Oleh: Achmad Murtafi Haris Usamah Hasan dalam The Triumph of Tradisionalism menyebutkan bahwa pandangan bumi itu bulat pada akhi...
Oleh: Achmad Murtafi Haris
Usamah Hasan dalam The Triumph of Tradisionalism menyebutkan bahwa pandangan bumi itu bulat pada akhirnya diterima secara bulat di Eropa. Sementara dunia Islam tetap mempertahankan bumi yang pipih. Hal ini menarik karena terjadi ketidak linearan sejarah peradaban dalam dunia Islam. Ide bumi bulat yang diawali oleh Aristoteles (d. 322SM) sampai ke Eropa melalui Averroes (d. 1198M) yang muslim, tapi justru umat Islam tidak terpengaruh banyak oleh Averroes dan Eropalah yang justru menikmatinya.
Ide Bumi Bulat diawali oleh Aristoteles tidak diragukan lagi, minimal ada informasi bahwa pra-Socrates orang mengatakan bumi itu datar dan pasca Socrates (Aristoteles termasuk) muncul pandangan bahwa Bumi itu Bulat. Karena Averroes adalah penerjemah dan komentator pemikiran Aristoteles ke Eropa, maka ide itu sampai ke Eropa melalui Averroes.
Bertahannya ide bumi datar dalam pandangan ortodoks Islam bisa jadi lantaran kekalahan Averroes dalam pertarungan pemikiran Islam vs al-Ghazali (d. 1111M). Pandangan Averroes yang terbuka terhadap filsafat sehingga dia menjadi penyebar filsafat Yunani di Dunia Islam mendapat serangan keras dari al-Ghazali yang mengarang Ihya` ‘Ulum al-Din dengan tujuan untuk membendung arus deras masuknya filsafat dan dia pun berhasil menghadang dan memenangkan pertarungan itu.
Pandangan keagamaan Islam sangat kokoh hingga kini berdasarkan pada tradisi dan bukan pada akal seperti yang dikembangkan oleh Averroes. Pertanyaannya, apakah al-Ghazali berkata bahwa bumi itu datar? Jawabannya adalah negatif. Meski Ghazali memenangkan tradisi vs akal namun dalam hal bentuk bumi dia mengatakan bahwa bumi bulat.
Dalam Tahafut al-Falasifah sang Imam menyebutkan bahwa “akal berdasarkan bukti-bukti yang tidak bisa dipungkiri oleh panca indera, mengetahui bahwa ukuran matahari lebih besar berkali-kali lipat daripada ukuran bumi yang bulat”. Hujjatul Islam ini juga mengatakan bahwa dua titik pada bumi akan bertemu satu sama lain pada titik yang sama jika masing-masing menempuh arah berlawanan.
Pandangan al-Ghazali ini menunjukkan bahwa dia sependapat dengan pendapat para filsuf pasca Aristoteles yang mengatakan bahwa bumi itu bulat. Al-Ghazali meski dia dalam hal hukum alam tidak sepenuhnya mendukung kemutlakan hukum alam sebagaimana yang dianut Averroes, tetapi dalam hal bentuk bumi dia sependapat.
Selain al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi (1209M) dalam kitab tafsirnya juga mengatakan bahwa bumi ini adalah bulat, sehingga dengan demikian dimungkinkan bagi suatu kaum telah masuk subuh, kaum yang kedua di tempat yang berbeda masuk dhuhur, kaum ke tiga ashar, keempat Maghrib dan kelima ‘Isha`.
Kedua pendapat Imam besar tersebut menarik untuk dikaji mengingat bahwa keduanya tergolong kelompok ortodoks atau ulama vis a vis kelompok lain filsuf Islam yang condong mengadopsi pemikiran filsafat Yunani.
Dengan demikian anggapan bahwa Bumi Bulat adalah semata terpengaruh pandangan Filsuf Yunani yang jauh dari pandangan al-Qur`an tidaklah benar. Ia memang berasal dari sana tapi telah diakui keabsahannya secara kuat (bi al-dlarurat) sehingga didukung oleh ulama tradisional atau ortodoks. Kedua imam tersebut, meski berpegang teguh pada dalil naqli (al-Qur`an dan Hadith) di atas dalil aqli (rasional empiris) tetap bisa menerima pandangan filsafat Yunani. Mereka memiliki kemampuan mengadopsi dari peradaban lain (non-muslim) dan tidak begitu saja menolak karena dianggap bukan bersumber dari Qur`an. Posisi intelektual mereka yang netral dan terbuka, meski mereka berada pada mainstream ortodoks adalah model yang patut diikuti oleh umat Islam kini dalam konteks keilmuan.
Pandangan mereka yang mendukung teori Bumi Bulat tentunya tidak bertentangan dengan pandangan al-Qur`an. Kalau pun dianggap bertentangan maka hal itu tidaklah bertentangan dengan al-Qur`an tapi bertentangan dengan penafsiran ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan bentuk bumi. Al-Qur`an tidak secara langsung menyebut bahwa bumi itu berbentuk datar, tetapi menyebut dalam al-Shams: 6: wa al-ard, wa ma tahaha (demi bumi serta penghamparannya).
Kata ‘dihamparkannya’ diartikan oleh mereka yang mendukung bumi datar sebagai dalil bahwa bumi itu datar padahal kata ‘dihamparkan’ mengandung makna dihamparkan di atasnya segala sesuatu yang hidup di atasnya seperti tanaman, bangunan, kehidupan manusia dan binatang.
Al-Tabari (923M) menafsirkannya ‘Tahaha’ dengan “dihamparkan (basataha) ke kanan ke kiri dan ke segala penjuru”. Sebagian lain menafsirkan dengan “segala yang diciptakan di sana (bumi)”. Pendapat lain menyebutkan “segala yang dihasilkan darinya”. Pendapat serupa juga terdapat pada tafsir Ibn Kathir (1373M) dan tafsir mutakhir al-Wasit karya Muhammad Sayyid Tantawi yang kurang lebih sama yaitu “Demi Bumi dan apa yang dihamparkannya”.
Kata ‘dihamparkan’ berarti dibentangkan dan dibuka lebar-lebar (KBBI) tidaklah menunjukkan secara langsung bahwa bumi itu datar. Apalagi jika hamparannya sebatas pandangan manusia yang hanya berapa kilometer berbanding jarak panjang bumi ±40.000km. Dengan kemampuan pandang yang sangat terbatas jelas yang nampak hanyalah hamparan yang datar tapi jika diteruskan ia akan melandai ke bawah dan berputar ke bawah hingga sampai ke titik lokasi sang penglihat seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali tadi.
Sementara itu, dalam ayat lain seperti dalam al-Zumar (39): 5: “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Sayyid Tantawi, mantan Syaikh al-Azhar menjelaskan tentang peredaran peredaran bumi dan bulan secara teratur sehinga tidak pernah terjadi benturan waktu antara siang dan malam.
Sayyid Tantawi juga menyebutkan secara eksplisit dalam hal ini bahwa bumi itu bulat. Sementara dalam tafsir yang lainnya al-Tabary dan Ibn Kathir tidak menyinggung tentang bumi itu bulat tapi hanya menyinggung tentang peredaran bumi dan bulan sehingga tercipta siang dan malam.
Tentang peredaran matahari tersebut dalam Yasin (36): 38: “dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. Dalam penafsirannya Tantawi mengutip pandangan astronom yang menyebut bahwa matahari seolah diam padahal dia bergerak dengen kecepatan 12 mil / detik dan bahwa besar matahari adalah jutaan kali bumi.
Sementara mufassir selain al-Tabari dan Ibn Kathir tidak menjelaskan pandangan sains tapi mengutip sebuah hadith yang mengatakan bahwa matahari berjalan ke satu tempat di bawah ‘arsh dan berhenti untuk minta izin bersujud kepada Allah tapi tidak diberi izin dan diperintahkan untuk berputar lagi hingga kembali terbit setelah terbenam.
Adopsi Syaikh Tantawi terhadap sains dengan demikian adalah seperti adopsi al-Ghazali dan al-Razi terhadap pandangan filsafat, sebuah pandangan intelektual yang mampu memadukan antara perspektif ortodoks dan paradigma sains yang kini mencoba dikontradiksikan lagi dengan meruaknya teori Bumi Datar ke permukaan.
Wallahu A'lam
_________________________
COMMENTS