Oleh: Ahmad Karomi* Seorang Kiai yang sedang disowani, menemui santrinya di ruang tamu. Beliau berjalan dengan beralaskan bakiak cokl...
Oleh: Ahmad Karomi*
Seorang Kiai yang sedang disowani, menemui santrinya di ruang tamu. Beliau berjalan dengan beralaskan bakiak coklat kesayangannya, langkahnya diiringi suara khas bakiak beradu dengan lantai paving, lalu duduk seraya berkata: "Monggo diunjuk, Gus" Beliau mempersilahkan santrinya untuk minum air yang telah tersedia.
"Alhamdulillah, kabare pripun, Gus?" Sang kiai memulai pertemuan itu dengan bersyukur disertai sapaan lembut akan hal ihwal santri. "Alhamdulillah, Kiai. Sehat wal afiat, Panjenengan kados pundi kesehatane? Kulo mireng mantun dawah" (Kesehatan anda bagaimana? Saya dengar anda habis jatuh)". Santri itu mencoba ganti bertanya akan kondisi kiai idolanya, yang ternyata sedang sakit.
Kiai tersenyum, beliau berkata "Sakit nopo to? Niku cuma dawah biasa" (Sakit apa? Itu hanya jatuh biasa). "Mboten nopo-nopo, Gus. Alhamdulillah, sae. Gusti Allah tasih maringi dawah (Tidak apa-apa, Gus. Alhamdulillah, Allah masih memberikan jatuh)". Santri itu pun mengerutkan dahi, dan musykil koq jatuh yang mengakibatkan sakit masih disyukuri, lalu dia memberanikan diri bertanya: "sampun diperiksaaken teng dokter?" (sudah diperiksakan ke dokter?)". Kiai diam sepeminum teh, beliau dawuh singkat: "Sampun ikhtiar, Gus. Alhamdulillah. Monggo didahar jajane" (Sudah ikhtiar, Gus. Alhamdulillah. Silahkan dimakan cemilannya)".
Selanjutnya santri itu meminta barokah doa kepada Kiai teduh itu. Tiba-tiba beliau dawuh:" Kulo nggih didungakno nggih, supados istiqomah ngaos lan ngibadah," (Saya juga didoakan ya, agar bisa istiqomah ngaji dan ibadah). "Masyaallah. Luar biasa, sosok kiaiku ini tetap mengedepankan ngaji dan ibadah, meskipun dalam kondisi sakit" Batin santri itu.
Tak terasa santri itu terkenang akan masa dulu kala ketika Kiai masih sehat, beliau istiqomah mengimami sholat lima waktu di masjid. Mengaji kitab di Pendopo. Dan sering pula santri-santri cilik duduk menyambut beliau ketika akan jumatan. Sambil menunggu kentengan ting-teng pondok yang konon terbuat dari sisa rudal non-aktif yang jatuh di pelataran ndalem. Beliau duduk diantara tangga masjid mendengarkan adzan jumat dikumandangkan seraya menyalami santri-santri kecil yang duduk berjejer disitu. Bahkan berebut membersihkan dan menata bakiak Sang Kiai dibawah tangga (tlundakan) masjid Ploso. Sungguh hangat dan wibawanya sosok Kiai Mahfud di mata santri.
Ada sebuah kisah, tatkala usai liburan pondok, para santri sowan bareng-bareng. Nah, ternyata ada salah satu santri yang ditanyai oleh Kiai Mahfud. "Njenengan asli pundi, Gus?", Santri itu pun grogi seraya menjawab singkat "Bandung". Kiai yang dikenal sabar ini langsung mengganti aksen bahasanya dan bertanya "Oh, Bandung, bagaimana kabarnya di Bandung?", "Kulo Bandung Tulungagung, Kiai. Sanes Bandung Jawa Barat", jawab santri. Spontan santri lainnya menahan ketawa, bahkan Kiai Mahfud pun tersenyum lebar.
Selang beberapa waktu, tepatnya minggu legi tanggal 19 Juli 2009, beredar kabar Sang Kiai yang lahir tahun 1939 ini wafat. Santri itu pun bergegas melayat. Selama perjalanan, teman sepondok saling berbagi kisah tentang kesabaran dan keikhlasan yang beliau tanamkan untuk keluarga dan santri-santri. Dalam suasana bercerita itulah, teringat pula ketika sowan terakhir. Kiai pernah dawuh "Alhamdulillah, tasih diparingi dawah". Bagi teman-teman santri dawuh ini bermakna " dawah" (jatuh) yang mengakibatkan sakit sebagai salah satu bentuk wasilah (lantaran) untuk taqorrub ilallah, iling kaliyan Gusti Allah. Sebab seseorang yang telah bersih hatinya menilai Sakit adalah bentuk anugerah dan karunia.
Baginya sakit dan sehat adalah istilah saja, hakikatnya tetaplah sama. Yakni sama-sama mengingatkan akan Dzat yang memberikan sakit dan sehat. Kita hanya meminta sehat dan kaya namun menafikan sakit dan miskin itu tidaklah fair. Jika kau sehat, maka songsonglah masa sakitmu, jika kau kaya, sambutlah masa miskinmu. Jika kau pandai, maka terimalah masa pikunmu. Dan kesemuanya adalah fitrah manusia yang takkan terlepas dari kesemua itu.
Walhasil, Pelajaran hidup dari Kiai Mahfudz Sirodj adalah usahakanlah tetap husnudzon (baik prasangka/positif thinking) terhadap siapapun dan terimalah apapun yang terjadi dengan tetap melantunkan: Alhamdulillahi Robbil Alamin ala kulli haal.
______________________
ذكر حول المرحومين
Tulisan jelang haul Ploso 28-9-2017 diupload ulang jelang haul 18-09-2018
Rindu sosok KH. Mahfud Sirodj 1939- 2009. Lahul Fatihah
*PW LTNNU dan Santri Ploso Kediri
COMMENTS