Oleh: Ahmad Karomi Perkembangan zaman tidak akan pernah bisa dilepaskan dari penghuni zaman. Canggihnya teknologi tidak serta merta men...
Oleh: Ahmad Karomi
Perkembangan zaman tidak akan pernah bisa dilepaskan dari penghuni zaman. Canggihnya teknologi tidak serta merta menutup akses informasi, ia bergerak (bisa miring-maju), bahkan cenderung liar ibarat bola bowling salju yang menggelinding semakin membesar.
Akhir-akhir ini jejaring media sosial dikejutkan (bukan gempar) ucapan misuh dari mereka yang dianggap "ustadz". Ucapan "amoral" itu mengantarkan (wasilah) dirinya menjadi sosok "ustadz" pakar misuh-memisuh. Sangat ironis sekali, sebutan "ustadz" yang bertugas mengajak kebaikan tiba-tiba mengajak dan memberikan tutorial alias "kursus kilat misuh" yang bersanad dari mulutnya.
Mengapa mereka pamer kefasihan makhorijul huruf berisi "pisuhan"? sebab itulah yang ngetrend dan sangat disukai pengikutnya. Sehingga tidak menutupi kemungkinan pisuhan itu (baginya) bisa membeningkan hati serta tanda mengikuti teladan Nabi.
Misuh atawa mengumpat yang ditujukan kepada orang atau kelompok lain tergolong bagian "hate speech". Beberapa waktu yang lalu, pemerintah dengan tegas melarang. Sangat jelas ada aturan sekaligus sanksi-sanksi yang menanti pecinta ujaran kebencian. Jadi, pointnya bukan soal sanksi maupun aturan yang dibuat, akan tetapi kesadaran diri untuk menghindari, meminimalisir ucapan nikmat sesaat itu dengan membiasakan ucapan yang baik-baik.
Mengapa misuh menjadi ucapan nikmat sesaat? Dugaan saya karena pisuhan itu merupakan pelampiasan kekesalan yang terendap dalam jiwa. Disadari atau tidak, hati terasa plong bisa misuh dengan fasih. Terlepas imbas yang ditimbulkan dari ujaran ini.
Adakah misuh yang sesuai ajaran Islam? Koq kerap digunakan? Terus terang, saya tidak menjumpai dalam al-quran dan hadis yang menjelaskan Nabi mengajarkan misuh, mencaci-maki. Malah di dalam al-quran disarankan untuk dzikir. Sedangkan dalam hadis pun Nabi mengajarkan untuk berkata lembut dan meninggalkan ucapan kotor. Lha wong dengan makanan saja beliau tidak pernah memaki.
Lantas bagaimana cara mengatasi virus pisuh memisuh ini?! Caranya cukup memutus mata rantai "misuh" dari diri sendiri. "Man ahabba syaian katsuro dzikruhu" (siapa yang menyukai sesuatu, akan kerap menyebutnya). Dalam hal ini, jika suka misuh, maka otomatis tiap detik selalu misuh, yang berakibat melahirkan generasi pemisuh handal. Sebab, mata rantai misuh yang diviralkan medsos sangatlah mengerikan. Ibarat narkoba yang siap men"zombie"kan orang sekelilingnya.
Siapapun pernah terjerembab dalam "dunia misuh", akan tetapi tekad bulat dari diri sendiri tak henti-hentinya menghindari kalimat tak elok tersebut. Alangkah meruginya bila tiap nafas hanya diisi pisuhan yang dampaknya bisa meracuni anak-anak kita. Sangat ngeri, bila suatu saat anak kita ketika kesal lantaran keinginannya tidak dikabulkan, langsung men "jajan pincuk" kan orang tua. Generasi penerus kita menyerap "pisuhan" langsung dari orang tua.
Bagaimanakah dengan ustadz atau tokoh yang menjadikan misuh sebagai sarana dakwahnya? Silahkan memilih dengan segala konsekuensinya yang dirinya siap menjadi kader perpincukan. Atau bila ingin tidak sering dipisuhi, carilah ustadz/tokoh yang santun menentramkam.
Adagium "sopo nandur bakal panen", "Mulutmu Harimaumu", sangatlah tepat ditancapkan dalam relung hati. Bila siap untuk dipisuhi, maka misuhlah sesuka hati. Bila tidak siap dipisuhi, maka hindarilah pisuhan itu.
Ahmad Karomi
PW LTNNU Jatim
COMMENTS