Oleh: Ayung Notonegoro Dakwah menurut sebagian ulama adalah fardlu ain. Setiap umat memiliki kewajiban untuk berdakwah. Yakni, mengaj...
Dakwah menurut sebagian ulama adalah fardlu ain. Setiap umat memiliki kewajiban untuk berdakwah. Yakni, mengajak kepada kebaikan. Jika ia belum Islam, maka diajak untuk menjadi muslim. Jika sudah muslim, hendaknya diperkokoh nilai-nilai dan wawasan keislamannya.
Meski demikian, tidak lantas semua orang harus menjadi mubaligh, orang yang menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada khalayak. Untuk bisa menjadi mubaligh tersebut, haruslah memiliki basis pengetahuan, baik keagamaan maupun sosial, yang cukup. Jika tidak, maka akan berakibat fatal. Sebagaimana kejadian akhir-akhir ini, banyak orang yang mengaku mubaligh, namun materi yang disampaikannya kala berdakwah kepada publik, melenceng.
Untuk itu, Rois Syuriah PCNU Kraksan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur tahun 1970-an, KH. Badri Mashduqi memiliki prasyarat dan standard tertentu bagi seseorang yang ingin menjadi mubaligh ataupun pendakwah. Terutama bagi pendakwah di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam makalahnya yang berjudul 'Khittah Nahdlatul Ulama Cabang Kraksaan dalam Berdakwah', Pengasuh Pesantren Badruduja, Probolinggo tersebut, mensyaratkan ada 17 bekal yang harus dimiliki seorang pendakwah.
Enam bekal pertama adalah berkaitan dengan kitab-kitab yang harus dibaca dab dikuasainya. Pertama adalah kitab tafsir al-Quran. Dengan merujuk pada tafsir yang mu'tabar, menurut Kiai Badri, seorang mubaligh tidak akan menjelaskan kandungan ayat al-Quran secara serampangan. Lebih-lebih mengikuti hawa nafsunya sendiri.
Sedangkan lima kitab lainnya adalah Riyadlush Sholihin, Tanbihul Ghafilin, Irsyadul Ibad, Dzurratun Nasihin dan Ihya Ulumuddin. Kelima kitab tersebut, sebagian besar berisi perihal kehidupan sehari-hari yang dilengkapi dengan hadits maupun kalam hikmah serta kisah-kisah yang menarik untuk diceritakan.
Dua bekal berikutnya, menurut kiai kelahiran Sumenep, 1 Juni 1942 itu, seorang mubaligh harus menguasai sejarah para nabi dan juga sahabat-sahabat nabi. Setidaknya dengan memahami sejarah tersebut, bisa menjadi bahan untuk memperkenalkan kepada masyarakat akan keteladanan para nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kemudian, bekal yang kesembilan hingga keempatbelas berkait dengan hal ihwal Ke-NU-an. Bekal tersebut antara lain muqarrat (keputusan-keputusan) NU, baik hasil muktamar, munas ataupun hasil keputusan-keputusan Cabang NU. selanjutnya AD/ ART NU, sejarah tokoh-tokoh NU, buku-buku tentang NU dan terakhir adalah majalah atau surat kabar yang berkaitan dengan NU.
penguasaan atas materi-materi Ke-NU-an tersebut, menurut ulama kharismatik yang wafat pada 14 Oktober 2002 tersebut, bagian dari upaya untuk melakukan NU-isasi kepada masyarakat. Yang mana, ada lima bidang yang harus ditempuh dalam NU-isasi tersebut. Yakni, mabda'u atau ghayyah (azas tujuan NU), syakhsiyah (kepribadian jamiyah), fikriyah (berpikir secara jamiyah), amaliyah (amalan-amalan jamiyah), dan terakhir, nidzamiyah (organisasi jamiyah).
Tiga bekal terakhir untuk bisa menjadi mubaligh yang mumpuni, haruslah memiliki pengetahuan umum yang memadai. Setidaknya ilmu sosialogi dan ilmu kejiwaan. Dengan bekal ini, diharapkan bisa menyampaikan materi dakwah sesuai dengan psikologi dan kondisi sosial masyarakat. Selain itu, mubaligh harus banyak-banyak merekam dan memperdengarkan pidato-pidato para mubaligh lainnya sebagai pembanding. Dan yang terakhir, para mubaligh hendaknya aktif dalam forum-forum diskusi untuk menambah wawasan dan mampu memberikan solusi pada persoalan-persoalan keumatan.
Dengan ke-17 bekal tersebut, seseorang bisa diharapkan menjadi mubaligh yang mumpuni dan sesuai dengan tuntunan para ulama salaf. Akan tetapi, menurut Kiai Badri, bekal-bekal tersebut tak akan ada gunanya jika tak dilengkapi dengan prasyarat penting. Yakni, kemauan berjuang dan berkhidmat pada cita-cita dakwah.
(Ayung Notonegoro)
COMMENTS