Oleh: Ayunk Notonegoro Dalam tradisi literasi pesantren, akrab dengan berbagai karya yang berbentuk mandzuman. Yaitu karya yang d...
Oleh: Ayunk Notonegoro
Dalam tradisi literasi pesantren, akrab dengan berbagai karya yang berbentuk mandzuman. Yaitu karya yang ditulis dalam bentuk nadzam atau syair. Hampir semua bidang keilmuwan di pesantren terdapat beberapa kitab yang ditulis dalam bentuk syair tersebut. Syair tersebut biasanya dibuat khusus dan adapula yang disarikan dari satu kitab tertentu. Tujuannya, agar mudah dihafalkan.
Salah satu kitab yang berbentuk nadzam yang terkenal di kalangan pesantren adalah Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini terdiri dari seribuan nadzam yang membahas tentang gramatikal bahasa Arab yang dianggit oleh Ibnu Malik (w. 1274 M). Ada juga kitab Sofwatul Zubad karya Ibnu Ruslan (w. 844 H) yang membahas tentang yurespudensi hukum Islam (fiqih).
Tak ayal, pola penulisan dengan pendekatan syair tersebut, dikemudian hari banyak diadopsi oleh para ulama Nusantara. Mereka menuliskan karya-karyanya dalam bentuk syi’ir, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa daerah masing-masing. Salah satu karya dalam bentuk syair yang ditulis oleh ulama Nusantara adalah Syi’ir Qiyamat. Kitab tersebut ditulis dengan huruf Pegon Melayu dan menggunakan bahasa Jawa. Kitab ini terdiri dari 16 Halaman + Cover dengan kertas putih yang telah menguning dan sampul hijau yang telah memudar. Ukurannya 21,9 cm lawan 14,4 cm dengan rata-rata terdiri 17 bait syair perlembarnya yang terbagi dalam dua kolom.
Kitab Syiir Qiyamat merupakan salah satu kitab tua yang ditulis oleh ulama Nusantara. Dalam penggalan awal kitab tersebut, menuliskan bahwa kitab tersebut ditulis pada hari Senin, Robiul Akhir, 1324 H atau sekitar tahun 1906 M.
مِیۡوِیۡتِی عَعۡكِیت ایكِیلَهۡ شِعِیۡر # اِعۡ دِيۡنَا اِثنَیۡن رَبِیۡعُ الاَخِرۡ
اِعۡ هِجۡرَۃۡ نَبِی عَلَیۡهِ السَّلَامۡ # سِیۡوُوۡ تٓلُوعۡ اَتُوسۡ كَع دَینۡ فَهۡ
فُوۡنۡجُولۡ فَتۡ لِكُورۡ تٓتَفِی وِيلَاعۡ # اِع تَهوۡنۡ اِیۡهِی تُمُوۃۡ كَاوِلَاع
miwiti anggit ikilah syi’ir # ing dina isnain Robiul Akhir
ing hijriyah Nabi Alaihi Salam # sewu telung atus kang den faham
punjul pat likur tetepi wilang # ing tahun Ehe tumut kawilang
Mengawali menganggit syair ini # pada hari Senin Robiul Akhir
Pada [tahun] hijriyah-[nya] Nabi Alaihi Salam # seribu tiga ratus [tahun] yang dipaham
Lebih dua puluh empat untuk menetapi hitungan # pada tahun Ehe juga terhitung
Melihat titimangsa yang terdapat dalam kitab tersebut, menunjukkan bahwa telah lebih dari satu abad kitab tersebut ditulis. Uniknya lagi, kitab yang diterbitkan oleh Maktabah An-Nabhaniyah Al-Akbar Surabaya itu, telah ditulis sebelum penerbitannya sendiri berdiri. Dalam sampul depan tertulis bahwa kitab tersebut dicetak oleh Syekh Salim bin Said bin Nabhan dan saudaranya Ahmad yang memiliki percetakan Maktabh Nabhaniyah Al-Akbar Surabaya Jawa. Dalam beberapa literatur, Salim Nabhan yang merupakan pendatang dari Yaman tersebut, mendirikan percetakan baru pada tahun 1908. Artinya, terpaut dua tahun lebih awal dari kitab tersebut ditulis.
Penulisnya sendiri tak banyak saya ketahui. Dalam syair pembuka hanya dituliskan demikian:
تَاءلِيفُ الشِّعِيرۡ اسمُ سُو مَودِيۡ # اِع عِلۡمُ النَّافِعۡ كَعۡ دَیۡنۡ مَقۡصُودِی
قَومَنۡ كٓلَوَنۡ اِیكُو كَمۡفُوعِی # قُودُوس جَوَااِيۡكُو اَفۡدِيۡلِیۡعِی
Ta’liful Syi’ir ismu Sumadi # ing ilmu nafi’ kang den maksudi
Kauman kelawan iku kampunge # Kudus Jawa iku Afdelinge
Pengarang syiir bernama Sumadi # dalam ilmu yang bermanfaat menjadi maksudnya
Kauman itu adalah kampungnya # Kudus, Jawa itu afdeling-nya (kabupaten)
Dari dua bait syair tersebut, dapat diketahui bahwa penulisnya bernama Sumadi yang berasal dari Kauman, Kudus, Jawa Tengah. Tak banyak informasi yang bisa saya gali dari sosok yang bernama Sumadi tersebut. Mungkin, ada dari segenap pembaca yang mengetahui sosok Sumadi Kudus ini?
Masih dari syair-syair pembuka, diketahui pula bahwa Syair Qiyamat tersebut dinukil dari kitab Daqoiqul Akhbar.
اِيكِی كَرَاعَنۡ اَنُوقِیلَ خَبَارۡ # سَاكِعۡ كِتَابۡ دَقَاءِقِ الاَخۡبَار
Iki karangan anuqila khobar # saking kitab Daqaiqul Akhbar
Ini karangan dinukil dari khobar # yang berasal [dari] kitab Daqaiqul Akhbar
Kitab Daqaiqul Akhbar adalah kitab yang ditulis oleh Imam Abdirrahman bin Ahmad al-Qadhiy. Kitab tersebut terdiri dari 46 bab yang membahas tentang alam ghaib dari alam ruh hingga kelak ketika hari kiamat tiba. Dalam kitab tersebut, banyak digambarkan tentang hal ihwal makhluk ghaib dan kejadian-kejadian dengan cukup signifikan.
Akan tetapi, Kiai Sumadi dalam kitab tersebut, tidak menukil kitab Daqaiqul Akhbar secara keseluruhan. Hanya pada babakan terakhir tentang kiamat saja yang dituliskannya menjadi syair-syair berbahasa Jawa. Terdiri dari sembilan bagian dan 226 bait syair.
Pertama, pembukaan yang terdiri dari 16 bait syair. Lalu, bab tentang “Panase Dina Qiyamat” yang terdiri dari 60 bait. Dilanjutkan bab “Kumpule Makhluk Marang Suwarga” yang terdiri dari 31 bait. Sedangkan “Jumenenge Teraju Sifate Gendero Ahmad” terdiri dari 28 bait. “Ngadeke Piro-Piro Gendero” terdiri dari 18 bait. “Ngadeke Makhluk” ada 23 bait, “Manjinge Hayawan Marang Suwargo” ada 22 bait, “Kumpule Para Ulama” ada 13 bait, “Amal Utama” terdiri dari 15 bait.
Kitab Syiir Qiyamat itu sendiri, saya dapatkan dari perpustakaan Kiai Saleh Lateng pada 24 April lalu. Sebagai seorang intelektual dan tokoh pergerakan pada masa peralihan abad 19 dan 20, Kiai Saleh memiliki jejaring intelektual yang luas. Tidak hanya dengan para ulama Nusantara, tapi juga ulama di Haramain. Selain lama belajar di Bangkalan kepada Syikhona Kholil Bangkalan, Kiai Saleh Lateng juga pernah mukim di Mekkah tak kurang dari tujuh tahun. Jadi tak heran jika, ia memiliki pustaka yang luar biasa. Saat ini, masih ada dua lemari besar koleksinya dari empat lemari yang pernah dimilikinya. Kesemuanya masih belum banyak tereksplore. Dengan semua keterbatasan, perlahan saya mencoba untuk menyelami khazanah yang ditinggalkan oleh sosok awal pendiri Nahdlatul Ulama tersebut. Baik dari koleksi yang ditinggalkannya, lebih-lebih tentang kiprah dan thobaqat kehidupan dan pemikirannya. (*)
_______________________________
Ayung Notonegoro, Penggiat di Komunitas Pegon, PCNU Banyuwangi
COMMENTS