Oleh: Ahmad Karomi Setiap zaman melahirkan tokoh-tokoh hebat dan pemikir jempolan. Semisal di Indonesia ketika era Pangeran, maka tokoh...
Oleh: Ahmad Karomi
Setiap zaman melahirkan tokoh-tokoh hebat dan pemikir jempolan. Semisal di Indonesia ketika era Pangeran, maka tokoh paling berpengaruh adalah Pangeran Diponegoro. Era Sultan, paling kuat kekuasaannya hingga kini adalah Sultan HB. Sedangkan tokoh agama paling tersohor adalah Syaikhona, disusul Hadlrotussyekh, lalu Kyai.
Memasuki era Gus, tepatnya tahun 80-90an tak bisa dilepaskan dari dua sosok Gus; Gus Miek, Gus Dur. Bahkan menurut penuturan Gus Mus, ketika haflah Fathul Wahhab 2001 di Ploso, istilah Gus menjadi populer dikenal luas hingga nasional, sebab dua tokoh hebat ini. Yakni Gus Dur dan Gus Miek. Terbukti, sebutan Gus lebih ampuh daripada sebutan Kyai.
Mengapa beliau berdua menjadi tokoh berpengaruh di zamannya? Sebab Gus Miek dan Gus Dur mampu menunjukkan kecerdasan dan kepekaan lintas zaman di atas rata-rata. Bagaimana tidak? Ketika para penyeru agama tidak terjun menjemput bola, menyapa masyarakat bromocorah, namun sosok Gus Miek, Gus Dur turun dari zona nyaman, hadir di tengah mereka yang rindu sosok penyeru kebajikan.
Bagi Gus Miek dan Gus Dur istilah/sebutan tidaklah berpengaruh bagi keduanya. Beliau berdua lepas dari sebutan-sebutan itu. Tidak ada bedanya antara Gus, Mbah, Cak, Kang, Bos, Lik, Yai. Semua itu hanya simbol status sosial. Hebatnya kedua tokoh ini benar-benar egaliter, merakyat, hadir bersama mereka yang teraniaya meskipun beliau berdua dipisuhi, dicaci maki, bahkan disidang para ulama, tetaplah nyantai.
Tokoh pendobrak zaman seperti beliau berdua ini menjadi semakin langka. Entah Gus-Gus era millenial sekarang. Apakah bisa meneladani dan belajar dari kedua Gus tersebut? Sebab sangatlah sulit dan butuh kesiapan mental untuk siap diludahi, dicaci, bahkan dijauhi oleh sebagian kalangan ulama.
Mengapa beliau berdua istimewa? Menurut pandangan sempit saya, sebab beliau berdua menguasai ragam keilmuan, bukan hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sosial masyarakat, etika berpolitik, dan ilmu kemanusiaan. Siapapun dihadapan beliau berdua adalah sama. Sama-sama memiliki potensi untuk semakin baik atau sebaliknya. Beliau berdua meskipun berpikiran maju namun tetap gemar ziarah maqbaroh, sowan kyai sepuh, dan saling menghormati.
Pola syiar beliau berdua sangat unik dan santun. Semisal Gus Miek yang memang sejak muda suka merantau di zona grass root, "berkelana" ke tempat "remang" hingga "gelap". Beliau mengajak tanpa banyak mengutip dalil sunnah nabi padahal beliau hapal. Kedua Gus ini mengajarkan akan pentingnya belajar menyesuaikan zaman. Khususnya metode syiarnya tidak melulu menggunakan fatwa halal-haram, surga-neraka. Gus Miek dan Gus Dur adalah duet maut yang hingga kini belum ada penggantinya.
Memasuki era yang penuh serbuan android ini, para Gus secara umum telah memiliki ragam ketrampilan sehingga mengantarkan mereka sebagai sosok yang melek zaman. Pasca Gus Dur menjadi Presiden, banyak kalangan Gawagis yang melengkapi keilmuan mereka hingga ada yang menjadi pejabat, tokoh partai hingga menjadi pengajar di daerah/pesantren masing-masing. Pesatnya zaman takkan merubah ideologi para Gawagis sebagai penerus perjuangan para pendahulu yang mengajarkan Rahmatan lil Alamin.
Lantas bagaimana dengan yang tidak nasab kyai/ bukan Gus? Menurut Gus Qoyyim Lasem pada suatu kesempatan di pesantren Denanyar dawuh " wong sing ora nasab kyai, kuwi malah medeni" (orang yang tidak bernasab kyai, itu lebih menakutkan). Sebab kita semua tidak pernah tahu dia keturunan siapa. Bisa jadi keturunan Ulama besar yang tidak memiliki pesantren, atau keturunan orang sholeh yang khumul.
Gus Qoyyim berpesan supaya tidak kemlelet (sombong), merasa bernasab Kyai dan bergelar Gus. Karena bukan tidak mungkin itulah cobaan terberat seorang Gus. Yakni rumongso hebat. Teringat dawuh Gus Miek kepada Gus Dur setelah berbincang tentang Indonesia, beliau dawuh:"semua beres, yang belum beres adalah saya dan sampean". Dawuh bermuatan nilai tawadlu' ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berdua tetaplah manusia penuh kealpaan (belum beres), dan diatas segala Gus hanyalah Gusti Allah. Laa Gawagisa illa Gusti Allah.
Tengah wengi, 13-10-17
__________________________
Ahmad Karomi, Alumni Ploso, PW LTNNU Jatim
COMMENTS