keyakinan Gus Dur dan para kiai lainnya akan segera masuk Islam, terungkap lebih dari tiga dasawarsa kemudian. Hal ini, sebagaimana terungkap dalam kesaksian orang dekat Benny Moerdani, Adnan Ganto, dalam biografinya, Keputusan Sulit Adnan Ganto (Penerbit Circa, 2017).
Dalam buku tersebut, Adnan bercerita pernah diajak ke makam oleh Benny. Yakni, makam orangtua Benny di Solo pada 1980an. Di makam tersebut Benny memberi wasiat penting kepada Adnan.
“Nan, saya kasih tahu kamu, ya, siapa tahu kamu lihat saya pada saat saya meninggal. Tolong kamu atur, supaya saya dimandikan secara Islam. Dikafani.”
Benny juga menambahkan: “Kalau saya dikafani secara Islam, kamu baca [surat] Yasin, kalau Tina ada, dia baca syahadat 25 kali.” Adnan pun menyampaikan hal tersebut kepada Tina yang tak lain adalah istri Benny, Agustina Cholida Soetomo Soemowardoyo.
Wasiat Benny tersebut, lantas dijalankan oleh Adnan pada saat temannya tersebut telah meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
“Saya datang ke Rumah Sakit RSPAD pukul 20.00 dan terus menunggu pak Benny sampai meninggal dan membacakan syahadat sampai hembusan nafas terakhir,” ungkap Adnan dalam biografinya itu.
Bahkan, menurut Adnan, menjelang wafat, beberapa orang yang hadir juga membacakan Surat Yasin untuk Benny. Setelah meninggalpun, ia dimandikan secara islami dan dikenakan kain kafan. Persis sebagaimana wasiat terakhirnya.
Namun, ketika datang seorang pastor, keputusan keluarga tersebut, dibatalkan. Kain kafan yang sempat melekat di jenazah Benny ditanggalkan, diganti dengan seragam militer. Benny pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan cara Katholik, sebagaimana agama yang tertera dalam biodatanya.
Melihat hal itu, istri Benny, Hartini, hanya pasrah kepada Adnan. “Adnan, ya, sudahlah. Yang penting kita sudah mandikan secara Islam.”
Terlepas dari diterima atau tidaknya keislaman Benny di sisi Allah SWT, setidaknya dari kesaksian Adnan tersebut, kita patut untuk meyakini kebenaran apa yang diungkapkan Gus Dur sekian tahun lamanya itu. Memang, suatu kebenaran selalu membutuhkan waktu untuk menampak secara nyata. Seperti halnya keterungkapan keagamaan Benny tersebut.
"Biarkan sejarah yang akan membuktikannya," begitu Gus Dur menjawab kala dikonfirmasi perihal langkah politiknya yang kontroversial. Dan, satu persatu, sejarah telah membuktikannya.
______________________
KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur merupakan sosok yang multidimensi. Ia merupakan ulama yang mutabahir keilmuannya, namun ia juga politisi yang lihai bersilat lidah. Silat tingkat tinggi, begitu orang-orang menyebut gaya politik putra Jombang kelahiran 4 Agustus, 77 tahun silam ini.
Soal "silat tingkat tinggi" yang diperagakan Gus Dur, Ajip Rosidi, seorang sastrawan besar bangsa Indonesia, menulis dalam autobiografinya, "Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan". Agak nyinyir memang, tapi cukup menarik menggambar cara diplomasi maupun komunikasi politik ketua PBNU tiga periode tersebut.
Sekitar tahun 1984, pasca muktamar di Situbondo, Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU. Tentu kabar ini, cukup menghentak beberapa kalangan. Termasuk juga Ajip Rosidi yang memiliki kedekatan khusus dengan pembesar-pembesar Partai Masyumi.
Dalam keterhenyakannya tersebut, Ajip bertanya kepada Kiai Hamam, Pengasuh Pesantren Pabelan, Magelang. "Bagaimana kok para kiai NU memilih Gus Dur sebagai ketua NU, padahal dia kan lebih sekuler daripada Nurcholis [madjid, ed]."
"Pak Ajip kan membaca tulisan Gus Dur yang dimuat di Tempo?"
"Di Kompas dan majalah lainnya juga," jawab Ajip.
"Tapi tidak membaca tulisannya dalam bahasa Arab yang beredar di kalangan kiai, kan? Isinya tidak sama dengan yang dibaca oleh Pak Ajip," tukas Kiai Hamam.
"Gus Dur itu silatnya tinggi," imbuhnya.
"Silat tinggi bagaimana?" desak Ajip penasaran.
"Ada kiai-kiai yang mempertanyakan persahabatan Gus Dur yang erat sekali dengan Jendral Benny Moerdani. Kepada para kiai itu Gus Dur menjawab bahwa Jendral Benny itu mau masuk Islam hanya tinggal membaca sahadat saja!" jelentreh Kiai Hamam.
Dengan cukup kritis, Ajip menanggapinya.
"Ya, kan semua orang juga hanya tinggal membaca sahadat saja untuk masuk Islam," katanya.
"Tetapi para kiai itu tidak berpikir seperti Pak Ajip," pungkas Kiai Hamam.
Apa yang disanksikan Ajip atas ucapan Gus Dur kepada para kiai itu ternyata hanya sebatas kesanksian yang mendasarkan pada nalar semata. Bukan pandangan kasyaf sebagaimana para kiai meyakininya.
Keyakinan Gus Dur dan para kiai lainnya akan segera masuk Islam, terungkap lebih dari tiga dasawarsa kemudian. Hal ini, sebagaimana terungkap dalam kesaksian orang dekat Benny Moerdani, Adnan Ganto, dalam biografinya, Keputusan Sulit Adnan Ganto (Penerbit Circa, 2017).
Dalam buku tersebut, Adnan bercerita pernah diajak ke makam oleh Benny. Yakni, makam orangtua Benny di Solo pada 1980an. Di makam tersebut Benny memberi wasiat penting kepada Adnan.
“Nan, saya kasih tahu kamu, ya, siapa tahu kamu lihat saya pada saat saya meninggal. Tolong kamu atur, supaya saya dimandikan secara Islam. Dikafani.”
Benny juga menambahkan: “Kalau saya dikafani secara Islam, kamu baca [surat] Yasin, kalau Tina ada, dia baca syahadat 25 kali.” Adnan pun menyampaikan hal tersebut kepada Tina yang tak lain adalah istri Benny, Agustina Cholida Soetomo Soemowardoyo.
Wasiat Benny tersebut, lantas dijalankan oleh Adnan pada saat temannya tersebut telah meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
“Saya datang ke Rumah Sakit RSPAD pukul 20.00 dan terus menunggu pak Benny sampai meninggal dan membacakan syahadat sampai hembusan nafas terakhir,” ungkap Adnan dalam biografinya itu.
Bahkan, menurut Adnan, menjelang wafat, beberapa orang yang hadir juga membacakan Surat Yasin untuk Benny. Setelah meninggalpun, ia dimandikan secara islami dan dikenakan kain kafan. Persis sebagaimana wasiat terakhirnya.
Namun, ketika datang seorang pastor, keputusan keluarga tersebut, dibatalkan. Kain kafan yang sempat melekat di jenazah Benny ditanggalkan, diganti dengan seragam militer. Benny pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan cara Katholik, sebagaimana agama yang tertera dalam biodatanya.
Melihat hal itu, istri Benny, Hartini, hanya pasrah kepada Adnan. “Adnan, ya, sudahlah. Yang penting kita sudah mandikan secara Islam.”
Terlepas dari diterima atau tidaknya keislaman Benny di sisi Allah SWT, setidaknya dari kesaksian Adnan tersebut, kita patut untuk meyakini kebenaran apa yang diungkapkan Gus Dur sekian tahun lamanya itu. Memang, suatu kebenaran selalu membutuhkan waktu untuk menampak secara nyata. Seperti halnya keterungkapan keagamaan Benny tersebut.
"Biarkan sejarah yang akan membuktikannya," begitu Gus Dur menjawab kala dikonfirmasi perihal langkah politiknya yang kontroversial. Dan, satu persatu, sejarah telah membuktikannya.
______________________
Ayung Notonegoro, PCNU Banyuwangi, Pegiat Literasi Komunitas Pegon.
COMMENTS