Oleh: Ahmad Karomi Suatu saat, ketika saya bongkar-bongkar lemari, saya menjumpai tulisan kitab tatkala masih ibtidaiyyah di Pesantre...
Oleh: Ahmad Karomi
Suatu saat, ketika saya bongkar-bongkar lemari, saya menjumpai tulisan kitab tatkala masih ibtidaiyyah di Pesantren Alfalah Ploso Mojo Kediri, tepatnya berusia 12 tahun.
Tulisan kitab ini ketika saya buka sangat menarik, dan relevan. Pasalnya, ada tulisan saya pribadi yang saya kutip dari kitab ta'lim muta'allim tentang rusaknya zaman sebab dua person. 1) 'alimun mutahattikun (pinter tapi keblinger/berbuat kerusakan), 2) Jahilun mutanassikun (bodoh tapi berkedok ahli agama). Inilah syiirannya dengan menggunakan bahar thowil:
فساد كبير عالم متهتك # واكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة # لمن بهما في دينه يتمسك
"Kehancuran besar ketika orang pinter keblinger (buat kerusakan) # dan lebih parah lagi orang bodoh yang berkedok ahli agama."
"Kedua orang ini fitnah terbesar di dunia # bagi siapapun yang berpegang teguh mengikutinya"
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini seakan menempeleng kita semua, bahwa apa yang tertulis dalam syiiran tersebut merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Framing media, sabda nabi, ayat al-Quran dengan mudah meluncur dari bibir para ustad yang diorbitkan oleh media/sebagian masyarakat modern tanpa menelisik latar belakang pendidikan agamanya. Pokoknya berwajah menarik, kutip dalil, fatwa seenaknya, langsung booming.
Ada kegelisahan tersendiri bagi mereka yang tidak berwajah menarik, yang sangat paham arah makna dalil tersebut. Mereka kebingungan bagaimana cara menyampaikan ide cemerlangnya, sedangkan disisi lain ia tersandung persoalan kurang PD. Baginya, wajah kurang menarik bisa mempengaruhi bobot fatwanya.
Sebuah tantangan tersendiri bagi kalangan santri untuk belajar tentang ilmu jurnalistik, medsos, website, aktif menulis artikel, desain, internet marketing. Sebab zaman sekarang adalah era digital. Meskipun Ngaji cuma via digital, akan tetapi untuk meraih pengunjung/penyimak bisa optimal.
Di era digital yang meliputi medsos, televisi, you tube, facebook, twitter, instagram seolah menjadi komoditi tersendiri bagi para ustad yang karbitan. Mereka melek dengan fitur yang disediakan oleh pembuat aplikasi, sehingga mampu merebut hati ummat. Tak jarang ketika ada permasalahan tentang agama, para ustad karbitan itu hadir lewat gawainya. Ia bebas berfatwa, dan selalu bisa menjawab semua pertanyaan audience tanpa terkecuali. Sebuah (klaim) prestasi tersendiri bagi sang ustad.
Disinilah peran para santri ahli agama dibutuhkan untuk mengisi ruang dunia maya. Ngaji offline tetap, online juga mantap. Jangan biarkan online dikuasai oleh para ustad dadakan yang hanya berbekal ilmu agama dari google, mengajak untuk mencaci, memusuhi, mengkafirkan dlsb. Lebih-lebih dari kalangan artis yang berbekal al-quran terjemahan. Jika sampai terjadi seperti itu, maka lengkaplah sudah "alim mutahattikun dan jahilun mutanassikun merusak alam raya ini."
Mafhum mukholafah (pemahaman terbalik) syiiran diatas berarti menyiratkan makna bahwa ada dua person yang bisa menyelamatkan Dunia dari kehancuran: 1) 'alimun 'amilun (pinter dan mengamalkan ilmunya, baik untuk diri sendiri dan orang lain) rahiimun, penuh kasih , 2) jahilun muta'allimun (orang bodoh yang berusaha untuk terus belajar/ mencari ilmu). Insyaallah dua person inilah yang bisa membentengi kerusakan massal di muka bumi ini.
Wallahu A'lam
Di atas bis berkecepatan sedang
10-10-17
_________________________
Ahmad Karomi, Alumni Ploso Kediri, PW LTN NU Jatim, Dosen, Mahasiswa Doktoral UINSA
COMMENTS