Oleh: Ayung Notonegoro Salah satu penyebaran Islam di Nusantara - meminjam istilah H. Johns (1988) - adalah dengan munculnya vernak...
Oleh: Ayung Notonegoro
Salah satu penyebaran Islam di Nusantara - meminjam istilah H. Johns (1988) - adalah dengan munculnya vernakularisasi. Dimana, Islam ditampilkan dengan pembahasalokalan untuk bisa lebih mudah dipahami. Berbagai ajaran keislaman disampaikan dengan cara-cara yang familiar dengan bahasa rakyat sehari-hari.
Spirit vernakularisasi itulah yang - salah satunya - tampak dari karya-karya Kiai Sholeh Darat (1820-1903). Sepanjang hayatnya, ia telah menulis 40 karya tulis yang kesemuanya menggunakan aksara Pegon dan berbahasa Jawa.
Dengan karya-karya tulis berbahasa Jawa itu, Kiai Sholeh ingin membumikan ajaran-ajaran Islam dalam bahasa sehari-hari masyarakat. Dengan menerjemahkan atau memberikan penjelasan (syarah) terhadap karya-karya ulama Timur Tengah yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Beberapa karya Kiai Sholeh dalam aksara Pegon yang terus direduplikasi hingga sekarang, antara lain: Kitab Munjiyat (petikan dari Ihya' Ulumuddin-nya Imam Ghazali), Kitabul Mahabah wal Mawaddah (terjemah kitab Burdah karya Imam Busyiri) dan Matan Al-Hikam (terjemah kitab Al-Hikam karya Syekh Athoillah al-Askandari) serta beberapa karya orisinalnya sendiri.
Karya-karya Kiai Sholeh Darat tersebut bukan tanpa alasan. Bukan pula karena keterbatasannya dalam menguasai bahasa Arab fushah. Sebagai seorang ulama besar yang pernah tinggal lebih dari 30 tahun di Mekkah, bukan hal yang sulit untuk menulis dalam bahasa Arab. Tapi, Kiai Sholeh tidak ingin karya-karyanya hanya dinikmati oleh kalangan elit santri saja.
Dalam kitab Hidayatur Rahman, Kiai Sholeh Darat mengutarakan alasannya menuliskan karyanya dalam bahasa Jawa dan aksara Pegon: "... Wis nyukupi olehe gawe karangan tumerap butuhe para awame tanah Jawa kene."
Ya, alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa - yang tentunya tak semua bisa bahasa Arab - untuk mempelajari Islam. Oleh karena itu, Kiai Sholeh Darat membuat berbagai karya mulai dari tasawuf, fiqih, sejarah Nabi hingga terjemah dan tafsir al-Quran.
Untuk yang terakhir tersebut, ada kisah menarik bagaimana Kiai Sholeh Darat berinteraksi dengan RA Kartini. Sebagaimana tersiar dalam kisah-kisah populer, kegundahan Kartini karena kesulitannya mempelajari al-Quran. Untuk itu, Kartini memohon kepada Kiai Sholeh Darat untuk menulis terjemah dan penjelasan ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Jawa.
[Namun menurut penelitian Taufiq Hakim dalam "Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M, menyebut kisah tersebut kurang valid. Interval antara masa hidup Kartini dengan tercetusnya karya-karya Kiai Sholeh Darat dalam tafsir dan terjemah Al-Quran terpaut waktu yang kurang tepat.
Ada dua tafsir dan terjemah al-Quran yang ditulis oleh Kiai Sholeh Darat. Yaitu Faidur Rahman yang pertama kali ditulis tahun 1890 M, lalu Hidayatur Rahman yang selesai ditulis pada 1891 M. Jelas, karya-karya tersebut ditulis jauh sebelum pertemuan Kiai Sholeh Darat dengan Kartini.Dimana, saat itu, Kartini yang terlahir 1879 masih berusia belasan tahun. Sementara itu, pertemuan keduanya terjadi dua tahun sebelum pernikahannya.
Besar kemungkinan karya-karya tersebut, memang murni untuk memberikan pelajaran pada masyarakat awam. Lantas, dikadokan kepada Kartini saat menikah dengan Raden Mas Joyodiningrat.]
Kegundahan Kartini tersebut, misalnya, terekam dalam suratnya ke Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902. Dalam surat tersebut, Kartini menulisnya dengan kritis:
".... Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja..... "
Dari kritik pedas Kartini atas langkanya "literatur" yang membahas keilmuwan Islam dalam bahasa Jawa yang bisa dimengerti semua elemen masyarakat, meneguhkan betapa pentingnya karya-karya Kiai Sholeh Darat. Karya yang ditulis dalam bahasa Jawa dan aksara Pegon.
Vernakularisasi atas karya-karya Kiai Sholeh Darat tersebut, menjadi penting untuk kita hayati dalam mendakwahkan Islam dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat dewasa ini.
Misalnya, jika masyarakat umum teramat bergantung pada internet, video dan meme untuk mempelajari Islam, kenapa kita tidak melakukannya?
Sudah cukup kiranya kita bergerutu tanpa pernah bertindak.
________________________
Ayung Notonegoro, PCNU Banyuwangi serta Penggagas Komunitas Pegon
COMMENTS